Arsip:

Artikel

Optimalisasi Silvikultur Intensif, Kuatkan Mangrove sebagai Penjaga Iklim

 

Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan global yang memerlukan upaya mitigasi dari berbagai sektor. Permasalahan ini cukup menarik perhatian masyarakat umum untuk ikut berpartisipasi dan menyuarakan dampak dari perubahan iklim. Terjadinya perubahan iklim memberikan dampak serius yang nyata terhadap kenaikan permukaan air laut, terganggunya ekosistem, serta penurunan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam mitigasi perubahan iklim, khususnya pada lahan basah seperti mangrove, perlu untuk dilakukan karena perannya yang penting dalam menyerap karbon (D. Were et al., 2019; Baharizki et al., 2024). Menurut Imburi et al. (2024) dalam Ramadhan & Sofyana (2025), kawasan mangrove mampu menyerap karbon hingga lima kali lebih banyak dibandingkan hutan terestrial.

Keberadaan ekosistem mangrove yang vital berbanding terbalik dengan kondisi ekosistem mangrove saat ini, khususnya di Indonesia. Kondisi ekosistem mangrove saat ini sangat memprihatinkan karena mendapatkan berbagai ancaman, salah satunya adalah alih fungsi lahan. Konversi  lahan mangrove untuk pertanian, perkebunan, budidaya tambak, pemukiman dan berbagai pembangunan lainnya menjadi penyebab rusaknya kawasan mangrove. Penjarahan menjadi salah satu bentuk kerusakan ekosistem yang hingga kini masih terus saja terjadi. Salah satu contohnya pada kasus pengalihfungsian hutan mangrove secara ilegal di kota Batam, Kepulauan Riau, yang dilakukan demi kepentingan bisnis (Wiyoga, 2023). Keegoisan manusia dalam mengabaikan fungsi ekologis mangrove hanya untuk keuntungan jangka pendek semakin mempercepat laju degradasi ekosistem ini. Apabila dibiarkan tanpa adanya intervensi, kerusakan ini akan semakin meluas dan berdampak serius terhadap keseimbangan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu program rehabilitasi yang tepat dan efektif.

Kegiatan rehabilitasi mangrove yang sesuai  dapat menjadi solusi dalam mengembalikan fungsi mangrove dan mitigasi iklim serta mengembalikan perannya dalam menyerap karbon. Oleh sebab itu, untuk mengembalikan fungsinya maka diperlukan upaya preventif melalui silvikultur intensif. Program Silvikultur Intensif (SILIN) merupakan program rehabilitasi yang bertujuan meningkatkan produktivitas dan ketahanan ekosistem melalui manipulasi lingkungan biofisik, pemuliaan tanaman, dan pengendalian hama maupun penyakit. Hasil penelitian Wiyono et al. (2018) dan Nugroho (2015) menunjukkan bahwa SILIN secara efektif meningkatkan tumbuh tanaman. Dalam rehabilitasi mangrove sendiri, SILIN dapat menjadi pendekatan adaptif yang mengintegrasikan teknologi budidaya intensif dengan prinsip-prinsip ekologi pesisir sehingga mempercepat pemulihan kawasan yang terdegradasi. Hal ini dilakukan dengan memilih jenis mangrove yang sesuai dengan kondisi biofisik setempat, diikuti dengan teknik penanaman yang tepat, serta pemantauan rutin.

Pilar silvikultur intensif terdiri dari 3 yaitu kegiatan pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan, pencegahan hama dan penyakit. Salah satu silvikultur intensif yang bisa diterapkan agar tanaman mangrove mampu sustained yaitu dengan pemuliaan pohon. Pemuliaan pohon menjadi langkah krusial dalam memastikan ketahanan spesies mangrove terhadap perubahan iklim. Proses ini mencakup seleksi genetik terhadap individu yang memiliki ketahanan terhadap salinitas tinggi, banjir pasang, dan fluktuasi iklim ekstrim. Menurut Leksono et al., (2020), pemuliaan pohon bukan hanya meningkatkan produktivitas tegakan, tetapi juga memperkuat stabilitas ekosistem dan fungsi lindung hutan. Kegiatan pemuliaan mangrove saat ini masih terbatas, namun memiliki peluang besar untuk diterapkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam tahapan memuliakan, yaitu menyeleksi individu-individu mangrove berdasarkan beberapa kriteria, antara lain diameter batang, tinggi batang bebas cabang, dan jumlah akar tunjang yang dapat dijadikan sebagai indikator produktivitas dan stabilitas ekologis.

Dari hasil pemuliaan ini dapat dilanjutkan dengan menjadikan sumber daya genetik yang dikonservasi agar dapat membantu proses pembentukan suatu ekosistem mangrove, serta mempertahankan fungsi ekosistem mangrove yang sesuai dengan berbagai kebutuhan. Suriadi et al. (2024), menyebutkan bahwa konservasi sumber daya genetik dari ekosistem mangrove dapat mempengaruhi produktivitasnya dengan beberapa cara: (1) keanekaragaman sumber daya genetik populasi yang tinggi akan meningkatkan kemungkinan spesies tersebut akan resisten terhadap perubahan iklim; (2) kuatnya sumber daya genetik berpengaruh pada kemampuan reproduksi dan regenerasi mangrove; (3) mangrove dengan keragaman genetik yang lebih tinggi, memiliki sistem pertahanan yang lebih baik serangan hama dan penyakit, dan pemicu stres lingkungan lainnya; (4) kesehatan sumber daya genetik (sehat) dapat mendukung berbagai fungsi ekosistem mangrove secara keseluruhan.

​​Program rehabilitasi mangrove juga harus memperhitungkan keterlibatan masyarakat secara aktif. Sebuah studi pengabdian oleh Wening et al., (2023) mencatat bahwa penanaman 600 bibit mangrove oleh mahasiswa dan masyarakat lokal di Muara Gembong berhasil mengurangi abrasi dan meningkatkan kesadaran lingkungan. Kegiatan ini tidak hanya berorientasi ekologi, tetapi juga mendorong kepedulian sosial dan dapat dijadikan model kolaborasi dalam pelaksanaan SILIN. Kementerian LHK dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2022 mencatat bahwa keberhasilan rehabilitasi mangrove tidak hanya bergantung pada teknik penanaman, tetapi juga pada kebijakan yang memfasilitasi kerjasama multipihak, termasuk peran swasta dan masyarakat adat (KLHK, 2022). Maka, keberlanjutan program seperti SILIN perlu dikawal oleh regulasi yang adaptif dan berbasis data.

 

Daftar Pustaka:

Baharizki, F. A., Hendriyanto, V., Putra, P. F. M., Tumanggor, T., Sitanggang, D. T., & Putri, K. S. (2024). Pemanfaatan Lahan Basa Buatan Sebagai Solusi Rekayasa untuk Penyerapan Karbon. Jurnal Himasapta, 8(3): 157-162.

Leksono, B., et al. (2020). Kumpulan Pemikiran 17 Profesor Riset untuk Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan. KLHK.

Nugroho, Y. (2015). Aplikasi silvikultur intensif untuk pertumbuhan tanaman pengayaan pada lahan reklamasi tambang batubara. Jurnal Hutan Tropis, 3(3), 241-246.

Ramadhan, F., & Sofyana, J. (2025). Pengaruh Dinamika Perubahan Lahan dan Aktivitas Manusia Terhadap Degradasi Mangrove serta Implikasi Terhadap Upaya Konservasi Pesisir: Review Literatur. Edusola: Journal Education, Sociology and Law, 1(1): 486-496.

Suriadi, L. M., Denya, N. P., Shabrina, Q. A., Agustina, G., Kuspraningrum, E., & Asufie, K. N. (2024). Perlindungan Sumber Daya Generik Ekosistem Mangrove Untuk Konservasi Lingkungan dan Keseimbangan Ekosistem. Jurnal Analisis Hukum, 7(2): 234-253.

Wening, W. K., Satpatmantya, K. S. B., & Kurniadi, N. T. (2023). Penanaman Mangrove sebagai Upaya Pencegahan Abrasi di Pesisir Pantai Bahagia. Jurnal Lentera Pengabdian, 1(1), 53–58.

Wiyoga, P. (2023). Alih fungsi hutan mangrove di Batam terus terjadi. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/10/17/hutan-mangrove-batam-terus-terkikis

Wiyono, W., et al. (2021). Penerapan Teknik Silvikultur Intensif pada Hutan Rakyat di Gunungkidul. Jurnal Pengelolaan Hutan.

 

Agroforestri

Sumber: Canva.com

Agroforestri

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang (UU No 41 tahun 1999). Oleh karena itu, perlu ada pengelolaan hutan secara baik agar dapat berdampak baik juga bagi kondisi ekonomi masyarakat sekitar hutan. Suatu sistem pengelolaan hutan yang memperhatikan aspek sosial dan ekologi yang dilaksanakan melalui kombinasi pepohonan dengan tanaman pertanian dan ternak disebut dengan sistem agroforestri. Agroforestri merupakan suatu sistem pengelolaan lahan yang memiliki fungsi produktif dan protektif (mempertahankan keanekaragaman hayati, ekosistem sehat, serta konservasi tanah dan air) dan sering digunakan sebagai salah satu contoh sistem pengelolaan berkelanjutan (Utami dkk, 2003) dalam (Andriansyah, dkk., 2021). Agroforestri juga dapat diartikan sebagai pengkombinasian yang terencana dalam satu bidang lahan antara tanaman berkayu (pepohonan), tanaman pertanian dan/atau ternak atau hewan baik secara bersama (pembagian ruang) ataupun bergiliran (periodik).

Sistem agroforestri bertujuan untuk meningkatkan persediaan stok pangan baik tahunan maupun tiap musim, meningkatkan serta memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produk bahan mentah pada kehutanan maupun pertanian, untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan, dan diharapkan mampu memberikan dampak positif berupa pemenuhan
jasa lingkungan sesuai fungsi hutan pada umumnya. Salah satu sistem agroforestri yang sering digunakan oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan petani adalah kebun campuran, yaitu kebun yang ditanami dengan tanaman kehutanan dan tanaman pertanian. Manfaat dari sistem agroforestri ini tidak hanya menguntungkan bagi petani, tetapi juga menguntungkan bagi kelestarian lingkungan. Seperti mengurangi aliran permukaan, pencucian zat hara tanah dan laju erosi, meningkatkan jumlah seresah, memperbaiki struktur tanah, serta mampu meningkatkan
keanekaragaman hayati.

Pengembangan sistem agroforestri harus disesuaikan dengan sifat fisik lingkungan (iklim, tanah, topografi) dengan persyaratan tumbuh tanaman untuk memberi informasi apakah suatu jenis tanaman itu dapat dikembangkan di daerah bersangkutan (Latue, dkk., 2018). Berdasarkan kondisi geografisnya Desa Warembungan merupakan wilayah perbukitan dengan topografi lereng agak curam sampai curam menyebabkan tanahnya rentan mengalami degradasi. Namun suatu hal yang menguntungkan bahwa sistem pertanian yang diterapkan sebagian besar petani di Desa Warembungan menerapkan sistem agroforestri. Sistem ini sangat sesuai dengan kondisi lingkungan fisik kawasan. Contoh dari sistem agroforestri, di Desa Warembungan dengan kombinasi tanaman kehutanan, perkebunan, pohon buahbuahan dan tanaman pangan dan hortikultura. Tanaman yang ditanam di Desa Warembungan mengkombinasikan tanaman kehutanan berupa Nantu (Palagium sp), mahoni (Swietenia mahagoni), kayu manis (Cinnamomum verum), cempaka (Magnolia champaca), dan angsana (Pterocarpus indicus) dengan jenis tanaman perkebunan berupa cengkeh (Syzygium aromaticum), kelapa (Coconus nutifera), pala, dan enau serta ada juga buah-buahan yang banyak di usahakan petani adalah alpokat, langsa, nangka, duku, rambutan, dan mangga, selain itu ada juga tanaman semusim berupa cabe, pisang, ubi kayu, gedi, keladi, dan daun serei. Sistem agroforestri pada daerah ini menggunakan pola tanam kebun campuran dengan pohon-pohon sebagai tanaman pagar, serta pola agroforestrinya berupa sistem agrivilkultur (Kayoga, dkk., 2018)

Klasifikasi Agroforestri berdasarkan Komponen Penyusunnya:
Agrisilvikultur, Silvopastura, Agrosilvopastura, Silvofishery.

