Arsip:

Uncategorized

Derevonia: Langkah Awal dari Kabinet HIMABA 2023


Derevonia dapat diartikan sebagai Pohon yang merupakan Pionir karena di kehidupan ini, kita membutuhkan oksigen yang diciptakan oleh pohon. Logo derevonia melambangkan harapan dan tujuan yang ingin dicapai, dimana

1) Pohon melambangkan tingkatan pertumbuhan tahap akhir yang memiliki naungan besar dengan harapan Himaba dapat menaungi mahasiswa silvikultur dan dapat berdiri dengan kokoh;

2) Kemudian horizon melambangkan lapisan  yang sejajar dengan permukaan tanah dengan sifat dan karakteristik yang beragam sebagaimana Himaba dengan banyak pemikiran namun tetap dapat bersatu padu;

3) Bulan sabit yang menandakan adanya bulan baru sebagai lambang kepengurusan baru yang siap menerjang alur satu tahun ke depan yang dinamis.

Melalui tujuan yang terkonsepsi dalam penamaan ini, Kabinet Derevonia diharapkan dapat menjadi harapan bagi Himpunan Mahasiswa Budidaya Hutan di lingkup Fakultas Kehutanan sebagai pohon harapan yang mampu tumbuh dan bertahan di dalam kondisi apapun serta kedepannya dapat menaungi benih-benih baru yang akan tumbuh.

Disamping itu Derevonia memiliki visi untuk mewujudkan mahasiswa minat silvikultur yang berwawasan sosial dan lingkungan dengan dasar keilmuan yang dimilikinya dalam rangka membentuk rimbawan yang ntelektual, professional, dan bermoral. Sedangkan misi dari Derevonia yaitu ikut turut serta dalam meningkatkan peran serta dan kualitas sumberdaya mahasiswa minat silvikultur dengan membuka ruang aktivitas ilmiah dan sosial yang kondusif untuk membentuk rimbawan yang intelektual, professional, dan bermoral.

Pada Kabinet Derevonia ini Daru Jati merukan ketua himpunan terpilih yang akan bertanggung jawab dalam dinamika himpunan satu tahun ke depan. Kemudian untuk kepentingan pelaksanaan kegiatan maupun program yang akan dilaksanakan selama tahun tersebut akan dibantu oleh masing-masig departemen yang diwakili oleh ketua departemen dan deputi pada masing bidang

Kabinet Derevonia HIMABA Periode 2022/2023 telah rilis. Semoga bertanggugjawab, amanah, dan bersemangat dalam satu periode kedepan!

GILAS! GILAS! GILAS!
GILAS! GILAS! GILAS!

#HIMABA2023
#Silvikultur2022
#Kabinetderevonia

Gambut di Indonesia dan Vegetasi Didalamnya

Sumber gambar: www.pengertianilmu.com

Gambut di Indonesia dan Vegetasi Didalamnya

“Peran lahan gambut terhadap penyimpanan  karbon di ekosistem menjadi dasar bahwa lahan gambut merupakan ekosistem vital bagi  mahluk hidup, sehingga  perlakuan terhadap lahan gambut haruslah dilakukan secara arif. ”

Lahan gambut merupakan  tanah hasil penumpukan bahan organik melalui produksi biomassa hutan hujan tropis. Kementerian Pertanian mendefinisikan ‘gambut’ sebagai tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih besar dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang proses dekomposisinya terhambat suasana anaerob dan basah. Lahan gambut merupakan suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh pada kawasan yang sebagian besar terbentuk oleh sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu lama. Oleh karena itu gambut adalah sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama.

Lahan gambut memiliki banyak manfaat yaitu untuk pencegah bahaya banjir di musim hujan dan mencegah kekeringan di musim kemarau karena memiliki kemampuan untuk menyerap dan menampung air dalam jumlah yang banyak. Selain itu, manfaat gambut yaitu sebagai habitat bagi kehidupan satwa dan tumbuhan. Namun, lahan gambut juga memiliki kelemahan yaitu memiliki kandungan hara yang rendah. Tanah jenis ini kurang cocok untuk digunakan sebagai tanah pertanian karena membutuhkan pengelolaan yang lebih rumit untuk dilakukan.

Perbedaan antara tanah gambut dengan tanah lainnya dapat dibedakan dengan mengamati ciri fisik dan juga kimia yang terkandung didalamnya. Ciri fisik dari tanah gambut yaitu mempunyai kadar air sekitar 100% hingga 1300% dari berat keringnya. Kandungan air yang tinggi menyebabkan gambut memiliki kepadatan tanah (bulk density) yang rendah. Ciri fisik lainnya yaitu ketidakmampuan gambut untuk kembali menyerap air jika telah kering atau kadar airnya telah turun dibawah 100%. Kondisi ini akan meningkatkan risiko terbakarnya lahan gambut pada kondisi kering.

