Biodiversitas Tanah : Keragaman Tanah di Indonesia

Sumber: Canva.com

Biodiversitas Tanah : Keragaman Tanah di Indonesia

Kenalilah tanahmu maka suburlah hutanmu”

Tanah merupakan sumber kehidupan, proses kehidupan, dan juga akhir kehidupan. Semua hal tentang hutan dan kehutanan bermuara di tanah. Tanah berguna sebagai media tumbuh pohon di hutan, hingga pohon mati pun akan kembali terurai di tanah. Tanah merupakan tempat berpijaknya akar sehingga tegak berdiri, sumber penyedia unsur hara, gudang air, dan gudang pernafasan akar. Fungsi tanah di kehutanan belum dapat digantikan dengan sumber daya lain. Padahal, perbedaan letak geografis suatu wilayah di Indonesia menyebabkan adanya keragaman jenis tanah. Karena itu, pengenalan akan macam tanah menjadi sebuah urgensi mendesak yang melatarbelakangi artikel ini. Misi penyelamatan hutan yang gencar digaungkan dewasa ini akan terasa sia-sia apabila tidak dilakukan pengenalan terhadap jenis tanah yang ada terlebih dahulu, kita hanya membuang energi dengan mengejar ekor kita sendiri. Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa jenis tanah yaitu tanah entisol, endosol, vertisol, ultisol, histosol dan spodosol.

Vertisol

Ilustrasi Tanah Vertisol

Sumber : http://terimailmu.blogspot.com/2017/04/tanah-vertisol.html

Klasifikasi tanah yang disusun oleh USDA dalam soil taxonomy menempatkan vertisol sebagai salah satu ordo tanah. Vertisol berasal dari bahasa latin “verto” yang artinya terbalik. Yang dimaksud terbalik adalah horizon tanah vertisol, yaitu epipedon berada di sub epipedonnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya proses argillipedoturbation, yaitu proses pencampuran tanah lapisan atas dan bawah yang diakibatkan oleh kondisi basah dan kering yang disertai pembentukan rekahan-rekahan secara periodik. Hal inilah yang menjadikan tanah vertisol memiliki ciri khusus yaitu dapat mengembang dan mengkerut. Ketika basah, tanah menjadi sangat lekat dan palstis serta kedap air, tapi ketika kering, tanah menjadi sangat keras dan masif atau membentuk pola prisma yang terpisahkan oleh rekahan. (Utomo, 2016;Prasetyo, 2007). Nama lain dari vertisol adalah tanah grumusol yang mencirikan gumpalan yang keras.Tanah ini terbentuk pada iklim kering dengan bahan induk logam alkali seperti batuan gamping dan dolomit. Bahan induk tersebut kaya akan bahan alkalin seperti Ca dan Mg. Bahan tersebut bersifat alkalin dan membuat pH tanah ini netral. Tanah verisol didominasi oleh mineral smektit (2:1) yang menyebabkan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada vertisol tinggi. Tingkat pelapukan tanah vertisol rendah karena memiliki drainase tanah yang buruk (Nursyamsi, 2005). Tanah vertisol tersebar pada daerah torpis sekitar 4% dari luas daratan yaitu sekitar 200 juta hektar. Tanah ini dapat dijumpai pada topografi relative datar sekitar 300 mdpl.Di Indonesia, tanah ini tersebar mencapai 2.1 juta hektar yang tersebar di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Timor (Subagjo, 1983).