Sumber: corpoguajira.gov.co

Agroforestri merupakan salah satu alternatif dari sistem pengolahan lahan secara lestari dan berkelanjutan dengan menggabungkan unsur atau komponen tumbuhan perenial di dalamnya. Komponen penyusun sistem agroforestri umumnya adalah pertanian dan kehutanan (agrisilvikultur), namun seiring meningkatnya kepedulian masyarakat menjadikan komponen pendamping kehutanan tidak hanya pertanian. Sandingan kehutanan lainnya pada sistem ini sejauh berkembangnya manipulasi lahan adalah peternakan (silvopastura) dan perikanan (silvofishery). Tidak hanya dua komponen, agroforestri bisa terdiri dari tiga komponen dengan menggabungkan komponen kehutanan-pertanian-peternakan (agrosilvopastural). Kombinasi dari komponen tersebut sudah menjadi pertimbangan bagi pihak pengelola baik dari sisi produktivitas yang optimum dan berkelanjutan serta menjamin kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Umumnya, kombinasi komponen penyusun agroforestri didasarkan pada kebutuhan masyarakat sekitar hutan dan potensi yang dapat dimanfaatkan di sekitar kawasan hutan.

Dalam penerapan agroforestri, pada suatu lahan terdiri dari tumbuhan pohon dengan fungsi akar pohon sebagai penjaga kondisi tanah dan seresah sebagai pupuk organik serta menjadi investasi bagi petani, sedangkan komponen lainnya berfungsi sebagai komoditas utama dengan hasil yang bisa langsung dirasakan manfaatnya ataupun dijual ke pasar oleh petani.

Agrislvikultur merupakan kegiatan agroforestri dengan penggunaan lahan menggunakan kombinasi tegakan kehutanan dan tanaman pertanian. Pada umumnya tegakan yang ditanam merupakan jenis komersial yang bisa menjadi penyokong pertumbuhan tanaman pertanian dan juga sebagai investasi bagi petani. Sedangkan tanaman pertanian yang ditanam merupakan tanaman dengan produktivitas hasil yang tinggi. Agrisilvikultur sudah banyak diterapkan di Indonesia karena mudah diterapkan dan lahan pertanian lebih banyak ditemukan sehingga peralihan lahan lebih diutamakan.

Silvopastura merupakan kegiatan agroforestri, yang di dalamnya terdapat kombinasi proporsional dengan usaha peternakan, baik dilepas liarkan dan/atau pengandangan ternak. Sehingga untuk kombinasi ini, untuk jenis tegakan yang ditanam pada bidang olah berupa jenis tanaman yang tajuknya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, ataupun adanya tumbuhan bawah pada suatu lahan tegakan yang menjadi sumber pakan ternak. Dalam perilaku petani dan peternak atau petani sekaligus peternak dalam beternak, dapat diketahui dampak yang diakibatkan pada bidang olah. Apabila ternak dilepas liarkan, maka ternak tidak akan mengalami stres, namun berdampak pemadatan tanah pada bidang olah tetapi terjadi pemupukan alami dari kotoran ternak, bagi tegakan maka akan terjadi perlukaan batang akibat tanduk ternak, matinya semai karena terinjak, rusaknya tegakan karena tajuk yang dimakan ternak. Apabila ternak dikandang, maka petani yang akan memungut pakan ternak, dampaknya adalah ternak akan mudah stres, namun untuk bidang olah dan kondisi tegakan akan tetap terjaga. Pada bidang olah agrosilvopastura, maka perlu dilakukan pengelolaan unit manajemen lahan dengan membagi bidang olah antara tanaman pertanian dengan Hijauan Makan Ternak (HMT) ataupun memanfaatkan bahan organik atau biomassa dari tanaman pertanian sebagai pakan ternak, dimana tegakan akan tetap terintegrasi dengan unit manajemen lahan.

Silvofishery merupakan sistem dengan mengintegrasikan kolam dengan pohon bakau untuk menghasilkan manfaat ekonomi dari kegiatan budidaya di air payau dan kelestarian lingkungan. Budidaya yang dimaksud adalah tambak ikan atau udang yang dilakukan di kawasan pantai yang diintegrasikan dengan tegakan bakau atau mangrove. Pada silvofishery, komponen perikananlah yang menjadi komoditas utama bagi pendapatan petani. Untuk tegakan mangrove, bagian akar akan menjadi rumah bagi ikan dan bermanfaat terhadap ekologi pantai seperti peningkatan kualitas air dikarenakan mangrove dapat menyerap bahan organik yang dihasilkan dari kegiatan yang dilakukan manusia. Selain itu, tegakan mangrove toleran terhadap salinitas air limbah di muara sungai serta menjadi lapisan garis pantai yang bermanfaat dalam mencegah bencana alam.

Penerapan berbagai macam agroforestri di Indonesia memiliki potensi yang tinggi dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia masih berprofesi sebagai petani dan peternak yang umumnya masih tinggal di sekitar kawasan hutan. Agrisilvikultur memiliki potensi penerapan yang tinggi, baik di daerah pedesaan maupun wilayah perkotaan juga sudah ditemukan lahan pertanian yang diintegrasikan dengan tegakan. Untuk penerapan silvopastura umumnya dilakukan pada kawasan hutan milik perusahaan yang sudah bekerja sama dengan masyarakat sekitar ataupun hutan milik sendiri untuk pemanfaatan lahan hutan dengan silvopastura. Adapun penerapan agrosilvopastura sudah mulai dilakukan meskipun belum banyak ditemukan. Kelebihan dari penerapan berbagai macam agroforestri adalah lingkungan ekologi yang semakin membaik dan adanya kesadaran terhadap kelestarian lahan dan lingkungan, namun kekurangannya adalah dalam penerapannya sendiri belum bisa optimal dikarenakan adanya pemahaman yang berbeda bagi petani dengan konsep agroforestri sendiri. Harapan kedepannya penerapan dari berbagai macam agroforestri berdasarkan komponen penyusunnya dapat optimal sehingga menghasilkan manfaat yang lebih maksimal bagi lingkungan maupun petani dan peternak.

 

Teknik Alley Cropping dan Pengelolaannya dalam Pembangunan Agroforestri di Bidang Kehutanan

Sumber:  Sidik H.Tala’ohu.

Agroforestri adalah sistem usaha tani yang mengombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan untuk meningkatkan keuntungan serta memberikan nilai tambah. Dalam satu kawasan hutan terdapat pepohonan baik homogen maupun heterogen yang dikombinasikan dengan satu atau lebih jenis tanaman pertanian. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan cara ini adalah, masyarakat dapat mendapatkan hasil dari lahan hutan tanpa harus menunggu lama tanaman hutan dapat dipanen karena dapat memperoleh hasil dari tanaman pertanian baik per bulan atau per tahun tergantung jenis tanaman pertaniannya.

Di Indonesia, terdapat beberapa tipe teknik agroforestri yang diterapkan masyarakat Indonesia untuk memaksimalkan lahan dan mengoptimalkan hasil, salah satunya teknik Alley cropping. Teknik ini adalah suatu bentuk usaha tani atau penggunaan tanah untuk menanam tanaman semusim atau tanaman pangan. Dimana, dilakukan penanaman tanaman pangan di lorong (Alley) diantara barisan tanaman pagar. Pangkasan dari tanaman pagar digunakan sebagai mulsa yang diharapkan dapat menyumbangkan hara terutama nitrogen kepada tanaman lorong. Tanaman yang digunakan untuk tanaman pagar antara lain adalah lamtoro (Leucaena leucocephala), gliricidia (Gliricidia sepium), kaliandra (Caliandra calothyrsus) atau flemingia (Flemingia congesta).

Tujuan dari adanya barisan tanaman pagar, diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar. Dalam penerapannya, tentu adanya persaingan sinar matahari oleh tajuk tanaman pagar adalah salah satu hal yang tidak dapat dihindari. Tetapi munculnya persaingan ini dapat diatasi dengan memangkas tajuk tanaman pagar secara teratur selama musim pertanaman komoditas tanaman yang dibudidayakan di lorongnya. Nantinya, sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar disarankan untuk dikembalikan sebagai mulsa disebarkan di antara barisan tanaman budidaya.

Tentu dalam penerapannya di lapangan, terdapat kelebihan dan kelemahan dari teknik Alley cropping ini. Adapun kelebihan dari teknik ini seperti dapat menyumbangkan bahan organik dan hara terutama nitrogen untuk tanaman lorong. Sedangkan, kelemahan dari teknik ini seperti, adanya pengaruh alelopati dan berkembangnya hama atau penyakit pada tanaman pagar yang dapat mengganggu tanaman pangan. Selain itu, juga sering terjadi persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman utama untuk mendapatkan hara, air, dan cahaya.

Sebenarnya, masih banyak teknik lain yang dapat diterapkan dalam sistem Agroforestri. Sangat disayangkan, jika beberapa teknik dalam sistem agroforestri ini tidak dikembangkan. Terutama teknik Alley cropping, mengingat negara kita ini sangat kaya akan potensi sumber daya alam hutan. Tidak menutup kemungkinan jika tidak diimbangi dengan teknik pengelolaan yang baik dan benar (Agroforestri), potensi sumber daya hutan ini juga akan rusak dan habis. Dan tentunya harus dibarengi dengan sistem pengurusan dan pengelolaan hutan yang didasarkan pada prinsip permudaan (penanaman), pertumbuhan, komposisi, kesehatan dan kualitas suatu hutan untuk mencapai aspek ekologi dan ekonomi yang diharapkan. Upaya yang dilakukan diharapkan dapat membantu menggerakkan sektor kehutanan. Sangat ironis, negara Indonesia yang kaya akan hasil hutan justru tidak mampu menjaga dan membangun ranah kehutanan yang baik bagi negaranya sendiri. Menuju 100 tahun Indonesia merdeka di 2045, ada secercah harap bahwa kekayaan hutan Indonesia mampu menggerakkan sektor kehutanan yang gemilang selaras dengan nilai – nilai luhur dan cita-cita bangsa Indonesia.

 

Penulis : Shinta Amilin Dzulfa, Fakhrani Amalia Adani Sulistyo, & Citra Kartini Ajeng Permatasari  

Daftar Pustaka

Andriansyah, R., Hidayah, A.K., Tirkaamiana, M.T. 2021. Studi Tentang Pemanfaatan Lahan Dengan Pola Agroforestry Pada Kebun Belimbing Di Desa Manunggal Jaya Kecamatan Tenggarong Sebrang. Jurnal Ilmu Pertanian dan Kehutanan, 1-15.

De-León-Herrera, R., Flores-Verdugo, F., Flores-de-Santiago, F., & González-Farias, F. (2015). Nutrient removal in a closed silvofishery system using three mangrove species (Avicennia germinans, Laguncularia racemosa, and Rhizopora mangle). Mar Pol Bull, 91(1), 243-248.

Handayani, S., Mansur, I., & Karti, P. D. M. (2019). Pengaruh Kerapatan Pohon dan Pemupukan Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Rumput di Bawah Tegakan Samama (Anthocephalus macrophyllus (Roxb. Havil.)). Jurnal Silvikultur Tropika, 10(2), 89-94.

Kayoga, Y. Walangita, H.D., Kaide, R.P. 2018. Agroforestri Pola Kebun Campuran Di Desa Warembungan Kecamatan Pineleng Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Ilmu Kehutanan dan Pertanian, 1-7.

Latue, Y.A., Pattinama, M.J., dan Lawalata, M. 2018. Sistem Pengelolaan Agroforestri Di Negeri Riring Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurnal Agribisnis Kepulauan, 6(3) : 2018-230.

Musa, M. Lusiana, E. D., Buwono, N. R., Arsad, S., & Mahmudi, M. (2020). The effectivenes of silvofishery system in water treatment in intensive whiteleg shrimp (Litopenaeus vannamei) ponds, Probolinggo District, East Java, Indonesia. Biodiversitas, 21(10), 4695-4701.

Musa, M., Mahmudi, M., Arsad, S., & Buwono, N. R. (2020). Feasibility study and potential of pond as silvofishery in coastal area: Local case study in Situbondo Indonesia. Regional Studies in Marine Science, 33, 1-9.

