pict : greenpeace.org
Oleh: Aisyah Nur Bayti – Editor: Wawan Sadewo
Lahan gambut merupakan suatu area yang ditutupi endapan bahan organik yang sebagian besar belum mengalami pelapukan secara sempurna dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Endapan bahan organik tersebut tertimbun dalam waktu yang cukup lama, sehingga lahan gambut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi (Sabiham dan Sukarman, 2012). Indonesia memiliki luas lahan gambut terbesar ke-dua di dunia yaitu sebesar 22,5 juta ha setelah Brazil (31,1 juta ha), dengan sebaran sebagai berikut, Papua seluas 7,6 juta ha, Kalimantan seluas 6,6 juta ha, Sumatera seluas 4,5 juta ha, dan lainnya seluas 3,8 juta ha (Anonim, 2020).
Gambar 1. Sebaran Lahan Gambut di Indonesia
Berdasarkan kegiatan Rencana Penelitian Integratif (RPI) 5 yang dilaksanakan oleh lima unit kerja Badan Litbang Kehutanan pada tahun 2014, kriteria dan indikator ekosistem gambut yang masih baik antara lain: kubah gambut masih berfungsi sebagai resapan air dengan luasan > 30 %, masih tertutup tanaman keras alami, kedalaman muka air tanah di musim kemarau di bawah 40 cm, bersifat hidrofilikw dengan pH ≥ 4, dan nilai redoks potensial < 200 (mV) (Anonim, 2014).
Aktivitas manusia dalam pemanfaatan lahan gambut yang tidak berwawasan lingkungan dapat menyebabkan terjadinya degradasi pada lahan gambut. Menurut Masganti (2013) pengelolaan tata air yang salah menjadi penyebab utama terjadinya degradasi lahan gambut. Selain itu, degradasi lahan gambut juga dapat disebabkan oleh kebakaran dan kegiatan penambangan tanah gambut yang dimanfaatkan sebagai bahan dasar pupuk organik (Masganti dkk., 2015). Dampak dari kebakaran yang terjadi pada lahan gambut akan mengakibatkan hilangnya mineral dan nutrisi lahan gambut (Daryono, 2009).
Produktivitas lahan gambut yang telah mengalami degradasi akan semakin menurun jika tidak segera dilakukan kegiatan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi pada lahan gambut yang terdegradasi dilakukan untuk mengembalikan produktivitas dan kelestarian lahan gambut tersebut. Adapun kriteria dan indikator ekosistem gambut yang terdegradasi antara lain: lahan gambut sudah tidak berfungsi sebagai kawasan resapan air dengan luasan > 30 %, kedalaman muka air tanah ≥ 100 cm, bersifat hidrofobik dengan pH < 4, dan nilai redoks potensial ≥ 200 (mV) (Anonim, 2014). Kriteria dan indikator tersebut dapat menjadi acuan dalam melakukan kegiatan rehabilitasi pada lahan gambut. Degradasi pada lahan gambut dapat menghilangkan peran lahan gambut sebagai penyerap karbon. Terciptanya keberhasilan rehabilitasi pada lahan gambut, dapat menjadi salah satu upaya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca yang sekaligus mengatur keseimbangan iklim global.
Sumber:
Anonim. 2014. Sintesis Akhir RPI Tahun 2014 RPI 5 Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Jakarta: Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
_______. 2020. Global Wetlands Map: Indonesian Peat. www.cifor.org/global-wetlands/(diakses pada 01 Januari 2020).
Daryono, H. 2009. Potensi, Permasalahan, dan Kebijakan yang Diperlukan dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 6 (2). Hal: 71 – 101.
Masganti. 2013. Teknologi Inovatif Pengolaan Lahan Suboptimal Gambut dan Sulfat Masam untuk Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. Vol. 8 (1). Hal: 47-54.
Masganti, Nurhayati, R. Yusuf, dan H. Widyanto. 2015. Teknologi Ramah Lingkungan dalam Budidaya Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terdegradasi. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol. 9 (2). Hal: 97-106.
Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol. 6 (2). Hal: 55 – 66.
Sudrajat, A.S.E. 2019. Pengelolaan Ekosistem Gambut Sebagai Upaya Mitigasi Perubahan Iklim di Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Planologi. Vol. 16 (2). Hal: 219-237.
Wibowo, A. 2009. Peran Lahan Gambut dalam Perubahan Iklim Global. Jurnal Tekto Hutan Tanaman. Vol. 2 (1). Hal: 19-28.