Ultisol

Ilustrasi Tanah Ultisol

sumber : https://www.pinterpandai.com/tanah-ultisol-penjelasan-karakteristik-dan-contoh/

Seluas 63% tanah di kawasan tropika basah di dominasi oleh tanah oxisol dan ultisol. Tanah tersebut merupakan tanah tua dengan laju pelapukan tinggi dan kesuburan rendah. (Lal dalam Subowo, 2012). Kondisi tersebut perlu diberi perhatian karena keadaannya yang mengkhawatirkan.  Salah satu yang menarik untuk dibahas adalah tanah Ultisol, yang biasa disebut sebagai tanah Podsolik Merah Kuning (PMK). Ultisol berasal dari kata “ultimulus” yang artinya terakhir. Tanah ultisol adalah ordo tanah yang mengalami pelapukan lanjut dan pencucian intensif (Buckman, 1982). Ultisol mempunyai horizon argilik atau kandik dengan kejenuhan basa <25%. Ultisol ditemukan pada wilayah dengan curah hujan tinggi serta pelapukan intensif, dan basa basa di dalamnya mengalami pencucian yang menyebabkan iluvasi liat di lapisan bawah tanah. Persebaran Ultisol di Indonesia dapat ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan tua, topografi berombak sampai berbukit, dan bagian terluas dari lahan kering yang belum dijadikan lahan pertanian. (Hardjowigeno dalam Subowo, 2012).

Tanah ordo Ultisol terkenal sebagai salah satu jenis tanah kurang subur. Terbentuk dari akumulasi liat pada bagian bawah mengurangi daya resapan air yang justru meningkatkan aliran permukaan aliran yang menyebabkan tanah ini sangat peka terhadap erosi.  Sifat fisika, kimia, dan biologi tanah ultisol yaitu kandungan bahan organic yang rendah sampai sedang, tingkat keasaman tinggi, kandungan unsur hara N,P,K rendah, serta nilai KTK dan KB yang rendah. Meskipun demikian, apabila dilakukan pengelolaan tanah yang cocok tanah ini dapat berproduksi secara optimal. Keberadaan tanah tanah yang kurang subur seperti tanah Ultisol ini mulai banyak dimanfaatkan karena tanah-tanah yang relatif subur semakin berkurang akibat penggunan lahan yang tidak sesuai sehingga tanah yang kurang subur ini dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat (Karmilawati, 2018; Andalusia dkk, 2016).

Histosol

Ilustrasi Tanah Histosol

sumber : https://www.pantaugambut.id

Histosol, berasal dari bahasa Yunani, yaitu “histos” bermakna “jaringan”. Tanah histosol yang saat ini lebih populer disebut tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik seperti sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Tanah gambut umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase (Najiyati dkk. 2005). Sebagian besar bersifat asam dan banyak yang sangat kekurangan nutrisi tanaman utama yang hanyut di tanah yang secara konsisten lembab. Proses terbentuknya gambut dimulai dari adanya cekungan atau genangan air yang sangat luas yang mengalami pendangkalan secara perlahan dan bertahap.

Secara keseluruhan, gambut di Indonesia tersebar di 3 pulau utama yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua dan sebagian kecil Sulawesi (Wahyunto dkk, 2013). Dilansir dari laman yang memang menyoroti masalah gambut di Indonesia : Pantau Gambut, saat ini total luasan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 14,95 juta hektar dimana sekitar 6,66 juta hektar atau 44,6% telah terdegradasi.

Berbicara tentang gambut, walaupun memiliki julukan “Si Miskin Hara” namun dibalik itu, gambut memiliki segudang manfaat. Lahan gambut mempunyai multifungsi yakni fungsi hidrologi, produksi, dan ekologi yang sangat vital bagi kelangsungan hidup manusia (Masganti, 2013). Lahan gambut mempunyai banyak manfaat, diantaranya yang utama adalah pencegah banjir di musim hujan dan mencegah kekeringan di musim kemarau. Lahan gambut memiliki kemampuan luar biasa untuk menampung air pada musim hujan. Manfaat gambut lainnya adalah sebagai habitat bagi kehidupan berbagai macam satwa dan tumbuhan serta lahan budidaya pertanian, peternakan, dan perikanan yang menguntungkan apabila dikelola secara baik. (Rina dan Noorginayuwati 2007; Masganti dan Yuliani 2009; Masganti 2013).