Nair, P. K. (1993). An Introduction to Agroforestry. Canada: Kluwer Academic Publishers. Parthiban, K. T., Krishnakumar, N., & Karthick, M. (2019). Introduction to Forestry and Agroforestry. India: Scientific Publisher .

Sari, M., Hatta, M., & Permana, A. (2014). Ecological status and development of silvofishery for increasing peoples economy (The Case of RPH-Tegal Tangkil, KPH Purwakarta, Blanakan Subang East Java). Acta Aquatica, 2(1), 41-47.

Sumber Benih

Sumber: Canva.com

Sumber Benih

Sumber benih secara definisinya dapat diartikan sebagai suatu tegakan yang mencakup daerah Kawasan hutan dan di luar Kawasan hutan dan dikelola dengan tujuan memperoleh benih yang berkualitas. Pada balai perbenihan kehutanan, terdapat empat sumber benih tanaman kehutanan yang mencakup sumber benih kayu putih sebanyak satu lokasi, sumber benih mahoni sebanyak satu lokasi dan sumber benih jati sebanyak dua lokasi. Dalam penentuan sumber benih, tentu terdapat standar yang harus dipenuhi. Dalam konteks ini mencakup dua hal yaitu standar umum yang merupakan standar yang secara umum harus ada pada sumber benih, dan yang kedua adalah standar khusus yang merupakan standar yang harus dipenuhi oleh sumber benih berdasarkan klasifikasinya

Menurut P.72/Menhut-II/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2009 Tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan bahwa sumber benih dibagi menjadi tujuh klasifikasi berdasarkan kualitas genetiknya, yaitu 1) Tegakan Benih Teridentifikasi; 2) Tegakan Benih Terseleksi; 3)Aareal Produksi Benih; 4) Tegakan Benih Provenan; 5) Kebun Benih Semai; 6) Kebun Benih Klon; 7) Kebun Pangkas.

1) Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT)

Sumber :Canva.com

Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT) merupakan sumber benih dengan kualitas tegakan rata-rata yang pada umumnya ditunjuk dari hutan alam atau hutan tanaman dengan titik lokasi yang terindentifikasi tepat. Singkat kata tegakan ini dibangun dengan tidak direncanakan sebagai sumber benih dan asal usul benihnya tidak diketahui. Sehingga tegakan yang diidentifikasi umumnya tegakan yang sudah tua, maka proses penjarangan hanya dilakukan seperlunya saja tanpa memperhatikan tingkat intensitasnya.

2) Tegakan Benih Terseleksi (TBS)

Sumber :Canva.com

Tegakan Benih Terseleksi (TBS) merupakan sumber benih yang didapatkan dari Tegakan Benih Teridentifikasi dengan kualitas tegakan di atas rata-rata untuk karakter yang penting seperti batang yang lurus, minim cacat, dan percabangan yang ringan. Perbedaan yang utama dibanding TBT adalah fenotipe tegakannya yang lebih baik (di atas rata-rata)

3)  Areal Produksi Benih (APB)

Sumber :Canva.com

Areal Produksi Benih (APB) merupakan sumber benih yang dibangun khusus atau dapat diartikan bahwa dia berasal dari Tegakan Benih Teridentifikasi dan Tegakan Benih Terseleksi yang kemudian kualitasnya ditingkatkan melalui penebangan atau degradasi pohon yang memiliki fenotipe yang kurang bagus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa APB merupakan tegakan terpilih karena sebagian besar pohon-pohonnya memiliki karakter dengan fenotipe unggul seperti pertumbuhannya cepat, kualitas batang baik, tahan terhadap penyakit, sedangkan tingkat pengendalian genetik dari suatu karakter dan diferensiasi genetik terhadap populasi lain pada umumnya tidak diketahui.

4)  Tegakan Benih Provenans (TBP)

Sumber :www.planterandforester.com

Tegakan Benih Provenan (TBP) merupakan sumber benih yang berasal dari keturunan campuran dari banyak pohon induk dari suatu populasi tunggal. Dalam pembangunan tegakan ini tidak memerlukan rancangan percobaan sehingga berbeda dengan uji provenan. Tegakan benih provenan harus diisolasi dengan tegakan lainnya agar tidak terjadi persilangan.

5)  Kebun Benih Semai (KBS)

Sumber :www.planterandforester.com

Kebun Benih Semai (KBS) merupakan sumber benih yang dibangun dari bahan generatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan (Permenhut No P.1/Menhut-II/2009). Suatu uji keturunan dilakukan untuk mengidentifikasi famili-famili yang mempunyai fenotipe unggul. Tanaman uji keturunan dikonversi menjadi suatu kebun benih melalui penjarangan selektif dengan menebang pohon-pohon yang berfenotipe inferior. Sehingga KBS merupakan tegakan yang terdiri dari pohon-pohon yang bergenetik superior yang letaknya terisolir dari tegakan jenis yang sama atau jenis yang dapat bersilang untuk menghindari adanya penyerbukan dari luar kebun benih.

6)  Kebun Benih Klon (KBK)

Sumber :pengertian-definisi.blogspot.com

Kebun Benih Klon (KBK) merupakan sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari pohon plus pada tegakan yang diberi perlakukan penjarangan berdasarkan hasil uji keturunan untuk memproduksi materi generatif (biji).

6)  Kebun Benih Klon (KBK)

Sumber :mediatajam.com

Kebun Pangkas (KP) merupakan sumber benih yang dibangun dari bahan vegetatif yang berasal dari klon unggul berdasarkan hasil uji klon untuk memproduksi materi vegetatif. Standar khusus kebun pangkas adalah sebagai berikut:

  • Asal-usul bahan vegetatif berasal dari klon unggul hasil uji klon. Penanamannya terpisah (keturunan dari satu pohon induk di setiap bedeng) atau campuran (keturunan beberapa pohon induk dalam satu bedeng).
  • Kualitas genotipe baik
  • Tidak perlu jalur isolasi
  • Kebun pangkas dikelola dengan pemangkasan, pemupukan dan perlakuan lain untuk meningkatkan produksi bahan stek.
  • Kebun pangkas untuk periode tertentu diganti dengan bahan tanaman yang baru jika dianggap steknya sulit berakar karena terlalu tua.

 

Penulis : Rayhan Rajoalam Putra Paliamanda & Dimas Agil Restu Karunia.

Daftar Pustaka

DLHK DIY. 2019. Kebun Pangkas Tanaman Kehutanan. Diakses pada 21 September 2022, dari
https://dlhk.jogjaprov.go.id/kebun-pangkas-tanaman-kehutanan PerMen LHK RI no P.3/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2020 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan

Supriyanto., dan Iskandar, T. 2018. Penilaian Kesehatan Kebun Benih Semai Pinus merkusii dengan Metode FHM (Forest Health Monitoring) di KPH Sumedang. Jurnal Silvikultur Tropika. 9(2): 99-108.

Titipan Pesan dari Vegetasi Pegunungan

Sumber: Canva.com

Sumber gambar: Canva.com

Titipan Pesan dari Vegetasi Pegunungan

Masyarakat tradisional sekitar hutan di Indonesia memiliki nilai-nilai konservasi biodiversitas yang berkaitan dengan kondisi sosial budaya setempat. Nilai tersebut menjelma serupa kearifan lokal dalam pemanfaatan tumbuhan hutan untuk memenuhi kebutuhan. Memang pada dasarnya, seperti pada kajian etnobotani, terdapat hubungan antara manusia dan tumbuhan. Dan, pegunungan yang menjadi salah satu “sanctuary” terakhir dari keanekaragaman, menitipkan pesan mengenai perlunya memaknai nilai konservasi agar kekayaan vegetasinya terwariskan.

Hutan pegunungan merupakan satu dari sekian tipe ekosistem alami yang termasuk formasi hutan tropika basah serta terbentuk di wilayah pegunungan. Vegetasi pada hutan pegunungan sangat lah kaya dengan karakteristik yang khas pada fisiognominya. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari faktor ketinggian. Semakin tinggi suatu wilayah, maka iklim sekitar menjadi lebih sejuk dan lembap sehingga pohon di wilayah pegunungan cenderung  tumbuh memendek, memiliki banyak cabang pohon dan banir, juga kauliflori pada pohon akan semakin jarang. Beberapa pohon yang ada pada vegetasi pegunungan, yaitu Pohon Tusam (Pinus merkusii), Pohon Damar (Agathis dammara), Pohon Puspa (Schima wallichii), dan Pohon Pasang (Lithocarpus spp). Untuk vegetasi bawahnya, terdapat beraneka ragam tumbuhan bawah seperti semak, herba, dan paku-pakuan. Selain bermanfaat bagi ekosistem, tumbuhan bawah memberi benefit pula bagi manusia.

 

Etnobotani Vegetasi Pegunungan (Studi Kasus: Suku Manggarai di Pegunungan Ruteng, Nusa Tenggara Timur)

Sumber gambar: Canva.com

Etnobotani merupakan bagian dari ilmu antropologi yang mempelajari hubungan budaya manusia dengan tumbuhan di sekitarnya. Etnobotani penting untuk dipelajari karena memudahkan peneliti dalam mengulik lebih lanjut pemanfaatan suatu tumbuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Iswandono et al. (2015) memberikan gambaran mengenai pengetahuan etnobotani Suku Manggarai di Pegunungan Ruteng. Suku Manggarai memiliki pengetahuan etnobotani dalam pemanfaatan sumber daya tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti bahan pangan, bahan obat, bahan bangunan, kayu bakar, bahan baku peralatan, bahan tali, kerajinan, dan pakan ternak. Spesies yang dimanfaatkan misalnya:

Sumber gambar: Canva.com

  1. Ampupu (Eucalyptus urophylla S.T.Blake) sebagai bahan bangunan dan kayu bakar;
  2. Ara (Ficus variegata Blume) sebagai bahan obat, bahan pangan, dan pakan ternak, dan ritual;
  3. Bambu pring [Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz] sebagai bahan baku peralatan dan kerajinan;
  4. Sita [Alstonia scholaris (L.) R. Br.] sebagai bahan obat,
  5. Ntorang (Calophyllum soulattri Burm.f.) sebagai bahan pangan;
  6. Pau poco (Mangifera applanata Kosterm.) sebagai bahan pangan; dan
  7. Kaliandra (Calliandra calothryrsus Meisn.) sebagai kayu bakar dan pakan ternak.

 

Pemanfaatan Vegetasi Pegunungan

Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa vegetasi pegunungan memiliki beragam manfaat bagi kehidupan. Berikut beberapa produk nyata dari kekayaan vegetasi pegunungan:

  1. Madu murni kaliandra sebagai pemanfaatan tumbuhan kaliandra
  2. Kerajinan dan anyaman bambu dari bambu
  3. Ara atau Ficus variegata Blume digunakan sebagai bahan baku lilin nabati untuk membatik dan penerangan. Selain itu, ekstrak ethanol Ficus juga mempunyai aktivitas antioksidan yang mampu menghambat radikal bebas. Kemudian getahnya dapat dipakai untuk mengobati rasa sakit akibat gigi berlubang.
  4. Papan partikel atau bahan komposit sebagai pemanfaatan dari serbuk Alstonia scholaris selain bahan obat-obatan.
  5. Manisan dan selai dari pemanfaatan Mangifera applanata sebagai bahan pangan.

Sumber gambar: https://foresteract.com/pemanfaatan-hutan/

Hutan tidak sekadar harus dilestarikan. Dari kebaikannya dalam menyediakan sekian kekayaan, selayaknya hutan dan manusia dipersaudarakan. Nilai-nilai konservasi patutlah dijalankan. Termasuk pada hutan pegunungan yang mewarisi potensi-potensi vegetasi. Banyak manfaat yang pasti dirasa oleh manusia apabila biodiversitas vegetasi pegunungan terjaga. Mengingat pula bahwa mereka jua menitipkan pesan, melalui angin yang berembus pelan, dan kini telah tersampaikan.

