sumber gambar : chemistryworld.com
Membangun dan mengembalikan fungsi hutan agar tetap lestari merupakan tanggungjawab bagi seorang rimbawan. Lahan bekas tambang yang sangat terdegradasi dapat kembali dijadikan hutan yang produktif dengan adanya tekad yang kuat dan ilmu praktek yang mumpuni. Reklamasi akan semakin mudah dengan memahami terlebih dahulu tantangan dan permasalahan apa saja yang akan dihadapi. Secara umum, permasalahan lahan bekas tambang berkaitan dengan kerusakan tapak baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Berikut ini adalah kendala-kendala yang sering ditemukan dalam kegiatan reklamasi lahan bekas tambang:
- Bentuk Tatanan Lahan Buruk
Lahan bekas tambang memiliki karakteristik topografi dan hidrologi yang beragam tergantung kepada jenis bahan tambang dan cara penambangan yang dilakukan. Lokasi bekas tambang dengan tatanan lahan buruk mengakibatkan berbagai permasalahan seperti lahan berombak/bergelombang dengan tumpukan batuan penutup, tailing tersebar sporadis, tekstur dominan sangat kasar (pasir atau lebih kasar) atau sangat halus (klei berat), bekas lubang tambang banyak, kecil-kecil dan bertebaran sporadis, batuan penutup bersifat potentially acid forming (PAF), munculnya Air Asam Tambang (AAT), kondisi iklim kering, dan bahan amelioran untuk meningkatkan kualitas media tanam sulit didapat (Dirjen PPKL, 2016).
- Kesuburan Tanah Rendah
Pada umumnya, tanah di lahan bekas tambang memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi yang buruk. Menurut Suprapto (2008), lahan bekas tambang memiliki permasalahan fisik tanah terkait tekstur dan struktur tanah, permasalahan kimia tanah terkait pH tanah, kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity, serta permasalahan biologi tanah terkait tidak adanya tutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial. Lebih lanjut, Dirjen PPKL (2016) menyebutkan bahwa lahan bekas tambang memiliki pH sangat masam, tekstur berpasir atau klei sangat halus, kadar bahan organik sangat rendah, serta ketersediaan unsur hara makro dan mikro sangat rendah.
- Kubangan Raksasa dan Singkapan Lapisan Potentially Acid Forming (PAF)
Kendala utama pada lahan bekas tambang adalah adanya kubangan raksasa yang dihasilkan dari pengerukan tanah dan bahan tambang terutama untuk penambangan batu bara. Menurut Sigh 2006 dalam Widyatmaji dkk (2019), kubangan tersebut biasanya akan terisi oleh air asam tambang. Air Asam Tambang (AAT) merupakan air pH di bawah 5 hasil lindian, rembesan, dan aliran dari batuan PAF yang menyebabkan asam sulfida (biasanya berupa pirit) teroksidasi dikarenakan beraksi dengan oksigen dan air hujan. Oleh karena itu, lubang tersebut harus ditimbun. Jika tidak, maka akan menyebabkan terbentuknya kolam beracun. Bagian dasar lubang adalah lapisan Potentially Acid Forming (PAF) yang secara kimia sangat berbahaya bahkan bisa melepuhkan kulit. Maka, penimbunan tidak boleh dilakukan sembarangan. Sebelum ditimbun, bagian PAF harus diberi pembatas, misalnya dengan memberikan tanah lempung yang padat dan kedap air agar lapisan PAF tidak mencemari bagian tanah lain. Hal ini juga berlaku pada lahan bekas tambang bijih besi. Bahkan pada tambang bijih besi, penambangan dilakukan dengan cara mengiris batuan PAF yang sangat beracun. Subowo (2011) dalam Tampubolon dkk. (2020) melaporkan bahwa degradasi tanah akibat penambangan antara lain ditandai dengan perubahan lapisan tanah yaitu top soil yang bercampur dengan overburden (PAF) pada saat penimbunan kembali. Tanah dengan kandungan PAF mustahil untuk ditanami tanaman secara langsung. Sebaiknya, lapisan teratas bekas galian nantinya harus merupakan top soil dari lahan semula agar tanaman tidak perlu adaptasi lagi .
- Hilangnya Top Soil
Penambangan dilakukan dengan mengambil overburden atau lapisan tanah yang dianggap memiliki kandungan barang tambang. Hal tersebut mengakibatkan terangkatnya top soil yang menyebabkan tapak yang tersisa menjadi sangat miskin hara dan susah ditanami (Dirjen PPKL, 2016). Misalnya pada lahan bekas tambang gypsum yang biasa dilakukan di batuan kapur. Lahan bekas tambang gypsum memiliki tanah yang sangat padat serta keras, sehingga sangat perlu untuk mengembalikan top soil agar lahan memiliki tanah yang gembur dan subur. Biasanya, perusahaan tambang membuat “bank tanah” untuk menyimpan top soil sebelum melakukan penambangan (Dirjen PPKL, 2016). Penyimpanan top soil harus memperhatikan kehidupan mikroorganisme dan nutrisi tanah agar kandungan hara dan mikroorganisme tanah tetap terjaga. Menurut Paul dan Clark (1989) dalam Susilawati dkk. (2013), mikroorganisme tanah merupakan faktor penting dalam ekosistem tanah, karena berpengaruh terhadap siklus dan ketersediaan hara tanaman serta stabilitas struktur tanah.
Penulis : Shahnaz Sekartantri
Editor : Galang Rama Asyari
Sumber:
Dirjen PPKL. 2016. Petunjuk Teknis Pemulihan Kerusakan Lahan Akses Terbuka Akibat Kegiatan Pertambangan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan.
Malaka, Muhlis. 2019. Dampak Radiasi Radioaktif Terhadap Kesehatan. Jurnal Kajian Pendidikan Keislaman 11 (2) : 199 – 211.
Suprapto, S.J. 2008. Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan Aspek Konservasi Bahan Galian. Diakses dari psdg.bgl.esdm.go.id/buletin_pdf_file/Bul%20Vol%203%20no.%201%20thn%202008/3.%20Makalah%20Reklamasi%20Lahan%20Bekas%20Tambang.pdf pada 26 September 2021 pukul 13:34 WIB.
Susilawati, M., E. Budhisurya, R.C.W. Anggono, dan B.H. Simanjuntak. 2013. Analisis Kesuburan Tanah dengan Indikator Mikroorganisme Tanah pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Plateau Dieng. AGRIC 25 (1) : 64-72.
Tampubolon, G., I.A. Mahbub, dan M.I. Lagowa. 2020. Pemulihan Kualitas Tanah Bekas Tambang Batubara Melalui Penanaman Desmodium ovalifolium. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara 16 (1) : 39 – 45.
Widyatmaji, B.N., M.I.F. Pradana, dan J. Athian. 2019. Pemodelan Persebaran Batuan PAF dan NAF pada Pit Tidal, East Block, Wilayah Pertambangan Batubara PT. Indominco Mandiri di Wilayah Teluk Pandan, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-12. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.