Anggapan yang beredar di masyarakat bahwa gambut merupakan lahan tidak berguna merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan dan lahan gambut. Degradasi lahan gambut terjadi antaranya disebabkan oleh kebakaran lahan, kesalahan dalam pengelolaan air, pembalakan liar, dan kegiatan penambangan. Lahan gambut terdegradasi merupakan lahan gambut yang mengalami penurunan fungsi hidrologi, produksi, dan ekologi akibat memburuknya sifat kimia, fisika dan biologi gambut, sehingga produktivitasnya menurun, bahkan sebagian menjadi tidak produktif dan dibiarkan menjadi semak belukar dan lahan terbuka bekas tambang sebagai lahan terlantar.

Spidosol

Ilustrasi Tanah Spidosol

Sumber : https://sitibecik.com/

Spodosol menjadi penting untuk diketahui karena tanah ini tergolong bermasalah untuk lahan pertanian maupun hutan (Hakim, 2019). Spodosols adalah tanah yang terbentuk dari bahan pasir atau lempung kasar dan masam. Tanah ini dicirikan oleh adanya horison B spodik atau horison akumulasi dari bahan-bahan amorf organik dan aluminium, dengan atau tanpa besi (Mokma and Buurman,1982). Spodosols tersebar luas di daerah beriklim dingin, sedang, atau beriklim basah. Spodosol di Indonesia hanya mencapai 1,1% dari luas daratan Indonesia.  Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah masam dan miskin unsur hara. Tekstur yang kasar mengakibatkan tanah ini mempunyai kemampuan meretensi hara dan air yang rendah sehingga rawan kekeringan. Di Indonesia, tanah ini dijumpai mulai dari dataran pantai hingga dataran tinggi >1.500 m dpl, dengan total curah hujan rata-rata tahunan antara 1.000 hingga lebih dari 3.000 mm. Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1: 1.000.000 (Puslittanak, 2000), Spodosols hanya dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, sedangkan di daerah beriklim kering yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanah tersebut tidak dijumpai (Yatno dan N. Suharta, 2019).

Spodosols tipikal dicirikan oleh adanya empat horison utama yaitu: (i) horison organik permukaan yang berwarna gelap atau horison A, (ii) horison eluvial atau horison E albik yang berwarna pucat, (iii) horison iluvial atau horison B spodik yang berwarna gelap kemerahan, kecoklatan atau kehitaman yang diperkaya oleh bahan-bahan amorf, dan (iv) horison C berpasir di bawahnya (Mc Keague dkk., 1983). Di Indonesia, Spodosols dibedakan dalam tiga subordo yaitu yang mempunyai sifat akuik (Aquods), mempunyai kandungan bahan organik sebesar 6% atau lebih pada horison spodiknya (Humods), atau yang lainnya (Orthods). Spodo sols yang mempunyai rejim suhu tanah cryik atau sangat dingin atau mengalami masa beku (Cryods dan Gelods), tidak dijumpai di Indonesia.

Sebagian besar Spodosol berkembang di daerah hutan. Karena secara alamiah tanah ini tidak subur, Spodosols membutuhkan pegapuran agar menjadi lahan pertanian yang subur. Penggunaan Spodosols untuk lahan pertanian maupun hutan sangat tergantung pada sifat fisik dan kimia tanahnya, yang diketahui mempunyai kisaran karakteristik yang cukup lebar sehingga diperlukan adanya kehati-hatian dalam memilih tanah-tanah tersebut baik untuk pertanian maupun kehutanan. Spodosols tergolong tanah berpotensi rendah baik untuk pertanian maupun kehutanan. Oleh karena itu, pemanfaatan Spodosols harus diarahkan bukan hanya untuk peningkatan produksi, akan tetapi juga harus diarahkan pada penyehatan lingkungan dan perawatan tanah (soil care).