 

Penulis : Maria Agustha N B P, Nabila Anggita A, Riska Annisa M

Penyunting : Alnus Meinata

 

Pustaka:

Ambarwati, L. Kualitas Papan Partikel Kayu Pulai (Alstonia scholaris) dari Hasil Ikutan Pabrik Pensil. https://klikhijau.com/read/mengenal-pohon-ficus-dan-manfaat-istimewa-di-baliknya/

Iswandono, E., Zuhud, E. A. M., Hikmat, A., & Kosmaryandi, N. (2015). Pengetahuan etnobotani Suku Manggarai dan implikasinya terhadap pemanfaatan tumbuhan hutan di Pegunungan Ruteng. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20(3), 171-181.

 

Fauna Tanah

Sumber : Soil Fauna Assemblages book

Fauna Tanah

Semua kehidupan makhluk hidup di dalam tanah dapat menentukan sifat biologi tanah. Sifat biologi tanah berkaitan dengan semua aktivitas fauna tanah baik yang hidup di permukaan tanah maupun di dalam tanah. Fauna tanah menjadi komponen biologi tanah karena berperan penting dalam proses penggemburan tanah. Fauna tanah tidak hanya fauna yang hidup di tanah,tetapi juga yang berada di permukaan tanah dan di dalam tanah. Keberadaan fauna tanah sangat bergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk keberlangsungan hidupnya, yaitu ketersediaan bahan organik dan biomassa yang berkaitan dengan siklus karbon dalam tanah. Beare dkk (1995) menyatakan bahwa fauna tanah berpengaruh terhadap karakteristik  fisik, kimia dan biologi tanah, dimana struktur komunitas biotik dapat mempengaruhi siklus biogeokimia  yang  terjadi di dalam tanah. Berdasarkan ukuran tubuhnya, fauna tanah  dibedakan menjadi empat kelompok yaitu mikrofauna,mesofauna, makrofauna, dan megafauna (Hindun dkk, 2020)

  • Mikrofauna

Mikrofauna  adalah  fauna  tanah  yang memiliki ukuran diameter tubuh  antara  0,02-0,2Peranan dari mikrofauna tanah pada sifat fisik dan kimia memerankan mikroba (fungi, bakteri, protozoa dan lain-lain) dalam proses perombakan bahan-bahan di dalam tanah (Wibowo & Rizqiyah, 2014). Di dalam tanah mikrofauna berinteraksi dengan makrofauna yang berperan dalam menjaga kesuburan tanah dengan cara menyediakan unsur hara bagi tanaman. Mikrofauna mengendalikan populasi organisme patogen/ racun, memperbaiki struktur tanah, mineralisasi dan pelepasan unsur hara, mencampur bahan bahan organik dengan tanah, dan membantu pendistribusian mikroba. Mikrofauna dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu nematoda dan protozoa.

Nematoda adalah cacing gelang tidak bersegmen. Nematoda menjadi mikrofauna penting selain protozoa yang memiliki keragaman tinggi dan merupakan hewan mikroskopik dengan panjang tubuh < 2mm dengan diameter 0,05 mm. Nematoda sangat sering digunakan menjadi bioindikator karena informasi taksonomi dan peranan makanannya yang cukup tersedia. Nematoda juga menempati posisi sentral pada jaringan makanan seresah (Coto dkk, 2004 ; Anwar dkk, 2008). Hewan yang termasuk nematoda adlah Ominvorious dan Perdaceus. Nematoda tanah dikelompokkan berdasarkan kebutuhan makanan seperti pemakan akar, pemakan rambut akar, pemakan hifa fungi, pemakan bakteri, omnivora, dan juga predator. Kelompok lain dari mikrofauna adalah protozoa yang mempunyai ciri bersel tunggal, memiliki membran nukleas, dapat hidup sendiri ataupun berkelompok, merupakan parasit, dan bergerak menggunakan kaki semua, silia, atau flagella. Jenis protozoa yang banyak dijumpai di tanah basah adalah flagellata. Flagellata bergerak menggunakan flagel yang digunakan juga sebagai alat indra dan alat bantu menangkap makanan. Peran protozoa dalam tanah yaitu dapat menjaga kesuburan tanah dengan menyediakan suplai nitrogen, mengendalikan populasi bakteri, dan sebagai indikator keberadaan sumber minyak, gas, dan mineral (Sulistyowati, 2014).

  • Mesofauna

Mesofauna tanah merupakan hewan yang hidup baik di permukaan maupun di dalam tanah dengan ukuran tubuh 100 µ – < 2 mm. Contoh dari mesofauna tanah, diantaranya adalah sebagai berikut :

    • Collembola

Collembola disebut juga sebagai ekor pegas yang merupakan binatang renik karena berukuran 0,1 – 0,9 mm dan memiliki tubuh yang lunak. Habitat utama dari Collembola adalah permukaan tanah yang banyak mengandung humus dan seresah. Peran dari hewan ini adalah sebagai perombak bahan organik, pemakan jamur dan indikator perubahan keadaan tanah (Niwangtika dan Ibrohim, 2017).

    • Acarina

 Acarina merupakan salah satu fauna tanah yang termasuk pada fillum Arthropoda dan kelas Arthropoda yang memiliki 3 pasang kaki, tubuh berukuran pendek, tidak memiliki segmen yang jelas dan tidak bersayap. Acarina banyak ditemukan pada akar – akar pohon, humus, dan banyak hidup pada tumpukan kayu yang telah membusuk. Acarina berperan untuk dekomposisi seresah, berpengaruh dalam dinamika populasi jamur, dan sebagai kontrol biologi atau predator terhadap telur dan larva nematoda lainnya (Utomo et al. 2019).

    • Enchytraeidae

Enchytraeidae merupakan salah satu jensi cacing tanah yang termasuk ke dalam fillum Annelida karena tubuhnya tersusun atas segmen – segmen cincin. Peran dari Enchytraeidae adalah untuk menyediakan nutrisi yang mudah dimanfaatkan tanaman dari proses metabolismenya, memperbaiki aerasi dan drainase tanah, serta dapat memperbaiki struktur tanah.

    • Rotifera

Rotifera merupakan salah satu dari fillum Pseudoselomata dengan panjang sekitar 0,1 0,5 mm. Ciri khusus dari Rotifera adalah memiliki cillia / bulu getar pada bagian kepalanya. Secara umum, mesofauna tanah ini berperan sebagai dekomposer yang mampu  mengubah bahan – bahan organik menjadi unsur hara tertentu yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Mesofauna tanah juga dapat mempertahankan dan mengendalikan produktivitas tanah dengan meningkatkan aerasi tanah, infiltrasi air, agregasi tanah, serta mendistribusikan bahan organik tanah (Purwanto et al. 2017). Mesofauna tanah dapat menjadi indikator kesuburan tanah dan memiliki peran penting dalam proses dekomposisi bahan organik di lantai hutan karena bahan organik tanah merupakan sumber energi yang dibutuhkan mesofauna tanah untuk beraktivitas dan melanjutkan hidupnya. Semakin besar kandungan bahan organik di lantai hutan, maka jumlah individu, jumlah jenis dan tingkat keanekaragaman jenis mesofauna tanah akan semakin tinggi (Mahendra et al. 2017).

  • Makrofauna

Makrofauna merupakan fauna tanah yang memiliki diameter tubuh antara 2-20 mm. Secara umum makrofauna berperan besar dalam proses dekomposisi, aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, bioturbasi, dan pembentukan tanah. Peran aktif makrofauna tanah tersebut dapat mempertahankan serta meningkatkan produktivitas tanah dengan dukungan faktor lingkungan disekitarnya. Makrofauna juga berperan besar memperbaiki sifat-sifat fungsional tanah. Oleh karena itu, fauna tanah dapat dijadikan bioindikator. (Nurrohman dkk, 2015).

Contoh fauna tanah yang termasuk makrofauna adalah cacing, semut, dan rayap. Secara spesifik, makrofauna memiliki peran masing masing dalam tanah. Biomassa cacing tanah dapat menjadi bioindikator yang baik untuk mendeteksi perubahan pH, keberadaan horison organik, kelembaban tanah, dan kualitas humus. Rayap berperan dalam pembentukan struktur tanah dan dekomposisi bahan organik. (Anderson dalam Maftu’ah dkk, 2018).

  • Megafauna

Megafauna  tanah  merupakan  hewan  yang  hidup  di  permukaan  tanah  dengan  ukuran  tubuh  berkisar  antara  20  –  200  mm, contohnya  adalah  Megascolicidae,  Insectivore  atau Invertebrata  besar  lainnya  yang  dapat mengubah struktur tanah akibat pergerakan dan perilaku makan. Pada umumnya, megafauna tanah banyak dijumpai di permukaan tanah, seperti bekicot, serangga, cacing tanah, tikus kecil, reptil, dan amfibi. Peran megafauna tanah adalah untuk mengatur komposisi tanah, mengatur proses pelepasan unsur – unsur hara pada tanah dan pelepasannya, mengatur kompetisi antara satu tumbuhan dengan tumbuhan lainnya, dan membantu mendistribusikan ulang bahan organik tanah serta unsur hara

Peran Fauna Tanah dalam Kesuburan Tanah

Fauna tanah memainkan peranan yang sangat vital bagi kesuburan tanah. Segala proses yang ada di dalam tanah sangat bergantung pada keberadaan fauna dalam tanah. Peranan dari fauna tanah antara lain dapat memperbaiki kesuburan tanah dengan menghancurkannya secara fisik, memecah bahan menjadi humus, menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas, sebagai parameter kualitas tanah dan membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah. Selain itu fauna tanah berperan juga pada aliran karbon, redistribusi unsur hara, siklus unsur hara, dan pembentukan struktur tanah (Anderson, 1994).

Sifat fauna tanah yang sensitif terhadap perubahan kondisi lahan banyak menyebabkan hilangnya fauna tanah. Oleh karena itu perlu dikurangi atau dihindarkan dari kemerosotan biodiversitas fauna tanah diantaranya penggunaan herbisida atau bahan kimia lainnya sehingga diharapkan ekosistem lahan tersebut terjaga dengan baik. Sebegitu pentingnya peran fauna dalam kesuburan tanah menjadikan perlunya cara untuk mempertahankan keberadaan fauna dalam tanah. Tanpa bantuan fauna tanah, “sang pahlawan mini” nan jauh di dalam tanah hutan, maka ekosistem akan tidak baik-baik saja.

Penulis : Maria Agustha N B P, Nabila Anggita A, Riska Annisa M

Penyunting : Alnus Meinata

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J. M., 1994, Functional Attributes of Biodiversity in Land Use System. In : D.J. Greenland and I. Szabolcs (eds), Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International, Oxon.

Anwar, E. K., Ginting, C. B., & Simanungkalit, R. D. M. 2008. Kepadatan Populasi Nematoda pada Lahan Pertanian Organik, Semi Organik, dan Konvensional.

Beare, M.H.D., Coleman, D.C., Crosley, D.A., Hendrix, P.F., and Odum, E.P. 1995. A Hirarchial Approach to Evaluating the Significance of Soil Biodiversity to Biogeochemical Cycling. J. Plant and Soil. 170

Coto, I. Z., & Hardjanto, I. (2004). Mikrobia Sebagai Indikator Kesehatan Tanah.

Hindun, I., Chamisijatin, L., Permana, T. I., & Husamah, H. (2020, March). Keanekaragaman Makro dan Mikrofauna Tanah pada Perkebunan Jeruk Manis (Citrus sinensis L.) Organik dan Anorganik di Desa Punten Kecamatan Bumiaji Kota Batu. In Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi.

Maftu’ah, E., Alwi, M., & Willis, M. (2018). Potensi makrofauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah gambut. Bioscientiae, 2(1).

Mahendra, F., Melya, R., dan Ainin, N. 2017. Populasi dan Keanekaragaman Mesofauna Seresah dan Tanah Akibat Perubahan Tutupan Lahan Hutan di Resort Pemerihan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Jurnal EnviroScienteae, 13 (2) : 128 – 138.

Niwangtika, W., dan Ibrohim. 2017. Kajian Komunitas Ekor Pegas (Collembola) pada Perkebunan Apel (Malus sylvestris Mill.) di Desa Tulungrejo Bumiaji Kota Batu. Jurnal Bioeksperimen, 3 (2) : 76 – 82.

Nurrohman, E., Rahardjanto, A., & Wahyuni, S. (2015). Keanekaragaman makrofauna tanah di kawasan perkebunan coklat (Theobroma cacao l.) sebagai bioindikator kesuburan tanah dan sumber belajar biologi. JPBI (Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia), 1(2).