Sementara itu, ciri kimia atau ciri yang dapat diamati dengan melihat kandungan yang ada didalam suatu tanah menunjukan bahwa tanah gambut memiliki struktur kimia yang dipengaruhi oleh kandungan mineral penyusunnya. Gambut di Indonesia biasanya memiliki kandungan mineral sekitar 5% dan sisanya adalah material organik dari tumbuhan. Bahan organik tersebut terbagi menjadi beberapa fraksi, seperti senyawa humat antara 10% sampai 20% serta senyawa lain seperti lilin, selulosa, hemiselulosa, lignin, suberin, protein, resin dan sebagainya. Selain itu, tingkat keasaman tanah gambut sangat tinggi dengan kadar pH antara 3 sampai 5.

Proses pembentukan gambut memakan waktu yang lama bahkan berlangsung selama ribuan tahun. Dimulai dari adanya cekungan atau genangan air yang sangat luas yang pada suatu waktu mengalami pendangkalan secara perlahan-lahan dan bertahap. Pendangkalan ini terjadi akibat tanaman yang tumbuh di lahan basah (kumpulan bahan-bahan organik) yang kemudian mati, lalu menumpuk di dasar cekungan, setelah itu akan mengalami pembusukan yang lambat karena tidak adanya udara sehingga membentuk lapisan di atas tanah mineral yang berada di dasar cekungan. Tanaman berikutnya tumbuh dan kemudian mati di atas lapisan yang sudah terbentuk dan akan mengalami siklus yang sama sehingga secara bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut yang baru.

Dilansir dari laman pantaugambut, Indonesia memiliki luasan gambut tropis terbesar di dunia dengan luas mencapai 13,43 juta hektare yang tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua.  Dengan luasan itu, Indonesia menjadi negara dengan kepemilikian luasan gambut tropis terluas di dunia. Luasan lahan gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatera dengan luas gambut 5,8 juta hektare, Kalimantan dengan luas gambut 4,5 juta hektare dan Papua dengan luas gambut 3 juta hektare.

Jenis-jenis Vegetasi di Lahan Gambut

1. Jelutung Rawa

Sumber gambar : https://indonesia.wetlands.org/id/publikasi/jelutung-rawa/

Tanaman jelutung rawa (Dyera polyphylla) merupakan salah satu jenis andalan untuk merehabilitasi ekosistem hutan rawa gambut yang terdegradasi, karena adaptif di lahan gambut dan memiliki nilai ekonomi, baik dari getah dan kayu.  Jelutung Rawa merupakan tanaman asli hutan tropis yang dapat tumbuh pada daerah tepi sungai, rawa dan rawa bergambut. Tanaman ini mampu tumbuh dalam level muka air tanah kurang dari 40 cm, hal ini disebabkan karena jelutung memiliki akar nafas yang mampu membantu tanaman ini menghadapi genangan air pada waktu lama (Tata dkk, 2015). Dengan laju pertumbuhan diameter batang jelutung rata-rata 1,7 cm/tahun, jelutung dapat disadap pada umur 10 tahun, dan pada akhir daur yaitu tahun ke-30, kayu jelutung dapat dipanen. Selain itu, penanaman jelutung rawa di lahan gambut dapat menggunakan metode agroforestry dengan memasukan berbagai tanaman sela di bawah tegakan jelutung rawa seperti jahe, lengkuas dan nanas dapat memberikan penghasilan tambahan, selain produk buah/benih yang dapat dijual sebagai sumber bibit. Kayu jelutung dapat digunakan untuk industri papan, kayu lapis dan bubur kayu; getahnya untuk industri kabel, alat – alat kesehatan, permen karet; sedangkan resin yang diekstrak dari getah jelutung digunakan dalam industri pernis, kosmetik dan bio-farmasi (Tata dkk, 2015).

