
Indonesia memiliki kekayaan alam dengan nilai tinggi yang berpotensi besar dalam pengembangan pariwisata, terutama di sektor ekowisata. Jenis wisata ini kini semakin diminati karena menekankan pada aspek pelestarian lingkungan, edukasi lingkungan, peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, serta penghormatan terhadap budaya setempat (Nugroho dan Negara, 2015). Salah satu destinasi wisata yang terkenal hingga ke mancanegara yaitu Raja Ampat, menurut Parinusa dkk., (2019) menyatakan bahwa Raja Ampat terdapat taman laut terbesar di Indonesia, memiliki keanekaragaman biota laut yang tinggi sehingga dikenal sebagai lokasi selam scuba yang eksotis. Raja Ampat dikenali dengan keindahan laut dan pemandangannya. Pulau ini diakui sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati terumbu karang terbesar di dunia. Dengan lebih dari 550 varietas karang yang berbeda, 700 jenis moluska, dan 1.427 spesies ikan yang berbeda, wilayah ini merupakan pusat keanekaragaman hayati laut yang signifikan. 75% dari seluruh spesies karang yang diketahui dapat ditemukan di perairan sekitar Kepulauan Raja Ampat, yang merupakan rumah bagi beberapa spesies paling beragam di dunia (Oscar dan Yusmar, 2025)
Selain daya tarik lautnya, Raja Ampat juga dikenal dengan hutan mangrovenya, Mambrisaw dkk., (2006) dalam Mirino dkk., (2014) menyatakan bahwa terdapat 25 jenis mangrove dan 27 jenis tumbuhan asosiasi mangrove. Kerapatan mangrovenya bahkan mencapai 2.350 batang per hektar. Selain itu, ekosistem ini juga menjadi habitat berbagai biota bernilai ekonomis seperti udang, kepiting bakau, dan rajungan. Beberapa jenis lain yang umum ditemukan antara lain ikan blodok (Periopthalmus sp.), belanak (Mugil dusumieri), bandeng (Chanos chanos), serta kerang. Ekosistem mangrove mempunyai peran dalam menjaga kejernihan perairan melalui perakarannya untuk menjebak atau perangkap sedimen dari darat. Sebagai habitat bagi flora dan fauna berinteraksi dalam ekosistem mangrove sehingga keberadaan mangrove menjadi sangat penting (Supriyadi dkk., 2017).
Mengutip berita dari Kompas.com, yang menyatakan bahwa Greenpeace Indonesia mengungkapkan terdapat beberapa aktivitas pertambangan nikel pada sejumlah pulau kecil di wilayah Raja Ampat, Papua antara lain, Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Padahal telah tercantum pada Undang-Undang bahwa pulau-pulau tersebut tidak boleh dilakukan aktivitas pertambangan. Aktivitas ini terbukti dengan adanya dokumentasi oleh pihak Greenpeace, yaitu terdapat limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir, yang disebabkan oleh pembabatan hutan dan pengerukan tanah. Sedimentasi tersebut dikhawatirkan dapat merusak ekosistem karang dan bawah laut yang sangat sensitif. Menurut Iqbal, Industrialisasi nikel yang makin masif seiring tren naiknya permintaan mobil listrik telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi.

Mengutip dari penelitian Sangadji dan Malau (2025) adapun dampak pertambangan yang terjadi pada aspek ekologis antara lain erosi dan sedimentasi, kerusakan terumbu karang, dan deforestasi. Dampak kerusakan ekologis yang pertama yaitu erosi dan sedimentasi, dapat terjadi akibat aktivitas manusia yaitu penggundulan hutan, perkebunan, dan pertambangan. Menurut Ulat dkk., (2024) aktivitas pertambangan di Pulau Gag menyebabkan erosi tanah yang cukup signifikan, erosi ini menyebabkan terbawanya partikel tanah oleh aliran air hujan dan berakhir di laut yang menyebabkan adanya sedimentasi di daerah pesisir yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan nelayan terpaksa melaut lebih jauh karena wilayah sebelumnya sudah tidak produktif. Selain itu, terdapat permasalahan debu tambang yang berasal dari tambang dan kendaraan tambang.