Purwanto, E., Wawan., dan Wardati. 2017. Kelimpahan Mesofauna Tanah  pada Tegakan Tanaman Karet (Havea brasiliensis Muell. Arg) di Tanah Gambut yang Ditumbuhi dan Tidak Ditumbuhi Mucuna bracteata. Jurnal Online Mahasiswa FAPERTA, 4 (1) : 1 – 12.

Sulistyowati, Eka Susi. 2018. Ensiklopedia Geografi: Tanah. Klaten. Cempaka Putih

Utomo, F.I., Jekti, P., dan Iis, N.A. 2019. Identifikasi Mesofauna Tanah pada Lahan Tanaman Kopi Arabika di Perkebunan KaliBendo Banyuwangi. Jurnal Saintifika, 21 (1) : 39 – 51.

Biodiversitas Tanah : Keragaman Tanah di Indonesia

Sumber: Canva.com

Biodiversitas Tanah : Keragaman Tanah di Indonesia

Kenalilah tanahmu maka suburlah hutanmu”

Tanah merupakan sumber kehidupan, proses kehidupan, dan juga akhir kehidupan. Semua hal tentang hutan dan kehutanan bermuara di tanah. Tanah berguna sebagai media tumbuh pohon di hutan, hingga pohon mati pun akan kembali terurai di tanah. Tanah merupakan tempat berpijaknya akar sehingga tegak berdiri, sumber penyedia unsur hara, gudang air, dan gudang pernafasan akar. Fungsi tanah di kehutanan belum dapat digantikan dengan sumber daya lain. Padahal, perbedaan letak geografis suatu wilayah di Indonesia menyebabkan adanya keragaman jenis tanah. Karena itu, pengenalan akan macam tanah menjadi sebuah urgensi mendesak yang melatarbelakangi artikel ini. Misi penyelamatan hutan yang gencar digaungkan dewasa ini akan terasa sia-sia apabila tidak dilakukan pengenalan terhadap jenis tanah yang ada terlebih dahulu, kita hanya membuang energi dengan mengejar ekor kita sendiri. Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa jenis tanah yaitu tanah entisol, endosol, vertisol, ultisol, histosol dan spodosol.

Vertisol

Ilustrasi Tanah Vertisol

Sumber : http://terimailmu.blogspot.com/2017/04/tanah-vertisol.html

Klasifikasi tanah yang disusun oleh USDA dalam soil taxonomy menempatkan vertisol sebagai salah satu ordo tanah. Vertisol berasal dari bahasa latin “verto” yang artinya terbalik. Yang dimaksud terbalik adalah horizon tanah vertisol, yaitu epipedon berada di sub epipedonnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya proses argillipedoturbation, yaitu proses pencampuran tanah lapisan atas dan bawah yang diakibatkan oleh kondisi basah dan kering yang disertai pembentukan rekahan-rekahan secara periodik. Hal inilah yang menjadikan tanah vertisol memiliki ciri khusus yaitu dapat mengembang dan mengkerut. Ketika basah, tanah menjadi sangat lekat dan palstis serta kedap air, tapi ketika kering, tanah menjadi sangat keras dan masif atau membentuk pola prisma yang terpisahkan oleh rekahan. (Utomo, 2016;Prasetyo, 2007). Nama lain dari vertisol adalah tanah grumusol yang mencirikan gumpalan yang keras.Tanah ini terbentuk pada iklim kering dengan bahan induk logam alkali seperti batuan gamping dan dolomit. Bahan induk tersebut kaya akan bahan alkalin seperti Ca dan Mg. Bahan tersebut bersifat alkalin dan membuat pH tanah ini netral. Tanah verisol didominasi oleh mineral smektit (2:1) yang menyebabkan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada vertisol tinggi. Tingkat pelapukan tanah vertisol rendah karena memiliki drainase tanah yang buruk (Nursyamsi, 2005). Tanah vertisol tersebar pada daerah torpis sekitar 4% dari luas daratan yaitu sekitar 200 juta hektar. Tanah ini dapat dijumpai pada topografi relative datar sekitar 300 mdpl.Di Indonesia, tanah ini tersebar mencapai 2.1 juta hektar yang tersebar di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Timor (Subagjo, 1983).

Ultisol

Ilustrasi Tanah Ultisol

sumber : https://www.pinterpandai.com/tanah-ultisol-penjelasan-karakteristik-dan-contoh/

Seluas 63% tanah di kawasan tropika basah di dominasi oleh tanah oxisol dan ultisol. Tanah tersebut merupakan tanah tua dengan laju pelapukan tinggi dan kesuburan rendah. (Lal dalam Subowo, 2012). Kondisi tersebut perlu diberi perhatian karena keadaannya yang mengkhawatirkan.  Salah satu yang menarik untuk dibahas adalah tanah Ultisol, yang biasa disebut sebagai tanah Podsolik Merah Kuning (PMK). Ultisol berasal dari kata “ultimulus” yang artinya terakhir. Tanah ultisol adalah ordo tanah yang mengalami pelapukan lanjut dan pencucian intensif (Buckman, 1982). Ultisol mempunyai horizon argilik atau kandik dengan kejenuhan basa <25%. Ultisol ditemukan pada wilayah dengan curah hujan tinggi serta pelapukan intensif, dan basa basa di dalamnya mengalami pencucian yang menyebabkan iluvasi liat di lapisan bawah tanah. Persebaran Ultisol di Indonesia dapat ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan tua, topografi berombak sampai berbukit, dan bagian terluas dari lahan kering yang belum dijadikan lahan pertanian. (Hardjowigeno dalam Subowo, 2012).

Tanah ordo Ultisol terkenal sebagai salah satu jenis tanah kurang subur. Terbentuk dari akumulasi liat pada bagian bawah mengurangi daya resapan air yang justru meningkatkan aliran permukaan aliran yang menyebabkan tanah ini sangat peka terhadap erosi.  Sifat fisika, kimia, dan biologi tanah ultisol yaitu kandungan bahan organic yang rendah sampai sedang, tingkat keasaman tinggi, kandungan unsur hara N,P,K rendah, serta nilai KTK dan KB yang rendah. Meskipun demikian, apabila dilakukan pengelolaan tanah yang cocok tanah ini dapat berproduksi secara optimal. Keberadaan tanah tanah yang kurang subur seperti tanah Ultisol ini mulai banyak dimanfaatkan karena tanah-tanah yang relatif subur semakin berkurang akibat penggunan lahan yang tidak sesuai sehingga tanah yang kurang subur ini dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat (Karmilawati, 2018; Andalusia dkk, 2016).

Histosol

Ilustrasi Tanah Histosol

sumber : https://www.pantaugambut.id

Histosol, berasal dari bahasa Yunani, yaitu “histos” bermakna “jaringan”. Tanah histosol yang saat ini lebih populer disebut tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik seperti sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Tanah gambut umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase (Najiyati dkk. 2005). Sebagian besar bersifat asam dan banyak yang sangat kekurangan nutrisi tanaman utama yang hanyut di tanah yang secara konsisten lembab. Proses terbentuknya gambut dimulai dari adanya cekungan atau genangan air yang sangat luas yang mengalami pendangkalan secara perlahan dan bertahap.

Secara keseluruhan, gambut di Indonesia tersebar di 3 pulau utama yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua dan sebagian kecil Sulawesi (Wahyunto dkk, 2013). Dilansir dari laman yang memang menyoroti masalah gambut di Indonesia : Pantau Gambut, saat ini total luasan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 14,95 juta hektar dimana sekitar 6,66 juta hektar atau 44,6% telah terdegradasi.

Berbicara tentang gambut, walaupun memiliki julukan “Si Miskin Hara” namun dibalik itu, gambut memiliki segudang manfaat. Lahan gambut mempunyai multifungsi yakni fungsi hidrologi, produksi, dan ekologi yang sangat vital bagi kelangsungan hidup manusia (Masganti, 2013). Lahan gambut mempunyai banyak manfaat, diantaranya yang utama adalah pencegah banjir di musim hujan dan mencegah kekeringan di musim kemarau. Lahan gambut memiliki kemampuan luar biasa untuk menampung air pada musim hujan. Manfaat gambut lainnya adalah sebagai habitat bagi kehidupan berbagai macam satwa dan tumbuhan serta lahan budidaya pertanian, peternakan, dan perikanan yang menguntungkan apabila dikelola secara baik. (Rina dan Noorginayuwati 2007; Masganti dan Yuliani 2009; Masganti 2013).

Anggapan yang beredar di masyarakat bahwa gambut merupakan lahan tidak berguna merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan dan lahan gambut. Degradasi lahan gambut terjadi antaranya disebabkan oleh kebakaran lahan, kesalahan dalam pengelolaan air, pembalakan liar, dan kegiatan penambangan. Lahan gambut terdegradasi merupakan lahan gambut yang mengalami penurunan fungsi hidrologi, produksi, dan ekologi akibat memburuknya sifat kimia, fisika dan biologi gambut, sehingga produktivitasnya menurun, bahkan sebagian menjadi tidak produktif dan dibiarkan menjadi semak belukar dan lahan terbuka bekas tambang sebagai lahan terlantar.

Spidosol

Ilustrasi Tanah Spidosol

Sumber : https://sitibecik.com/

Spodosol menjadi penting untuk diketahui karena tanah ini tergolong bermasalah untuk lahan pertanian maupun hutan (Hakim, 2019). Spodosols adalah tanah yang terbentuk dari bahan pasir atau lempung kasar dan masam. Tanah ini dicirikan oleh adanya horison B spodik atau horison akumulasi dari bahan-bahan amorf organik dan aluminium, dengan atau tanpa besi (Mokma and Buurman,1982). Spodosols tersebar luas di daerah beriklim dingin, sedang, atau beriklim basah. Spodosol di Indonesia hanya mencapai 1,1% dari luas daratan Indonesia.  Sifat kimia tanah dicirikan oleh reaksi tanah masam dan miskin unsur hara. Tekstur yang kasar mengakibatkan tanah ini mempunyai kemampuan meretensi hara dan air yang rendah sehingga rawan kekeringan. Di Indonesia, tanah ini dijumpai mulai dari dataran pantai hingga dataran tinggi >1.500 m dpl, dengan total curah hujan rata-rata tahunan antara 1.000 hingga lebih dari 3.000 mm. Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1: 1.000.000 (Puslittanak, 2000), Spodosols hanya dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, sedangkan di daerah beriklim kering yaitu Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanah tersebut tidak dijumpai (Yatno dan N. Suharta, 2019).

Spodosols tipikal dicirikan oleh adanya empat horison utama yaitu: (i) horison organik permukaan yang berwarna gelap atau horison A, (ii) horison eluvial atau horison E albik yang berwarna pucat, (iii) horison iluvial atau horison B spodik yang berwarna gelap kemerahan, kecoklatan atau kehitaman yang diperkaya oleh bahan-bahan amorf, dan (iv) horison C berpasir di bawahnya (Mc Keague dkk., 1983). Di Indonesia, Spodosols dibedakan dalam tiga subordo yaitu yang mempunyai sifat akuik (Aquods), mempunyai kandungan bahan organik sebesar 6% atau lebih pada horison spodiknya (Humods), atau yang lainnya (Orthods). Spodo sols yang mempunyai rejim suhu tanah cryik atau sangat dingin atau mengalami masa beku (Cryods dan Gelods), tidak dijumpai di Indonesia.

Sebagian besar Spodosol berkembang di daerah hutan. Karena secara alamiah tanah ini tidak subur, Spodosols membutuhkan pegapuran agar menjadi lahan pertanian yang subur. Penggunaan Spodosols untuk lahan pertanian maupun hutan sangat tergantung pada sifat fisik dan kimia tanahnya, yang diketahui mempunyai kisaran karakteristik yang cukup lebar sehingga diperlukan adanya kehati-hatian dalam memilih tanah-tanah tersebut baik untuk pertanian maupun kehutanan. Spodosols tergolong tanah berpotensi rendah baik untuk pertanian maupun kehutanan. Oleh karena itu, pemanfaatan Spodosols harus diarahkan bukan hanya untuk peningkatan produksi, akan tetapi juga harus diarahkan pada penyehatan lingkungan dan perawatan tanah (soil care).