2. Perepat /Tumih (Combretocarpus rotundatus)

Sumber gambar : https://www.inaturalist.org/taxa/184062-Combretocarpus-rotundatus/browse_photos

Perepat (Combretocarpus rotundus) merupakan salah satu jenis pohon penyusun hutan bakau. Pohon ini dapat hidup pada daerah yang tergenang air dan cenderung menyukai tanah berlumpur dan berpasir, sehingga pohon ini dapat tumbuh di daerah gambut. Pohon Perepat juga sering dijumpai di sepanjang peisisr pantai dan muara sekitar pulau lepas pantai. Di Indonesia, jenis flora ini tersebar di daerah Sumatera, Kalimantan, Kep. Riau dan Bangka Belitung. Pohon Perepat banyak ditemukan pada hutan dengan kanopi terbuka dengan tanah yang tergenang dengan ketinggian 100 – 300 mdpl. Pohon ini selalu hijau dengan ketinggian mencapai 15 m dan memiliki kulit batang berwarna putih tua hingga coklat. Ciri – ciri daunnya berbentuk bulat telur terbalik, duduk daun berhadapan, tebal, berukuran panjang 5 – 12 cm dan lebar 3 – 9 cm. Bunganya berkelamin ganda, soliter, bertangkai pendek dan berwarna hijau di bagian luar serta merah di bagian dalam. Buahnya memiliki biji banyak, pangkal buah dilindungi kelopak dan mahkota bekas tangkai putik. Kayu Perepat dapat digunakan untuk kayu bakar dan pertukangan. Daun Perepat juga dapat digunakan sebagai antioksidan (Gazali, dkk., 2020).

3. Mentibu (Dactylocladus stenostachys)

Sumber gambar : https://de.wikipedia.org/wiki/Dactylocladus_stenostachys

Hutan gambut dicirikan dengan adanya vegetasi gambut salah satunya adalah Mentibu (Dactylocladus stenostachys). Mentibu merupakan jenis spesies endemik Kalimantan yang hidup di hutan rawa gambut dan juga kerangas. Mentibu dapat tumbuh hingga ketinggian 40 meter dan  DBH mencapai 150 cm. Menurut Elfis dalam Hastuti dkk (2014), spesies ini merupakan spesies yang banyak mendominasi hutan gambut. memiliki lapisan tajuk teratas, Pohon ini mudah dikenali karena batangnya terbalut kulit luar yang pecah, berwarna kelabu kekuningan, tidak memiliki banir, dan memiliki bulu halus. Kayu Pohon Mentibu dapat digunakan untuk pembuatan furniture dan konstruksi.

4. Bintangur (Calophyllum inophyllum)

Sumber gambar : https://www.inaturalist.org/taxa/159698-Calophyllum-inophyllum

Bintangur merupakan salah satu jenis dari famili Callophylleae yang banyak tersebar di beberapa tipe hutan baik hutan kering Mixed Dipterocarp, hutan rawa gambut maupun hutan kerangas. Pohon ini memiliki batang besar yang tingginya dapat mencapai 20 m dengan diameter mencapai 150 cm. Pohon Bintangur cenderung memiliki percabangan yang banyak dan tidak mudah mengalami prunning alami. Jenis flora ini dapat tumbuh pada tanah berpasir yang marginal dan tanah liat dengan ketinggian tempat 0 – 300 mdpl, memiliki drainase baik dan  pH 4 – 7,4. Pohon Bintangur memiliki batang yang tebal dan kulit batangnya bertekstur kasar retak – retak berwarna hitam. Daunnya mengkilap dan kaku serta buahnya banyak tersusun dalam kelompok – kelompok. Kayu Bintangur dapat dimanfaatkan untuk kayu pertukangan, kayu lapis dan konstruksi ringan. Kulit biji dapat digunakan sebagai bahan anti kanker. Daun dapat digunakan untuk menghilangkan fertigo dan migrain (Violet, 2018).

5. Punak (Tetramerista glabra)

Sumber gambar : https://www.inaturalist.org/taxa/348104-Tetramerista-glabra/browse_photos

Pohon Punak merupakan salah satu tanaman khas lahan gambut yang dapat digunakan untuk merehabilitasi hutan rawa gambut. Tinggi pohon ini dapat mencapai 37 m dengan diameter sekitar 150 cm. Pohon Punak banyak tumbuh di tanah rawa gambut seperti di Sumatera, Kaliamntan dan Semenanjung Malaysia. Jenis flora ini juga mampu tumbuh di hutan mangrove, hutan campuran Dipterocarp dan hutan kerangas dengan ketinggian hingga 500 mdpl (Alimah, 2014). Kayu Pohon Punak dapat dimanfaatkan untuk konstruksi bangunan ringan seperti kusen pintu atau jendela, reng, dll.

6. Shorea uliginosa

Sumber : Jurnal Respon Stek Meranti Bakau (Shorea uliginosa Foxw.) Terhadap Pemberian Rootone F dan Berbagai Media Tanam. Wahana Forestra: Jurnal Kehutanan, 13(2), 98-107.