Entisol

Ilustrasi Tanah Entisol

sumber : https://www.pinterpandai.com/

Entisol merupakan jenis tanah yang masih sangat muda dimana jenis tanah ini belum membentuk horison  secara nyata. Tanah entisol banyak ditemukan pada lapisan atmosfer tanah atau di daerah – daerah tempat terjadinya erosi. Warna dari tanah entisol adalah coklat hingga abu – abu. Tanah entisol terbentuk akibat endapan lumpur yang biasanya terbawa karena aliran sungai (Santoso, dkk., 2021). Tanah entisol ini merupakan tipe tanah yang bertekstur cenderung kasar, memiliki konsistensi lepas – lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan bahan organik serta unsur hara yang rendah. Di Indonesia, lahan entisol berada pada urutan ketiga terluas setelah Inseptisol dan Ultisol, yaitu sebesar 9,6% luas daratan Indonesia atau sekitar 18 juta hektar. Tanah jenis ini banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara (Andrieni, dkk., 2022).

Di Indonesia, jenis tanah entisol banyak dimanfaatkan untuk areal persawahan seperti budidaya sayuran karena memiliki tekstur yang lembut dan mudah untuk diolah sehingga dapat dicangkul dengan mudah (Herman, dkk., 2020). Keunggulan dari tanah entisol adalah memiliki drainase dan aerasi yang baik. Kelemahan dari jenis tanah ini adalah memiliki kandungan bahan organik dan unsur hara yang rendah terutama nitrogen, sehingga dalam pengelolaannya perlu dilakukan penambahan unsur hara N melalui pemupukan dan juga bahan organik untuk memperbaiki struktur tanah yang porous.

Andosol

Ilustrasi Tanah Andosol

Sumber : https://www.pinterpandai.com/

Tanah Andosol merupakan tanah yang berasal dari bahan organik hasil aktivitas vulkanik gunung berapi. tanah ini memiliki warna gelap kecoklatan hingga hitam, gembur, dan terasa licin ketika digenggam. Tanah ini tersusun dari mineral primer berupa fraksi pasir dan abu yang berasal dari material vulkanik gunung berapi dan juga mineral sekunder berupa fraksi liat dengan ukuran yang sangat kecil. Tanah dengan kandungan material vulkanik memiliki tingkat kesuburan yang baik karena bahan pirolistik hasil erupsi mengandung mineral alofan yang berkembang menjadu pilosilikat kaolinit dan smektit sehingga kapasitas tukar kation tanah menjadi tinggi (Purwanto, dkk., 2019). Tanah andosol memiliki solum yang cukup tebal, yaitu 100 – 225 cm. tekstur tanah relatif berdebu, lempung berdebu hingga lempung. Strukturnya remah dengan konsistensi gembur. Kandungan bahan organik tanah andosol relatif tinggi, yaitu 11 – 20% dengan pH 5 – 7.

Di Indonesia, tanah andosol banyak dimanfaatkan untuk menanam sayuran dan areal perkebunan pada dataran tinggi dengan kemiringan yang curam. Tanah andosol ini memiliki permeabilitas yang cepat, dapat menahan air dengan baik dan peka terhadap erosi. Persebaran tanah andosol banyak ditemukan pada daerah dengan curah hujan yang tinggi (2.500 – 6.500 mm /tahun) dengan ketinggian lokasi 15 – 2.000 mdpl. Luas lahan tanah andosol di Indonesia mencapai sekitar 5 juta hektar dengan daerah persebaran di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Timur, Pulau Jawa, Bali, Lombok, Halmahera, Minahasa, dan sebagain kecil di Pulau Kalimantan (Sunarko, 2014).

 

Penulis : Maria Agustha N. B. P., Nabila Anggita A, dan Riska Annisa Mayfinda.

Penyuting : Alnus Meinata 

Daftar Pustaka

Andalusia, B., Zainabun, Z., & Arabia, T. (2016).Karakteristik Tanah Ordo Ultisol Di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara I (Persero) Cot Girek Kabupaten Aceh Utara. Jurnal Kawista Agroteknologi, 1(1), 45-49.

Andrieni, P.H., Rita, H., dan Zzaitun. 2022. Penagruh Residu Pembenah Tanah terhadap Pertumguhan dan Hasil Tanaman Kangkung (Ipomea repstans Poir.) pada Tanah Entisol. Jurnal Ilmuah Mahasiswa Pertanian, 7(1), 37 – 46.

