Agroforestri

Sumber: Canva.com

Agroforestri

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang (UU No 41 tahun 1999). Oleh karena itu, perlu ada pengelolaan hutan secara baik agar dapat berdampak baik juga bagi kondisi ekonomi masyarakat sekitar hutan. Suatu sistem pengelolaan hutan yang memperhatikan aspek sosial dan ekologi yang dilaksanakan melalui kombinasi pepohonan dengan tanaman pertanian dan ternak disebut dengan sistem agroforestri. Agroforestri merupakan suatu sistem pengelolaan lahan yang memiliki fungsi produktif dan protektif (mempertahankan keanekaragaman hayati, ekosistem sehat, serta konservasi tanah dan air) dan sering digunakan sebagai salah satu contoh sistem pengelolaan berkelanjutan (Utami dkk, 2003) dalam (Andriansyah, dkk., 2021). Agroforestri juga dapat diartikan sebagai pengkombinasian yang terencana dalam satu bidang lahan antara tanaman berkayu (pepohonan), tanaman pertanian dan/atau ternak atau hewan baik secara bersama (pembagian ruang) ataupun bergiliran (periodik).

Sistem agroforestri bertujuan untuk meningkatkan persediaan stok pangan baik tahunan maupun tiap musim, meningkatkan serta memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produk bahan mentah pada kehutanan maupun pertanian, untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan, dan diharapkan mampu memberikan dampak positif berupa pemenuhan
jasa lingkungan sesuai fungsi hutan pada umumnya. Salah satu sistem agroforestri yang sering digunakan oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan petani adalah kebun campuran, yaitu kebun yang ditanami dengan tanaman kehutanan dan tanaman pertanian. Manfaat dari sistem agroforestri ini tidak hanya menguntungkan bagi petani, tetapi juga menguntungkan bagi kelestarian lingkungan. Seperti mengurangi aliran permukaan, pencucian zat hara tanah dan laju erosi, meningkatkan jumlah seresah, memperbaiki struktur tanah, serta mampu meningkatkan
keanekaragaman hayati.

Pengembangan sistem agroforestri harus disesuaikan dengan sifat fisik lingkungan (iklim, tanah, topografi) dengan persyaratan tumbuh tanaman untuk memberi informasi apakah suatu jenis tanaman itu dapat dikembangkan di daerah bersangkutan (Latue, dkk., 2018). Berdasarkan kondisi geografisnya Desa Warembungan merupakan wilayah perbukitan dengan topografi lereng agak curam sampai curam menyebabkan tanahnya rentan mengalami degradasi. Namun suatu hal yang menguntungkan bahwa sistem pertanian yang diterapkan sebagian besar petani di Desa Warembungan menerapkan sistem agroforestri. Sistem ini sangat sesuai dengan kondisi lingkungan fisik kawasan. Contoh dari sistem agroforestri, di Desa Warembungan dengan kombinasi tanaman kehutanan, perkebunan, pohon buahbuahan dan tanaman pangan dan hortikultura. Tanaman yang ditanam di Desa Warembungan mengkombinasikan tanaman kehutanan berupa Nantu (Palagium sp), mahoni (Swietenia mahagoni), kayu manis (Cinnamomum verum), cempaka (Magnolia champaca), dan angsana (Pterocarpus indicus) dengan jenis tanaman perkebunan berupa cengkeh (Syzygium aromaticum), kelapa (Coconus nutifera), pala, dan enau serta ada juga buah-buahan yang banyak di usahakan petani adalah alpokat, langsa, nangka, duku, rambutan, dan mangga, selain itu ada juga tanaman semusim berupa cabe, pisang, ubi kayu, gedi, keladi, dan daun serei. Sistem agroforestri pada daerah ini menggunakan pola tanam kebun campuran dengan pohon-pohon sebagai tanaman pagar, serta pola agroforestrinya berupa sistem agrivilkultur (Kayoga, dkk., 2018)

Klasifikasi Agroforestri berdasarkan Komponen Penyusunnya:
Agrisilvikultur, Silvopastura, Agrosilvopastura, Silvofishery.