Kemudian dampak kerusakan ekologis yang kedua yaitu kerusakan terumbu karang, menurut Noris dalam Sangadji dan Malau (2025) kerusakan terumbu karang terjadi karena sedimentasi berlebihan yang terbawa air hujan ke laut. Sedimen tersebut menutupi permukaan terumbu karang, menghalangi cahaya matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis. Hal ini berdampak pada kerusakan terumbu karang dan kematian biota laut yang bergantung padanya, termasuk ikan-ikan karang. Terumbu karang yang mengalami kerusakan akan memberikan kerugian secara ekonomi dan sosial, di sisi lain juga memberikan dampak buruk bagi para nelayan skala kecil yang bergantung mata pencahariannya terhadap ekosistem terumbu karang (Ginting, 2023).

Kemudian dampak kerusakan ekologis yang kedua yaitu deforestasi, aktivitas pertambangan terutama tambang terbuka seperti sebuah PT di Pulau Gag, umumnya memerlukan penggundulan hutan sebagai tahap awal operasional. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan untuk membuka akses terhadap cadangan mineral yang umumnya terletak di bawah lapisan tanah yang masih tertutup vegetasi alami. Namun, proses ini berdampak signifikan terhadap lingkungan seperti erosi, sedimentasi, serta hilangnya keanekaragaman hayati, menurut laporan media lokal Jubi, eksploitasi nikel oleh perusahaan tersebut menyebabkan kerusakan hutan adat yang signifikan hingga menjadi gundul (Kailele dalam Sangadji dan Malau, 2025).
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas pertambangan nikel di sejumlah pulau kecil di Raja Ampat, terutama di Pulau Gag telah menimbulkan berbagai dampak ekologis yang serius meskipun secara hukum seharusnya dilarang. Kegiatan tambang tersebut menyebabkan erosi dan sedimentasi yang berujung pada kerusakan terumbu karang, penurunan produktivitas perikanan, serta gangguan terhadap mata pencaharian nelayan lokal. Selain itu, praktik pertambangan terbuka juga memicu deforestasi yang berakibat pada hilangnya keanekaragaman hayati dan kerusakan hutan adat. Secara keseluruhan, industrialisasi nikel di Raja Ampat tidak hanya mengancam kelestarian lingkungan, tetapi juga berdampak negatif terhadap aspek sosial-ekonomi masyarakat pesisir yang sangat bergantung pada ekosistem laut dan hutan.
Daftar Pustaka
Ginting, J. (2023). Analisis kerusakan terumbu karang dan upaya pengelolaannya. Jurnal Kelautan dan Perikanan Terapan (JKPT), 1, 53-59.
Kompas.com. (2025). Raja Ampat Terancam Tambang Nikel: Ketika “Surga Terakhir di Bumi” Dibidik Industri Ekstraktif. Diakses pada tanggal 28 Agustus 18.00. https://nasional.kompas.com/read/2025/06/08/07545831/raja-ampat-terancam-tambang-nikel-ketika-surga-terakhir-di-bumi-dibidik?page=all#page2
Mirino, E. H., Surbakti, S. B., & Zebua, L. I. (2014). Studi ekologi hutan mangrove di Kota Waisai Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Jurnal Biologi Papua, 6(1), 18-24.
Nugroho, I., & Negara, P.D. (2015). Pengembangan Desa Melalui Ekowisata. Penerbit PT Era Adicitra Intermedia, Solo.
Oscar Dwi Pangestu dan Yusmar Yusuf. (2025). Tambang Nikel Raja Ampat: Ancaman Kenanekaragaman Hayati atau Ancaman Pengangguran Baru?. JIM: Jurnal Ilmu Multidisiplin 4(3).
Parinusa, S. M., Ashar, K., & Kaluge, D. (2019). Analisis Determinan Lama Tinggal Wisatawan Homestay Studi Kasus Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Jurnal Pariwisata Pesona, 4(1), 11-23.
Sangadji, N. S., & Malau, A. G. (2025). ANALISIS DAMPAK PERTAMBANGAN NIKEL PT X DI PULAU GAG: Resiko Lingkungan dan Peluang Ekonomi. Journal Publicuho, 8(3), 1309-1322.
Supriyadi, I. H., Cappenberg, H. A., Souhuka, J., Makatipu, P. C., & Hafizt, M. (2017). Kondisi Terumbu Karang, Lamun Dan Mangrove Di Suaka Alam Perairan Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 23(4), 241-252.
Ulat, M. A., Handayani, H., Mulya, A., Poltak, H., & Ismail, I. (2024). Analysis of the Social, Economic, and Ecological Impact of Mining Activities of PT. Gag Nickel on Society and Coral Reef Ecosystem in Gag Island, Raja Ampat District. Formosa Journal of Multidisciplinary Research, 3(10), 3731-3746.