Entisol

Ilustrasi Tanah Entisol

sumber : https://www.pinterpandai.com/

Entisol merupakan jenis tanah yang masih sangat muda dimana jenis tanah ini belum membentuk horison  secara nyata. Tanah entisol banyak ditemukan pada lapisan atmosfer tanah atau di daerah – daerah tempat terjadinya erosi. Warna dari tanah entisol adalah coklat hingga abu – abu. Tanah entisol terbentuk akibat endapan lumpur yang biasanya terbawa karena aliran sungai (Santoso, dkk., 2021). Tanah entisol ini merupakan tipe tanah yang bertekstur cenderung kasar, memiliki konsistensi lepas – lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan bahan organik serta unsur hara yang rendah. Di Indonesia, lahan entisol berada pada urutan ketiga terluas setelah Inseptisol dan Ultisol, yaitu sebesar 9,6% luas daratan Indonesia atau sekitar 18 juta hektar. Tanah jenis ini banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara (Andrieni, dkk., 2022).

Di Indonesia, jenis tanah entisol banyak dimanfaatkan untuk areal persawahan seperti budidaya sayuran karena memiliki tekstur yang lembut dan mudah untuk diolah sehingga dapat dicangkul dengan mudah (Herman, dkk., 2020). Keunggulan dari tanah entisol adalah memiliki drainase dan aerasi yang baik. Kelemahan dari jenis tanah ini adalah memiliki kandungan bahan organik dan unsur hara yang rendah terutama nitrogen, sehingga dalam pengelolaannya perlu dilakukan penambahan unsur hara N melalui pemupukan dan juga bahan organik untuk memperbaiki struktur tanah yang porous.

Andosol

Ilustrasi Tanah Andosol

Sumber : https://www.pinterpandai.com/

Tanah Andosol merupakan tanah yang berasal dari bahan organik hasil aktivitas vulkanik gunung berapi. tanah ini memiliki warna gelap kecoklatan hingga hitam, gembur, dan terasa licin ketika digenggam. Tanah ini tersusun dari mineral primer berupa fraksi pasir dan abu yang berasal dari material vulkanik gunung berapi dan juga mineral sekunder berupa fraksi liat dengan ukuran yang sangat kecil. Tanah dengan kandungan material vulkanik memiliki tingkat kesuburan yang baik karena bahan pirolistik hasil erupsi mengandung mineral alofan yang berkembang menjadu pilosilikat kaolinit dan smektit sehingga kapasitas tukar kation tanah menjadi tinggi (Purwanto, dkk., 2019). Tanah andosol memiliki solum yang cukup tebal, yaitu 100 – 225 cm. tekstur tanah relatif berdebu, lempung berdebu hingga lempung. Strukturnya remah dengan konsistensi gembur. Kandungan bahan organik tanah andosol relatif tinggi, yaitu 11 – 20% dengan pH 5 – 7.

Di Indonesia, tanah andosol banyak dimanfaatkan untuk menanam sayuran dan areal perkebunan pada dataran tinggi dengan kemiringan yang curam. Tanah andosol ini memiliki permeabilitas yang cepat, dapat menahan air dengan baik dan peka terhadap erosi. Persebaran tanah andosol banyak ditemukan pada daerah dengan curah hujan yang tinggi (2.500 – 6.500 mm /tahun) dengan ketinggian lokasi 15 – 2.000 mdpl. Luas lahan tanah andosol di Indonesia mencapai sekitar 5 juta hektar dengan daerah persebaran di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Timur, Pulau Jawa, Bali, Lombok, Halmahera, Minahasa, dan sebagain kecil di Pulau Kalimantan (Sunarko, 2014).

 

Penulis : Maria Agustha N. B. P., Nabila Anggita A, dan Riska Annisa Mayfinda.

Penyuting : Alnus Meinata 

Daftar Pustaka

Andalusia, B., Zainabun, Z., & Arabia, T. (2016).Karakteristik Tanah Ordo Ultisol Di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara I (Persero) Cot Girek Kabupaten Aceh Utara. Jurnal Kawista Agroteknologi, 1(1), 45-49.

Andrieni, P.H., Rita, H., dan Zzaitun. 2022. Penagruh Residu Pembenah Tanah terhadap Pertumguhan dan Hasil Tanaman Kangkung (Ipomea repstans Poir.) pada Tanah Entisol. Jurnal Ilmuah Mahasiswa Pertanian, 7(1), 37 – 46.

Herman, W., Wuri, P., dan Zainal, A. 2020. Pemanfaatan Biochar Plus terhadap Tanah Entisol Pesisir Pantai dan Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea L.). Jurnal Galung Tropika, 9 (1), 68 – 74.

Karnilawati, K. (2018). Karakterisasi dan Klasifikasi Tanah Ultisol di Kecamatan Indrajaya Kabupaten Pidie. Jurnal Ilmiah Pertanian, 14(2), 52-59.

Masganti dan N. Yuliani. 2009. Arah dan Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut di Kota Palangkaraya. Agripura 4(2):558-571.

Masganti. 2013. Teknologi Inovatif Pengelolaan Lahan Suboptimal Gambut dan Sulfat Masam Untuk Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Pengembangan Inovasi Pertanian 6(4):187-197.

Mc Keague, J.A., F. De Coninck, and D.P. Franzmeier. 1983. Spodosols. In: Pedogenesis and Soil Taxonomy. II. The Soil Orders. L.P. Wilding, N.E. Smeck and G.F. Hall (Eds.). Elsevier. Amsterdam Oxford-New York-Tokyo 1983.

Mookma, D.I. and P. Buurman. 1982. Podzols and Podzolization In Temperate Regions. ISM Monograph 1. Int. Soil Museum, Wageningan. P.126.

Najiyati, S., L. Muslihat, dan I.N.N. Suryadiputra. 2008. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest, and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programe dan Wildlife Habitat Canada. Bogor, Indonesia.

Nursyamsi, D. (2005). Sifat-sifat Kimia dan Mineralogi Tanah serta Kaitannya dengan Kebutuhan Pupuk untuk Padi (Oryza sativa), Jagung (Zea mays), dan Kedelai (Glycine max). Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian Journal of Agronomy), 33(3).

Pengantar Peta Sumberdaya Tanah Eksplorasi – Pusat Penelitian Tanah & Agroklimat, 2000.

Prasetyo, B. H. (2007). Perbedaan sifat-sifat tanah vertisol dari berbagai bahan induk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, 9(1), 20-31.

Purwanto, S., Rachmat, A.G., dan Sukarman. 2019. Karakteristik Mineral Tanah Berbahan Vulkanik dan Potensi Kesuburannya. Jurnal Sumberdaya Lahan, 12 (2), 83 – 98.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak). 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000. Departemen Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Rina, Y., dan Noorginayuwati. 2007. Persepsi petani tentang lahan gambut dan pengelolaannya. Dalam Muhlis et al. (Eds). Kearifan Lokal Pertanian di Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Halaman:95-107.

Santoso, B., Fitriningdyah, T.K., dan Mohammad, C. 2021. KENAF (Hibiscus cannabius L.) : Perspektif dan Potensinya sebagai Sumber Serat Alam Masa Depan. Yogyakarta : PT Kanisius.

Subagjo, H. 1983. Pedogenesis Dua Pedon Grumosol (Vertisol) dari Bahan Vulkanik Gunung Lawu Dekat Ngawi dan Karanganyar. Pemberitaan Pen. Tanah dan Pupuk, No.2:8-18.

Subowo, G. (2012). Pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk rehabilitasi tanah Ultisol terdegradasi. Jurnal Sumberdaya Lahan, 6(2).

Sunarko. 2014. Budi Daya Kelapa Sawit di Berbagai Jenis Lahan. Jakarta Selatan : AgroMedia Pustaka.

Utomo, D. H. (2016). Morfologi profil tanah vertisol di kecamatan kraton, kabupaten pasuruan. Jurnal Pendidikan Geografi, Th, 21.

Wahyunto, S. Ritung, K. Nugroho, Y. Sulaiman, Hikmatullah, C. Tafakresnanto, Suparto, dan Sukarman. 2013a. Peta Arahan lahan Gambut Terdegradasi di Pulau Sumatera Skala 1:250.000. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor. 27 halaman.

Biodiversitas Hutan : Penopang Kehidupan

sumber : Canva.com

Sumber: Canva.com

Penopang Kehidupan : Biodiversitas Hutan

Biodiversity atau keanekaragaman pada hutan tidak melulu berbicara mengenai makhluk hidup. Lebih dari itu, ada beragam aspek penting yang menjadi penyokong kehidupan di hutan. Potret nyata hutan menjadi sangat miris karena angka biodiversitas hutan yang ada semakin menurun. Di dalam hutan terdapat milyaran kehidupan organisme yang bahkan menghidupi kehidupan lainnya. Hal lain yang menjadi penting adalah bahwa hutan merupakan “pabrik” dari beragam kekayaan alam. Ketidakmengertian, ketidaktahuan dan ketidakpedulian terhadap pentingnya hutan banyak menyebabkan minimnya pengetahuan dalam mengelola hutan. Padahal, hutan diibaratkan sebagai penopang kehidupan selaras dengan pernyataan dan ajakan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya pada Hari Hutan Internasional (HHI) yang menyatakan bahwa hutan Indonesia memiliki peran strategis sebagai sistem penopang kehidupan (Life Support System). Hutan hujan Indonesia, menjadi rumah bagi ribuan jenis spesies yang beragam. Mengacu data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas kawasan hutan di Indonesia yaitu 125.797.052 ha yang terbagi menjadi beberapa bagian. Indonesia memang patut bangga atas julukan negara megabiodiversity. Daratan Indonesia hanya mencakup 1,3% daratan bumi, tetapi Indonesia memiliki 10 % tumbuhan, 12 % mamalia, 16% reptil dan amfibi, serta 17 % burung yang ada di dunia (Collin et al. 1991). Merilis data dari BAPPENAS, Indonesia setidaknya memiliki lebih dari 38.000 spesies tumbuhan, 55% diantaranya adalah tumbuhan endemik.

Sayangnya, saat ini kondisi si “penopang kehidupan” sedang tidak baik-baik saja. Saat ini terjadi penurunan status keanekaragaman hayati yang diakibatkan banyak faktor. Degradasi lahan, deforestasi hutan, dan eksploitasi secara berlebihan merupakan faktor – faktor yang turut mengancam biodiversitas. Indonesia sebagai negara megabiodiversity menduduki peringkat ke-5 dari 20 negara di dunia yang biodiversitas alaminya terancam punah. Pada abad berikutnya, Indonesia telah diperkirakan akan kehilangan 20 – 50% dari semua spesies yang ada bahkan yang belum ditemukan sebelumnya. Terdapat sekitar 1126 spesies terancam punah yang terdiri dari mamalia, burung, reptil, amfibi, ikan, dan molusca (Sutarno dan Ahmad, 2015). Ironisnya, dalam 100 tahun terakhir pembukaan hutan di Indonesia terkonsentrasi di Kalimantan dan Sumatera (Broich et al. 2011). Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, pulau Kalimantan telah kehilangan sekitar 2/3 tutupan hutannya. Hingga saat ini, keberadaan hutan tropis di Indonesia terus mengalami penurunan akibat deforestasi. Diperkirakan sekitar 18,7 juta hektar hutan tropis di Kalimantan ditebang antara tahun 1973 hingga 2015 untuk dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan, pertanian, industri, dan tempat tinggal (Firmansyah., dkk, 2021). Dilansir dari laman milik salah satu lembaga konservasi terbesar yaitu WWF Indonesia, terjadi penurunan yang signifikan mengenai keanekaragaman hayati Indonesia dari tahun 1970 hingga saat ini. Meski demikian, penurunan keanekaragaman hayati ini belum menjadi perhatian media, pemerintah dan pihak lembaga internasional.

Manusia yang sudah tidak memaknai hutan dengan segenap hatinya, tidak akan menyadari bahwa hutan kita sedang tidak baik-baik saja. Hutan kita sedang kritis. Langkah kecil sebagai langkah awal yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan ini tidak lain adalah dengan mengenali dan memahami lebih dalam apa saja yang terdapat di dalam hutan. Memperbaiki dengan terlebih dahulu mempelajari merupakan salah satu cara yang mumpuni untuk dilakukan. Gerakan-gerakan kecil pun dirasa mampu menjadi angin segar bagi kondisi saat ini.