Sumber: corpoguajira.gov.co

Agroforestri merupakan salah satu alternatif dari sistem pengolahan lahan secara lestari dan berkelanjutan dengan menggabungkan unsur atau komponen tumbuhan perenial di dalamnya. Komponen penyusun sistem agroforestri umumnya adalah pertanian dan kehutanan (agrisilvikultur), namun seiring meningkatnya kepedulian masyarakat menjadikan komponen pendamping kehutanan tidak hanya pertanian. Sandingan kehutanan lainnya pada sistem ini sejauh berkembangnya manipulasi lahan adalah peternakan (silvopastura) dan perikanan (silvofishery). Tidak hanya dua komponen, agroforestri bisa terdiri dari tiga komponen dengan menggabungkan komponen kehutanan-pertanian-peternakan (agrosilvopastural). Kombinasi dari komponen tersebut sudah menjadi pertimbangan bagi pihak pengelola baik dari sisi produktivitas yang optimum dan berkelanjutan serta menjamin kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Umumnya, kombinasi komponen penyusun agroforestri didasarkan pada kebutuhan masyarakat sekitar hutan dan potensi yang dapat dimanfaatkan di sekitar kawasan hutan.

Dalam penerapan agroforestri, pada suatu lahan terdiri dari tumbuhan pohon dengan fungsi akar pohon sebagai penjaga kondisi tanah dan seresah sebagai pupuk organik serta menjadi investasi bagi petani, sedangkan komponen lainnya berfungsi sebagai komoditas utama dengan hasil yang bisa langsung dirasakan manfaatnya ataupun dijual ke pasar oleh petani.

Agrislvikultur merupakan kegiatan agroforestri dengan penggunaan lahan menggunakan kombinasi tegakan kehutanan dan tanaman pertanian. Pada umumnya tegakan yang ditanam merupakan jenis komersial yang bisa menjadi penyokong pertumbuhan tanaman pertanian dan juga sebagai investasi bagi petani. Sedangkan tanaman pertanian yang ditanam merupakan tanaman dengan produktivitas hasil yang tinggi. Agrisilvikultur sudah banyak diterapkan di Indonesia karena mudah diterapkan dan lahan pertanian lebih banyak ditemukan sehingga peralihan lahan lebih diutamakan.

Silvopastura merupakan kegiatan agroforestri, yang di dalamnya terdapat kombinasi proporsional dengan usaha peternakan, baik dilepas liarkan dan/atau pengandangan ternak. Sehingga untuk kombinasi ini, untuk jenis tegakan yang ditanam pada bidang olah berupa jenis tanaman yang tajuknya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, ataupun adanya tumbuhan bawah pada suatu lahan tegakan yang menjadi sumber pakan ternak. Dalam perilaku petani dan peternak atau petani sekaligus peternak dalam beternak, dapat diketahui dampak yang diakibatkan pada bidang olah. Apabila ternak dilepas liarkan, maka ternak tidak akan mengalami stres, namun berdampak pemadatan tanah pada bidang olah tetapi terjadi pemupukan alami dari kotoran ternak, bagi tegakan maka akan terjadi perlukaan batang akibat tanduk ternak, matinya semai karena terinjak, rusaknya tegakan karena tajuk yang dimakan ternak. Apabila ternak dikandang, maka petani yang akan memungut pakan ternak, dampaknya adalah ternak akan mudah stres, namun untuk bidang olah dan kondisi tegakan akan tetap terjaga. Pada bidang olah agrosilvopastura, maka perlu dilakukan pengelolaan unit manajemen lahan dengan membagi bidang olah antara tanaman pertanian dengan Hijauan Makan Ternak (HMT) ataupun memanfaatkan bahan organik atau biomassa dari tanaman pertanian sebagai pakan ternak, dimana tegakan akan tetap terintegrasi dengan unit manajemen lahan.

Silvofishery merupakan sistem dengan mengintegrasikan kolam dengan pohon bakau untuk menghasilkan manfaat ekonomi dari kegiatan budidaya di air payau dan kelestarian lingkungan. Budidaya yang dimaksud adalah tambak ikan atau udang yang dilakukan di kawasan pantai yang diintegrasikan dengan tegakan bakau atau mangrove. Pada silvofishery, komponen perikananlah yang menjadi komoditas utama bagi pendapatan petani. Untuk tegakan mangrove, bagian akar akan menjadi rumah bagi ikan dan bermanfaat terhadap ekologi pantai seperti peningkatan kualitas air dikarenakan mangrove dapat menyerap bahan organik yang dihasilkan dari kegiatan yang dilakukan manusia. Selain itu, tegakan mangrove toleran terhadap salinitas air limbah di muara sungai serta menjadi lapisan garis pantai yang bermanfaat dalam mencegah bencana alam.