Salah satu family dipterocarpaceae yang dapat tumbuh di lahan gambut adalah Shorea uliginosa. Penyebaran Shorea uliginosa yaitu di Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia. Nama lokal dari Shorea uliginosa adalah Meranti batu, Meranti bauya, dan Meranti rawa. Pohon ini berukuran besar, tinggi mencapai 40 meter dan diameter hingga 90 cm. Pohon ini berbanir papan dengan batang berwarna coklat dengan kulit batang yang mengelupas dan kulit bagian dalam kuning kecoklatan. Pohon ini memiliki aroma resin dan mengeluarkan damar kuning. Daunnya tunggal berseling dan pada bagian permukaan bawah daun kasar berpasir. Bentuk daun ellips hinga oblong, tepi daun rata dan ujungnya meruncing pendek. Kayu dari shorea uliginosa dimanfaatkan menjadi bahan baku mebel, plywood dan juga vinir. Kelas kuat kayu ini masuk ke dalam kelas kuat II dan kelas awet I (Petrus dkk, 2021; Azwin dkk,2018). Selain itu, meranti bakau dapat menghasilkan etanol sebagai sumber energi alternatf yang ramah lingkungan. Namun sayangnya, sekaran ini meranti bakau ternyata sekarang sudah masuk dalam daftar spesies terancam menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) (Endang,2014).

7. Dipterocarpus borneensis

Sumber : https://v3.boldsystems.org/index.php/Taxbrowser_Taxonpage?taxid=497315

Spesies terakhir yang akan dibahas pada vegetasi gambut berasal dari famili Dipterocarpaceae dengan nama spesies Dipterocarpus borneensis. Pohon ini biasa disebut Keruing sindur dan memiliki nama lokal berupa keruing daun halus, awang buah di Kalimantan Timur, tempudau di Kalimantan Selatan, dan juga resak kerangas. Spesies ini tersebar banyak di Sumatera dan Kalimantan. Pohon ini dapat mencapai tinggi hingga 40 m dan diameter 75 cm. batang pohon ini sering dijumpai tidak lurus, berwarna coklat keabuan, dengan kulit batang mengelupas dan bagian dalam berwarna orange. Daunnya tunggal, berbentuk ellips.  Pada tangkai daun terdapat lingkaran dan membengkak bagian ujung tangkainya dan bagian bawah membulat. Selain di hutan rawa gambut, pohon ini menjadi satu satunya family Dipterocarpaceae yang dapat hidup di hutan Kerangas dengan ketinggian mencapai 500 mdpl.

 

 

Disusun oleh:

Audry Nur Haliza, May Lina Yusi Istiqomah, Mentari Rahmadika Gusti, Rayhan Rajoalam Putra P., Rageta Swietenia Magdasari Putri

 

Daftar Pustaka :

Alimah, D. 2014. Studi Karakteristik dan Potensi Punak (Tetramerista glabra) sebagai Jenis Tanaman Rawa Gambut Multiguna. Jurnal Galam, 8, (2) : 1 – 8.

Azwin, A., & Sadjati, E. (2018). Respon Stek Meranti Bakau (Shorea uliginosa Foxw.) Terhadap Pemberian Rootone F dan Berbagai Media Tanam. Wahana Forestra: Jurnal Kehutanan, 13(2), 98-107.

Endang, Sukara. 2014. Kenyataan Manis dan Pahit tentang Meranti Bakau. Diakses dari http://lipi.go.id/berita/single/Kenyataan-Manis-dan-Pahit-tentang-Meranti-Bakau/9687 pada 23 Agustus 2022.

Gazali, M., Nurjanah., Nabila, U., Muhammad, N., dan Zuriat. Skrining Senyawa Bioaktif Daun Perepat sebagai Antioksidan Asal Pesisir Kuala Bubon Aceh Barat. 2020. Jurnal Pengelolaan Hasil Perikanan Indonesia, 23, (2) : 402 – 411.

Hastuti, S., Muin, A., & Thamrin, E. (2014). Keanekaragaman Jenis Vegetasi pada Hutan Rawa Gambut Sekunder dan Belukar Rawa Desa Sungai Pelang Kabupaten Ketapang. Jurnal Hutan Lestari, 2(3).

Petrus, S., Manurung, T. F., & Kartikawati, S. M. Identifikasi Jenis Pohon Family Dipterocarpaceae Pada Hutan Rawa Gambut Di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (Khdtk) Universitas Tanjungpura Kecamatan Mandor Kabupaten Landak Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Lestari, 9(4), 584-598.