Berangkat dari hal tersebut, Himpunan Mahasiswa Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada mengusung tema “Biodiversity”. Pemilihan tema ini patut dijadikan sebagai pemacu diri untuk lebih mengenal keadaan hutan di Indonesia. Masa depan kita, sangat bergantung pada hutan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Ultimatum maha mendesak ini harus segera menemukan muara penyelesaiannya. Apabila tidak segera ditangani dengan sepenuh hati, maka tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dapat kehilangan luasan hutannya dalam waktu singkat. Sebuah bom waktu bernama hutan dan biodiversitasnya berjalan mulai detik ini. Berita mengenai biodiversitas hutan harus segera disebarkan. Biodiversitas hutan harus tetap lestari.

Penulis : Maria Agustha N. B. P., Nabila Anggita A, Riska Annisa Mayfinda.

Penyuting : Alnus Meinata 

Sumber Referensi:

BAPPENAS. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020: IBSAP: Dokumen Nasional. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Jakarta.

Broich M, Hansen M C, Potapov P, Adusei B, Lindquist E J and Stehman S V. 2011a. Time-series analysis of multi-resolution optical imagery for quantifying forest cover loss in Sumatera and Kalimantan, Indonesia. Int J Appl Earth Observ Geoinform 13 277-291.


Broich M, Hansen M, Stolle F, Potapov P, Margono BA, Adusei B. 2011b. Remotely sensed forest cover loss shows high spatial and temporal variation across Sumatera and Kalimantan, Indonesia 2000–2008. Environ Res Lett 6 (1): 014010. doi:10.1088/1748- 9326/6/1/014010


Collins, N. M., J. A. Sayer, T. C. Whitmore. 1991. The Conservation Atlas of Tropical Forests. Asia and The Pacific. Macmillian Press Ltd; London.

Firmansyah, R.P., Eko, P.P., Aulia, N.K., dan Delila, P.S. 2021. Program Heart of Borneo WWF dalam Pelestarian Hutan di Kalimantan. Jurnal Hutan Tropis, 9 (1) : 94 – 100.

Sutarno., dan Ahmad, D. S. 2015. Biodiversitas Indonesia : Penurunan dan Upaya Pengelolaan untuk Menjamin Kemandirian Bangsa. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 1(1) : 1 – 13.

Manfaat Rehabilitasi pada Lahan Gambut

sumber : wri.indonesia.org

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh (fragile), lapisannya terdiri dari gambut dengan kedalaman mulai dari 25 cm hingga lebih dari 15 m, serta mempunyai kekayaan flora dan fauna yang khas (Daryono, 2009). Indonesia mempunyai sekitar 14,9 juta ha lahan gambut dengan simpanan karbon bawah tanah sekitar 57,5 giga ton (ANONIM, 2019)Lahan gambut yang subur dapat mencegah kekeringan dan banjir, menjadi sumber makanan dan air bersih untuk masyarakat sekitar, serta dapat menjadi habitat untuk beberapa jenis spesies langka, di antaranya orangutan dan harimau Sumatera. Kemampuan lahan gambut menyimpan karbon menjadikan lahan gambut memiliki simpanan karbon dua kali lebih banyak dari hutan di seluruh dunia dan empat kali lebih banyak dari yang ada di atmosfer. Oleh karena itu lahan gambut memegang peranan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (ANONIM, 2017).

Kepadatan penduduk di Indonesia yang meningkat menyebabkan terjadinya peningkatan pemanfaatan lahan gambut. Pemanfaatan lahan gambut yang umum dilakukan antara lain alih fungsi menjadi lahan pertanian, Hutan Tanaman Industri (HTI), serta perkebunan kelapa sawit Widyati (2011). Pemanfaatan lahan gambut dapat menyebabkan degradasi lahan gambut. Pada tahun 2007, degradasi lahan gambut diperkirakan telah mencapai 44,6 % atau sekitar 6,66 juta ha dari 14,95 juta ha lahan gambut yang ada di Indonesia (Masganti dkk,. 2014). Degradasi tersebut diakibatkan oleh pemanfaatan lahan gambut yang tidak terkontrol (Wahyunto et al. 2013a; 2013b; 2014 dalam Masganti dkk,. 2014). Selain menyebabkan degradai, pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian atau perkebunan akan menyebabkan terjadinya peningkatan emisi CO2 ke atmosfer (Adji dkk., 2017). Hal ini akan berdampak pada meningkatnya suhu di bumi yang biasa dikenal dengan istilah global warming.

Lahan gambut memiliki sifat irreversible drying, artinya ketika mengalami kekeringan yang berlebihan (over drained) sifat koloid gambut akan rusak sehingga gambut tidak dapat kembali menyerap air dan unsur hara (Widyati, 2011). Kondisi tersebut mengakibatkan gambut berubah sifat menjadi seperti arangehingga pada musim kemarau mudah terbakar (Widyati, 2011). Kebakaran hutan sudah sering terjadi bahkan hampir setiap tahun, salah satunya terjadi di Riau, Indonesia (Pasai, 2020). Kebakaran di Riau terjadi mulai dari tahun 1997 hingga 2001, seluas 51.255 ha. Areal tersebut di antaranya merupakan areal HTI dan perkebunan seluas 33.000 ha (Suyanto dkk., 2003). Kebakaran lahan gambut di Riau berpotensi menyebabkan pencemaran udara yang mengganggu kesehatan masyarakat. Dampak tersebut dirasakan oleh warga sekitar hutan bahkan sampai ke Australia (Raditya, 2019). Banyaknya dampak dan kerugian yang disebabkan oleh terjadinya degradasi lahan gambut mengakibatkan diperlukannya rehabilitasi lahan gambut untuk meningkatkan kualitas lahan gambut tersebut.

Sumber : IndonesiaBaik.id

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan guna meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga (Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan).  Rehabilitasi lahan gambut dilakukan melalui 3R tersebut yaitu Rewetting, Revegetation, dan Revitalization (Badan Restorasi Gambut Indonesia, 2018 ) Pembasahan gambut (rewetting) diperlukan untuk mengembalikan kelembapannya. Penataan air dilakukan dengan membangun sekat kanal (canal blocking), penimbunan saluran (back filling), sumur bor, dan upaya lain yang mendorong basahnya lahan gambut (Anonim, 2018). Penanaman lahan gambut (revegetation) dapat dilakukan apabila lahan sudah kembali lembab dengan tanaman yang tidak mengganggu siklus air dalam ekosistem gambut. Revegetasi bertujuan untuk menjaga keberlangsungan ekosistem gambut, memperkokoh sekat kanal, dan melindungi lahan gambut agar tidak terkikis aliran air kanal. Pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal (revitalization) juga harus dipertimbangkan selain kegiatan pemulihan ekologi dan revegetasi. Masyarakat harus berdiskusi dengan pelaku restorasi untuk mencari dalam memajukan perekonomian melalui pengolahan lahan gambut, seperti penanaman sagu, karet, kopi, dan kelapa atau dengan pengembangan perikanan dan pariwisata alam (Anonim, 2020).

Lahan gambut yang terkelola dengan baik akan memberikan banyak manfaat , yaitu bagi lingkungan maupun bagi keanekaragaman hayati di lahan gambut. Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dengan restorasi lahan gambut bermanfaat untuk mempercepat pemulihan fungsi lahan gambut (Gunawan, 2019). Fungsi lahan gambut menurut Adinugroho dkk (2004) yaitu sebagai cadangan air, penyangga lingkungan, lahan pertanian, habitat flora dan fauna, serta sebagai penyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Restorasi gambut diharapkan dapat meningkatkan manfaat restorasi bagi ekonomi masyarakat dan meminimalkan dampak lingkungan (Gunawan, 2019).

Semakin meningkatnya degradasi lahan gambut akan menyebabkan dampak negatif yang serius sehingga kegiatan rehabilitasi lahan gambut masih perlu dilakukan. Kegiatan rehabilitasi dalam pelaksanaannya membutuhkan usaha yang besar. Selain itu, koordinasi yang baik antara pemerintah, LSM, masyarakat sekitar, dan stakeholder lain juga diperlukan untuk mewujudkan lahan gambut yang lestari. Masyarakat di sekitar hutan memegang peran penting di dalam proses restorasi lahan gambut sebagai aktor utama selama proses rehabilitasi. Masyarakat berperan penting di dalam pembuatan kanal, sumur, dan melaksanakan program yang sudah rencanakan. Pendekatan kepada masyarakat menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan di dalam kegiatan rehabilitasi lahan gambut. Konflik sosial cenderung akan muncul apabila pendekatan yang dilakukan tidak tepat. Oleh karena itupenyusunan rencana teknis rehabilitsai lahan gambut harus dibuat dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan pihak terkait. Keberhasilan rehabilitasi lahan gambut harus menjadi prioritas di dalam menyususn rencana kerja rehabilitasi mengingat nilai penting dan manfaat kelestarian lahan gambut. Keberhasilan rehabilitasi tersebut berhubungan erat dengan manfaat yang dapat dirasakan setelah kegiatan rehabilitasi. Oleh karena itu, prestasi keberhasilan rehabilitasi lahan gambut harus terus dipertahankan dan ditingkatkan sehingga manfaat yang didapatkan juga dapat dirasakan dalam jangka panjang.

 

Oleh : Novia Assifa Belladinna

Editor: Linda Ratnasiwi dan Wawan Sadewo

 

Sumber :

Adinugroho, W., I Nyoman S., Bambang H., dan Labueni S. 2004. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Bogor: Wetlands International.

Anonim. 2017. Mengapa Lahan Gambut Penting. ANONIM. Bogor.

________.2018. Badan Restorasi Gambut: Strategi 3R dalam Upaya Restorasi Gambut. http://brg.go.id/strategi-3r-dalam-upaya-restorasi gambut/#:~:text=3R%20adalahkepanjangan%20dari%20rewetting%2C%20revegetation,persemaian%2C%20penanaman%20dan%20regerenasi%20alami. (diakses pada 28 Januari 2021).

_______. 2020. Strategi 3R untuk Restorasi Lahan Gambut. ANONIM. Bogor.

_______. 2019. Apakah gambut itu? Apa saja manfaatnya? Apakah hubungan antara gambut dengan kebakaran?. ANONIM. Bogor.

Daryono, H. 2009. Potensi, Permasalahan, dan Kebijakan yang diperlukan dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 6 (2). Hal: 71 – 101.

Gunawan, H. dan Afriyanti D. 2019. Potensi Perhutanan Sosial dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Restorasi Gambut. Jurnal Ilmu Kehutanan. Vol. 13. Hal: 227 – 236.

Masganti, Wahyunto, Ai Dariah, Nurhayati, dan Rachmiwati, Y. 2014. Karakteristik dan Potensi Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradadi di Provinsi Riau. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol. 8 (1). Hal: 59-66.

Nurhayati. A., Ervina  S., dan Bambang H. 2010. Kandungan Emisi Gas Rumah Kaca pada Kebakaran Hutan Rawa Gambut di Pelalawan Riau. Jurnal ilmu pertanian Indonesia. Vol. 15 (2). Hal: 78-82.

Pasai, M. 2020. Dampak Kebakaran Hutan dan Penegakan Hukum. Jurnal Pahlawan. Vol. 3 (1). Hal: 36 – 46.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2020. Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. 20 mei 2020. Lembar Negara republik Indonesia Tahun 2020 nomor 6518. Jakarta.

Raditya, I. 2019. Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Terparah Tahun 1997, dari https://tirto.id/sejarah-kebakaran-hutan-lahan-di-indonesia-terparah-tahun-1997-eijN (diakses pada 25 Februari 2021).

Sucahyo. 2013. Rehabilitasi Lahan Gambut di Mawas, dari https://orangutan.or.id/id/mawas-peatland-rehabilitation-program (diakses pada 29 Januari 2020).

Suyanto,. Unna C., dan Prianto W. 2003. Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. Prosiding Semiloka (with English Summary). 10-11 Desember 2003, Palembang, Sumatera Selatan. pp. 5-12.