Penerapan berbagai macam agroforestri di Indonesia memiliki potensi yang tinggi dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia masih berprofesi sebagai petani dan peternak yang umumnya masih tinggal di sekitar kawasan hutan. Agrisilvikultur memiliki potensi penerapan yang tinggi, baik di daerah pedesaan maupun wilayah perkotaan juga sudah ditemukan lahan pertanian yang diintegrasikan dengan tegakan. Untuk penerapan silvopastura umumnya dilakukan pada kawasan hutan milik perusahaan yang sudah bekerja sama dengan masyarakat sekitar ataupun hutan milik sendiri untuk pemanfaatan lahan hutan dengan silvopastura. Adapun penerapan agrosilvopastura sudah mulai dilakukan meskipun belum banyak ditemukan. Kelebihan dari penerapan berbagai macam agroforestri adalah lingkungan ekologi yang semakin membaik dan adanya kesadaran terhadap kelestarian lahan dan lingkungan, namun kekurangannya adalah dalam penerapannya sendiri belum bisa optimal dikarenakan adanya pemahaman yang berbeda bagi petani dengan konsep agroforestri sendiri. Harapan kedepannya penerapan dari berbagai macam agroforestri berdasarkan komponen penyusunnya dapat optimal sehingga menghasilkan manfaat yang lebih maksimal bagi lingkungan maupun petani dan peternak.

 

Teknik Alley Cropping dan Pengelolaannya dalam Pembangunan Agroforestri di Bidang Kehutanan

Sumber:  Sidik H.Tala’ohu.

Agroforestri adalah sistem usaha tani yang mengombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan untuk meningkatkan keuntungan serta memberikan nilai tambah. Dalam satu kawasan hutan terdapat pepohonan baik homogen maupun heterogen yang dikombinasikan dengan satu atau lebih jenis tanaman pertanian. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan cara ini adalah, masyarakat dapat mendapatkan hasil dari lahan hutan tanpa harus menunggu lama tanaman hutan dapat dipanen karena dapat memperoleh hasil dari tanaman pertanian baik per bulan atau per tahun tergantung jenis tanaman pertaniannya.

Di Indonesia, terdapat beberapa tipe teknik agroforestri yang diterapkan masyarakat Indonesia untuk memaksimalkan lahan dan mengoptimalkan hasil, salah satunya teknik Alley cropping. Teknik ini adalah suatu bentuk usaha tani atau penggunaan tanah untuk menanam tanaman semusim atau tanaman pangan. Dimana, dilakukan penanaman tanaman pangan di lorong (Alley) diantara barisan tanaman pagar. Pangkasan dari tanaman pagar digunakan sebagai mulsa yang diharapkan dapat menyumbangkan hara terutama nitrogen kepada tanaman lorong. Tanaman yang digunakan untuk tanaman pagar antara lain adalah lamtoro (Leucaena leucocephala), gliricidia (Gliricidia sepium), kaliandra (Caliandra calothyrsus) atau flemingia (Flemingia congesta).

Tujuan dari adanya barisan tanaman pagar, diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar. Dalam penerapannya, tentu adanya persaingan sinar matahari oleh tajuk tanaman pagar adalah salah satu hal yang tidak dapat dihindari. Tetapi munculnya persaingan ini dapat diatasi dengan memangkas tajuk tanaman pagar secara teratur selama musim pertanaman komoditas tanaman yang dibudidayakan di lorongnya. Nantinya, sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar disarankan untuk dikembalikan sebagai mulsa disebarkan di antara barisan tanaman budidaya.

Tentu dalam penerapannya di lapangan, terdapat kelebihan dan kelemahan dari teknik Alley cropping ini. Adapun kelebihan dari teknik ini seperti dapat menyumbangkan bahan organik dan hara terutama nitrogen untuk tanaman lorong. Sedangkan, kelemahan dari teknik ini seperti, adanya pengaruh alelopati dan berkembangnya hama atau penyakit pada tanaman pagar yang dapat mengganggu tanaman pangan. Selain itu, juga sering terjadi persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman utama untuk mendapatkan hara, air, dan cahaya.