Herman, W., Wuri, P., dan Zainal, A. 2020. Pemanfaatan Biochar Plus terhadap Tanah Entisol Pesisir Pantai dan Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea L.). Jurnal Galung Tropika, 9 (1), 68 – 74.

Karnilawati, K. (2018). Karakterisasi dan Klasifikasi Tanah Ultisol di Kecamatan Indrajaya Kabupaten Pidie. Jurnal Ilmiah Pertanian, 14(2), 52-59.

Masganti dan N. Yuliani. 2009. Arah dan Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut di Kota Palangkaraya. Agripura 4(2):558-571.

Masganti. 2013. Teknologi Inovatif Pengelolaan Lahan Suboptimal Gambut dan Sulfat Masam Untuk Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Pengembangan Inovasi Pertanian 6(4):187-197.

Mc Keague, J.A., F. De Coninck, and D.P. Franzmeier. 1983. Spodosols. In: Pedogenesis and Soil Taxonomy. II. The Soil Orders. L.P. Wilding, N.E. Smeck and G.F. Hall (Eds.). Elsevier. Amsterdam Oxford-New York-Tokyo 1983.

Mookma, D.I. and P. Buurman. 1982. Podzols and Podzolization In Temperate Regions. ISM Monograph 1. Int. Soil Museum, Wageningan. P.126.

Najiyati, S., L. Muslihat, dan I.N.N. Suryadiputra. 2008. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest, and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programe dan Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia.

Nursyamsi, D. (2005). Sifat-sifat Kimia dan Mineralogi Tanah serta Kaitannya dengan Kebutuhan Pupuk untuk Padi (Oryza sativa), Jagung (Zea mays), dan Kedelai (Glycine max). Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian Journal of Agronomy), 33(3).

Pengantar Peta Sumberdaya Tanah Eksplorasi – Pusat Penelitian Tanah & Agroklimat, 2000.

Prasetyo, B. H. (2007). Perbedaan sifat-sifat tanah vertisol dari berbagai bahan induk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, 9(1), 20-31.

Purwanto, S., Rachmat, A.G., dan Sukarman. 2019. Karakteristik Mineral Tanah Berbahan Vulkanik dan Potensi Kesuburannya. Jurnal Sumberdaya Lahan, 12 (2), 83 – 98.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak). 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000. Departemen Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Rina, Y., dan Noorginayuwati. 2007. Persepsi petani tentang lahan gambut dan pengelolaannya. Dalam Muhlis et al. (Eds). Kearifan Lokal Pertanian di Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Halaman:95-107.

Santoso, B., Fitriningdyah, T.K., dan Mohammad, C. 2021. KENAF (Hibiscus cannabius L.) : Perspektif dan Potensinya sebagai Sumber Serat Alam Masa Depan. Yogyakarta : PT Kanisius.

Subagjo, H. 1983. Pedogenesis Dua Pedon Grumosol (Vertisol) dari Bahan Vulkanik Gunung Lawu Dekat Ngawi dan Karanganyar. Pemberitaan Pen. Tanah dan Pupuk, No.2:8-18.

Subowo, G. (2012). Pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk rehabilitasi tanah Ultisol terdegradasi. Jurnal Sumberdaya Lahan, 6(2).

Sunarko. 2014. Budi Daya Kelapa Sawit di Berbagai Jenis Lahan. Jakarta Selatan : AgroMedia Pustaka.

Utomo, D. H. (2016). Morfologi profil tanah vertisol di kecamatan kraton, kabupaten pasuruan. Jurnal Pendidikan Geografi, Th, 21.

Wahyunto, S. Ritung, K. Nugroho, Y. Sulaiman, Hikmatullah, C. Tafakresnanto, Suparto, dan Sukarman. 2013a. Peta Arahan lahan Gambut Terdegradasi di Pulau Sumatera Skala 1:250.000. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor. 27 halaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.