Widyati, E. 2011. Kajian Optimasi Pengelolaan Lahan Gambut dan Isu Pembaharuan Iklim. Jurnal Tekno Hutan Tanaman. Vol. 4 (2). Hal: 57 – 68.

Jamur Arbuskular Mikoriza sebagai Solusi Penanganan Tanah Tercemar

Gambar Jamur Arbuskular Mikoriza di bawah mikroskop

Sumber : Deguchi et al., 2017

Urbanisasi dan industrialisasi akhir dekade ini mengalami pertumbuhan yang pesat. Seiring dengan berkembangnya urbanisasi dan industrialisasi maka peningkatan kontaminasi khususnya terhadap tanah juga semakin tinggi akibat limbah yang dihasilkan oleh kedua sektor tersebut. Kerusakan tanah karena keberadaan zat kontaminan dapat menyebabkan tanah sulit untuk ditumbuhi oleh tanaman. Dampak dari hal tersebut adalah gagalnya proses rehabilitasi pada daerah-daerah dengan tanah terkontaminasi. Kontaminan dari sektor urbanisasi dan industrialisasi antara lain adalah Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Merkuri (Hg), dan Arsenik (As) yang tidak memiliki fungsi biologis (Cabral et al., 2015). Apabila keberadaan logam-logam tersebut di alam melebihi ambang batas maka dapat bersifat toxic pada tanaman. Aternatif yang dapat diterapkan untuk menangani hal tersebut adalah melalui penggunaan teknologi fitoremediasi.

Fitoremediasi merupakan salah satu alternatif untuk menghilangkan, mengurangi, dan mengisolasi kontaminan dari tanah melalui penggunaan tumbuhan (pohon, rumput, tumbuhan akuatik, semak-semak) serta mikroorganisme asosiasinya (Varum et al., 2015 dalam Paulo et al., 2019). Berbagai jenis tumbuhan dan mikoorganisme asosiasinya diteliti kemampuannya dalam menghilangkan kontaminasi pada tanah. Salah satu jenis mikroorganisme asosiasi yang sedang dikembangkan adalah Jamur Arbuskular Mikoriza (AM) yang bersimbiosis dengan tanaman inang untuk memperbaiki lahan yang terkontaminasi oleh logam. Arbuskular Mikoriza (AM) adalah salah satu jenis asosiasi endosimbiotik yang terjadi antara tanaman tingkat tinggi dan jamur (Hata et al., 2010). berasal dari Bahasa Latin sedangkan mycos dan rhiza berasal dari Bahasa Yunani yang artinya pohon kecil, jamur, dan akar. Simbiosis ini terjadi antara 70% hingga 90% antara tanaman tingkat tinggi di daratan dengan jamur tanah yang masuk ke dalam filum Glomeromycota (Schüßler et al., 2001; Smith dan Read, 2008 dalam Hata et al., 2010). Hifa dari Arbuskular Mikoriza (AM) dapat memperluas permukaan bidang serap di daerah rizosfer sehingga meningkatkan penyerapan air dan nutrien dalam tanah khususnya fosfat dan nitrogen (Chalot et al., 2006; Govindarajulu et al., 2005; Kardanashov dan Bucher, 2005 dalam Hata et al., 2010). Selain itu, Arbuskular Mikoriza (AM)  juga dapat menyebabkan tanaman inang toleran terhadap serangan patogen dan stress abiotik (Liu et al., 2007; Marschner, 1995 dalam Hata et al., 2010) seperti toksisitas dari ion-ion logam dan salinitas (Goss et al., 2017).

Mekanisme fitoremediasi yang dilakukan oleh Arbuskular Mikoriza (AM)   adalah dengan meningkatkan kapasitas absorbsi melalui hifa untuk penyerapan air dan nutrisi sehingga tanaman mengalami pertumbuhan pesat dan peningkatan biomassa. Hal ini adalah kunci dalam kesuksesan program fitoremediasi. Akar tanaman yang dikolonisasi oleh Arbuskular Mikoriza (AM)  memiliki kapasitas untuk menyimpan elemen logam di dinding sel hifa. Elemen logam yang immobile dalam miselium jamur adalah proteksi utama untuk melindungi tanaman dari toksisitas elemen pencemar. Arbuskular, vesikel, dan vakuola jamur berperan dalam akumulasi elemen pencemar yang tidak diharapkan keberadaanya agar tidak terjadi translokasi ke sel-sel tanaman. Dinding sel jamur mengandung asam amino, hidroksil, karboksil, dan komponen lain yang mengandung gugus untuk tempat pelekatan elemen proses adsorpsi elemen pencemar sehingga ketebalan dan karakteristik morfologi dinding sel jamur penting sebagai tempat penyimpan elemen toksik tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari hal ini antara lain adalah mengurangi translokasi elemen pencemar dari tanah ke jaringan tanaman, mengurangi stress tanaman, mengurangi erosi apabila pertumbuhan tanaman bagus, meningkatkan penyerapan air dan nutrien, meningkatkan toleransi tanaman terhadap tanah terkontaminasi, serta peningkatan bahan organik tanah. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memahami mekanisme secara detail terkait jenis jamur dan tanaman inang apa saja yang dapat bersimbiosis, serta kontaminan apa saja yang dapat di atasi dengan strategi ini.

Penulis : Fanny Diah Ningrum

Daftar Pustaka

Cabral, L, Soares CR, Ghiacini AJ, dan Siqueira JO. 2015. Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Phytoremediation of Contaminated Areas by Trace Elements : Mechanisms dan Major Benefits of Their Applications. World J Microbiol Biotechnol 955:1655–1664.

Deguchi, Seitaro., Yosuke Matsuda, Chisato Takenaka, Yuki Sugiura, Hajime Ozawa, Yoshimune Ogata. 2017. Proposal of a New Estimation Method of Colonization Rate of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in the Roots of Chengiopanax sciadophylloides. Mycobiology. 45(1): 15

Hata, Shingo.,  Yoshihiro Kobae, Mari Banba. 2010. International Review of Cell dan Molecular Biology  : Chapter 1 – Interactions Between Plants dan Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Editor(s): Kwang W. Jeon.  Academic Press 281:1-48.

Goss, Michael J., Mário Carvalho, Isabel Brito. 2017. Functional Diversity of Mycorrhiza dan Sustainable Agriculture: Chapter 3 – The Roles of Arbuscular Mycorrhiza dan Current Constraints to Their Intentional Use in Agriculture. Editor(s): Michael J. Goss, Mário Carvalho, Isabel Brito. Academic Press pp 39-58.

Paulo J.C. Favas, João Pratas, Manoj S. Paul, Majeti Narasimha Vara Prasad. 2019. Phytomanagement of Polluted Sites Chapter 10 – Remediation of Uranium-Contaminated Sites. Editor(s): Vimal Chandra Pandey, Kuldeep Bauddh. Phytoremediation and Natural Attenuation. Elsevier pp 277-300.

HIMPUNAN MAHASISWA BUDIDAYA HUTAN (HIMABA) FAKULTAS KEHUTANAN UGM BERSAMA MASYARAKAT MELAKUKAN KEGIATAN PENANAMAN DI GUNUNGKIDUL

Penulis : Galang Rama Asyari

Editor  : Wawan Sadewo

Gunungkidul (9/2/2020), Himpunan Mahasiswa Budidaya Hutan (HIMABA) Fakultas Kehutanan UGM melakukan kegiatan penanaman bersama masyarakat di Petak 84, RPH Menggoran, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bagian dari rangkaian Program Forester in Action #3 yang secara rutin dilaksanakan setiap tahun. Luas lahan yang ditanami adalah seluas dua hektar. Lahan tersebut merupakan bagian dari wilayah kelola KPH Yogyakarta yang dikelola bersama masyarakat. Jumlah total bibit yang ditanam adalah 2.500 bibit. Jenis bibit yang ditanam merupakan kombinasi tanaman keras kehutanan yang terdiri dari jenis jati, sengon, dan cemara serta tanaman MPTS (Multy Puspose Tree Spesies) yang terdiri dari jenis nangka, sirsak, mangga, dan jambu biji.

“Tanaman yang ditanam disesuaikan dengan kondisi lahannya, hal ini merupakan salah satu teknik silvikultur yang dilakukan agar dapat meningkatkan persentase keberhasilan tanaman”, kata Belgis, Kepala Departemen Keilmuan HIMABA Fakultas Kehutanan UGM.

Kegiatan penanaman yang dilakukan tidak hanya sekedar menanam. Kegiatan tersebut terdiri dari berbagai rangkaian acara yang saling berkesinambungan satu dengan lainnya. Kegiatan penanaman dalam rangkaian program Forester in Action #3 terdiri dari berbagai acara, yaitu pendidikan lingkungan, sarasehan penanaman, dan penanaman pohon di kawasan hutan. Luaran dari kegiatan ini secara berkelanjutan akan dipetakan dalam satu Peta Pelaksanaan Penanaman Himpunan Mahasiswa Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM. Program ini menjadi salah satu bukti bahwa mahasiswa pun selain memiliki kapasitas di bidang akademik juga mampu menjadi fasilitator masyarakat dalam membangun kesejahteraan ekonomi melalui pembangunan kawasan hutan.

“Dengan melakukan penanaman, kita tidak hanya memperbaiki ekosistem yang ada, hal ini juga akan menjadi bekal dan tambahan kebaikan bagi manusia sampai ke generasi berikutnya”, pesan Belgis, Kepala Departemen Keilmuan HIMABA Fakultas Kehutanan UGM.

Acara pendidikan lingkungan bertujuan untuk memberikan pemahaman terkait nilai penting kelestarian hutan kepada anak-anak. Acara ini dilaksanakan pada hari Sabtu (8/2/2020) dengan peserta utama adalah siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri 5 Playen. Acara tersebut dilaksanakan di Petak 84, RPH Menggoran, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul. Siswa sekolah madrasah tersebut diberikan pemahaman terkait praktik menanam pohon yang benar. Peserta dibagi ke dalam kelompok kecil dan masing-masing kelompok diberi 5-10 bibit tanaman kehutanan untuk ditanam. Materi yang diberikan meliputi nilai penting jenis yang ditanam dan teknik menanam yang benar. Kemudian, setiap kelompok menuliskan nama siswa yang menanam, nama kelompok, dan harapan yang diinginkan pada selembar kertas pada bibit yang ditanam.

“Kegiatan pendidikan lingkungan ini diharapkan dapat menjadi media pembelajaran langsung bagi para siswa atau anak kecil tentang masalah lingkungan agar terbentuk generasi masa depan yang selalu ingat dengan kelestarian alam”, kata Belgis, Kepala Departemen Keilmuan HIMABA Fakultas Kehutanan UGM.

Selain melaksanakan pendidikan lingkungan, HIMABA Fakultas Kehutanan UGM juga menyisipkan acara sarasehan ke dalam rangkaian kegiatan penanaman. Acara sarasehan ini ditujukan untuk mengomunikasikan kegiatan penanaman yang akan dilakukan oleh mahasiswa kepada masyarakat. Acara tersebut dihadiri oleh masyarakat, kelompok tani, RPH Menggoran, dan perangkat desa. Selain itu, acara sarasehan tersebut turut menghadirkan dosen Fakultas Kehutanan UGM, yaitu Ir. Sri Danarto M. Agr. Sc., Ir. W. W. Winarni, M. P., dan Dr. Dra. Winastuti Dwi Atmanto, M. P. Kehadiran dosen-dosen tersebut adalah sebagai pendamping dan pengisi materi terkait ilmu-ilmu terapan bidang kehutanan.

Seluruh rangkaian acara dalam kegiatan penanaman kemudian ditutup dengan acara penanaman pohon bersama masyarakat. Acara tersebut dimulai dari pagi ditandai dengan keberangkatan peserta secara serempak ke lokasi penanaman. Acara tersebut berlangsung selama 3 jam dan semua bibit telah ditanam seluruhnya. Luaran dari kegiatan ini selain mahasiswa dapat berkontribusi langsung dalam peningkatan luas tutupan hutan di kawasan hutan RPH Menggoran juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang nilai penting kelestarian hutan terkhusus di Gunungkidul. Harapannya kegiatan penanaman ini dapat terus dilakukan setiap tahun dan setiap lokasi penanaman dapat dipetakan.