Sebenarnya, masih banyak teknik lain yang dapat diterapkan dalam sistem Agroforestri. Sangat disayangkan, jika beberapa teknik dalam sistem agroforestri ini tidak dikembangkan. Terutama teknik Alley cropping, mengingat negara kita ini sangat kaya akan potensi sumber daya alam hutan. Tidak menutup kemungkinan jika tidak diimbangi dengan teknik pengelolaan yang baik dan benar (Agroforestri), potensi sumber daya hutan ini juga akan rusak dan habis. Dan tentunya harus dibarengi dengan sistem pengurusan dan pengelolaan hutan yang didasarkan pada prinsip permudaan (penanaman), pertumbuhan, komposisi, kesehatan dan kualitas suatu hutan untuk mencapai aspek ekologi dan ekonomi yang diharapkan. Upaya yang dilakukan diharapkan dapat membantu menggerakkan sektor kehutanan. Sangat ironis, negara Indonesia yang kaya akan hasil hutan justru tidak mampu menjaga dan membangun ranah kehutanan yang baik bagi negaranya sendiri. Menuju 100 tahun Indonesia merdeka di 2045, ada secercah harap bahwa kekayaan hutan Indonesia mampu menggerakkan sektor kehutanan yang gemilang selaras dengan nilai – nilai luhur dan cita-cita bangsa Indonesia.

 

Penulis : Shinta Amilin Dzulfa, Fakhrani Amalia Adani Sulistyo, & Citra Kartini Ajeng Permatasari  

Daftar Pustaka

Andriansyah, R., Hidayah, A.K., Tirkaamiana, M.T. 2021. Studi Tentang Pemanfaatan Lahan Dengan Pola Agroforestry Pada Kebun Belimbing Di Desa Manunggal Jaya Kecamatan Tenggarong Sebrang. Jurnal Ilmu Pertanian dan Kehutanan, 1-15.

De-León-Herrera, R., Flores-Verdugo, F., Flores-de-Santiago, F., & González-Farias, F. (2015). Nutrient removal in a closed silvofishery system using three mangrove species (Avicennia germinans, Laguncularia racemosa, and Rhizopora mangle). Mar Pol Bull, 91(1), 243-248.

Handayani, S., Mansur, I., & Karti, P. D. M. (2019). Pengaruh Kerapatan Pohon dan Pemupukan Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Rumput di Bawah Tegakan Samama (Anthocephalus macrophyllus (Roxb. Havil.)). Jurnal Silvikultur Tropika, 10(2), 89-94.

Kayoga, Y. Walangita, H.D., Kaide, R.P. 2018. Agroforestri Pola Kebun Campuran Di Desa Warembungan Kecamatan Pineleng Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Ilmu Kehutanan dan Pertanian, 1-7.

Latue, Y.A., Pattinama, M.J., dan Lawalata, M. 2018. Sistem Pengelolaan Agroforestri Di Negeri Riring Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal Agribisnis Kepulauan, 6(3) : 2018-230.

Musa, M. Lusiana, E. D., Buwono, N. R., Arsad, S., & Mahmudi, M. (2020). The effectivenes of silvofishery system in water treatment in intensive whiteleg shrimp (Litopenaeus vannamei) ponds, Probolinggo District, East Java, Indonesia. Biodiversitas, 21(10), 4695-4701.

Musa, M., Mahmudi, M., Arsad, S., & Buwono, N. R. (2020). Feasibility study and potential of pond as silvofishery in coastal area: Local case study in Situbondo Indonesia. Regional Studies in Marine Science, 33, 1-9.

Nair, P. K. (1993). An Introduction to Agroforestry. Canada: Kluwer Academic Publishers. Parthiban, K. T., Krishnakumar, N., & Karthick, M. (2019). Introduction to Forestry and Agroforestry. India: Scientific Publisher .

Sari, M., Hatta, M., & Permana, A. (2014). Ecological status and development of silvofishery for increasing peoples economy (The Case of RPH-Tegal Tangkil, KPH Purwakarta, Blanakan Subang East Java). Acta Aquatica, 2(1), 41-47.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.