
Pada tanggal 11 Februari 2025, wilayah Yogyakarta dikejutkan oleh fenomena hujan es yang cukup signifikan. Kejadian ini, meskipun tidak sepenuhnya asing, menimbulkan pertanyaan mengenai frekuensi dan intensitasnya yang mungkin dipengaruhi oleh perubahan iklim global. Hujan es terbentuk dalam awan cumulonimbus yang memiliki arus udara naik (updraft) yang kuat, mampu menahan partikel air di lapisan atmosfer yang sangat dingin hingga membeku menjadi es dengan berbagai ukuran sebelum akhirnya jatuh ke permukaan bumi (Wallace & Hobbs, 2006). Perubahan iklim, yang salah satu pemicunya adalah deforestasi atau kerusakan hutan, dapat memengaruhi pola cuaca ekstrem seperti ini. Hutan memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan hidrologis dan termal suatu wilayah. Kerusakan hutan mengurangi kemampuan lahan dalam menyerap karbon dioksida (CO2), gas rumah kaca utama penyebab pemanasan global, serta mengganggu siklus air yang berpotensi meningkatkan instabilitas atmosfer dan frekuensi kejadian cuaca ekstrem (IPCC, 2021).
Kaitan antara kerusakan hutan dan peningkatan risiko hujan es terletak pada terganggunya regulasi iklim mikro dan makro. Hutan membantu menstabilkan suhu dan kelembaban udara lokal. Deforestasi menyebabkan peningkatan suhu permukaan dan perubahan pola penguapan, yang dapat berkontribusi pada pembentukan awan konvektif yang lebih intens, tempat hujan es terbentuk. Selain itu, hilangnya tutupan hutan juga mengurangi infiltrasi air ke dalam tanah, meningkatkan limpasan permukaan, dan berpotensi memperparah dampak cuaca ekstrem seperti banjir dan erosi yang sering menyertai atau mengikuti kejadian hujan es. Laju deforestasi Indonesia telah melambat dalam beberapa tahun terakhir (2016-2021) dengan sebagian besar ekspansi berkembang karena sebuah komoditas tertentu. Menurut data GFW, sebagian besar kerugian di hutan primer Indonesia terjadi karena deforestasi yang sebenarnya terjadi di daerah yang diklasifikasikan secara hukum sebagai hutan sekunder daripada sebagai hutan primer.
Dampak hujan es terhadap sektor kehutanan dapat beragam dan signifikan. Kerusakan fisik pada tegakan pohon, seperti patahnya ranting, dahan, hingga batang utama akibat hantaman es, dapat mengurangi nilai ekonomi kayu dan hasil hutan bukan kayu lainnya. Lebih lanjut, luka pada pohon akibat es dapat menjadi pintu masuk bagi patogen dan hama penyakit, yang berpotensi menyebabkan penurunan produktivitas dan bahkan kematian pohon dalam jangka panjang (Smith et al., 1997). Selain itu, hujan es yang terjadi di kawasan hutan lindung atau konservasi dapat mengganggu ekosistem secara keseluruhan, merusak vegetasi penutup tanah, dan mempengaruhi keanekaragaman hayati. Pemulihan kawasan hutan pasca kejadian hujan es memerlukan waktu dan upaya rehabilitasi yang tidak sedikit, yang pada akhirnya akan membebani sektor kehutanan dari segi biaya dan sumber daya.
Pustaka:
IPCC. (2021). Climate Change 2021: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (Masson-Delmotte, V., Zhai, P., Pirani, A., Connors, S. L., Péan, C., Berger, S., Caud, N., Chen, Y., Goldfarb, L., Gomis, M. I., Huang, M., Leitzell, K., Lonnoy, E., Matthews, J. B. R., Maycock, T. K., Waterfield, T., Yelekçi, O., Yu, R., & Zhou, B., Eds.). Cambridge University Press.
Smith, D. M., Larson, B. C., Kelty, M. J., Ashton, P. M. S. (1997). The Practice of Silviculture: Applied Forest Ecology (9th ed.). John Wiley & Sons.
Wallace, J. M., & Hobbs, P. V. (2006). Atmospheric Science: An Introductory Survey (2nd ed.). Academic Press.