Ramdhani, Dimas. 2015. Artikel Mentibu. Diakses pada https://biodiversitywarriors.kehati.or.id/artikel/mentibu/?lang=en  pada 21 Agustus 2022.

Tata HL, Bastoni, Soyuddin M, Mulyoutami E, Perdana A dan Janudianto. 2015. Jelutung

Rawa: Teknik Budidaya dan Prospek Ekonominya. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 62p.

Van Hoeflaken, J., Demies, M., & van der Meer, P. J. 2021.Historical data guides restoration of degraded peat swamp forests in Southeast Asia. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 914, No. 1, p. 012044). IOP Publishing.

 

Violet. 2018. Identifikasi Pemanfaatan Tradisional dan Penapisan Senyawa Fitokimia Ekstrak Daun Bintangur (Callophyllum soulatri Burm F.) Jurnal Enviro Scienteae, 14, (1) : 70 – 76.

Konservasi Biodiversitas Pandan Laut dan Penyu sebagai Bentuk Pelestarian Ekosistem Ekoton Pantai yang Berkelanjutan

Sumber gambar: Canva.com

Konservasi Biodiversitas Pandan Laut dan Penyu sebagai Bentuk Pelestarian Ekosistem Ekoton Pantai yang Berkelanjutan

Ekosistem didefinisikan sebagai interaksi antara komponen yang satu dengan yang lain. Untuk memahami interaksi antara komponen yang satu dengan yang lain, maka perlu memperhatikan bagaimana tumbuhan (komponen biotik) memerlukan komponen abiotik, seperti tanah, air, atau cahaya untuk tumbuh. Perhatikan bagaimana hewan pemakan tumbuhan tersebut menjadi sumber makanan hewan pemakan daging, hewan atau tumbuhan yang telah mati juga mengalami penguraian oleh komponen-komponen biotik yang kemudian bermanfaat bagi tanah. Tanah tersebut bermanfaat bagi pertumbuhan tumbuhan hingga menghasilkan sumber pangan manusia dan hewan. Ekosistem memiliki ciri khas ketergantungan terhadap dua komponen atau lebih, seperti penjelasan diatas yakni ketergantungan komponen biotik dengan abiotik serta biotik antar biotik dengan rantai makanannya (Latumahina, F., Mardiatmoko, G., dan Sahusilawane, J., 2019). Ekosistem diklasifikasikan berdasarkan tempat pembentuk (ekosistem perairan pantai, air tawar, hutan tropis, dan lain-lain). Berdasarkan proses, terdapat ekosistem alami tanpa bantuan manusia dan ekosistem buatan seperti lingkungan konservasi.

Konservasi adalah pelestarian ataupun pemberian perlindungan. Secara harfiah, konservasi bermula dari kata bahasa Inggris yakni Conservation yang artinya pelestarian ataupun perlindungan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konservasi adalah pemeliharaan adan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian. Konservasi adalah sebuah kegiatan yang melibatkan banyak sektor bidang, bukan satu sektor saja (seperti pertanian, perikanan, kehutanan, dan margasatwa) yang secara langsung bertanggung jawab atas pengelolaan yang memastikan bahwa pemanfaatan berkelanjutan serta melindungi proses ekologi dan keragaman genetik yang penting untuk pemeliharaan sumber daya yang bersangkutan dengan sektor lain (seperti kesehatan, energi, industri) (Latumahina, F., 2021).

Istilah keanekaragaman hayati (biodiversity) pertama kali digunakan dalam versi panjangnya (biological diversity) oleh Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah atau kekayaan spesies. Karena terlalu sederhana maka istilah ini menimbulkan perdebatan di kalangan ahli. Dibandingkan dengan istilah awal (biological diversity), biodiversity lebih banyak mendapatkan perhatian dan lebih diterima. Sebagian besar menyatakan keanekaragaman hayati tidak sama dengan jumlah spesies, karena istilah pertama bersifat lebih umum. Jika keanekaragaman hanya terbatas jumlah spesies, maka disepakati bahwa hal tersebut lebih tepat disebut kekayaan spesies (species richness). Keanekaragaman hayati juga tidak sama dengan keanekaragaman spesies yang didefinisikan oleh Pielou sebagai jumlah spesies di suatu area dan jumlah kelimpahannya (Leksono, A. S., 2010).

Biodiversitas adalah kata yang diperkenalkan oleh-pakar-pakar yang bergerak dalam bidang biologi. Kata ini kemudian menjadi lebih bermakna setelah Edward O. Wilson dari Universitas Harvard memperkenalkan buku berjudul Biodiversity, yakni kepanjangan dari biological diversity, pada 1989. Perkembangan selanjutnya, kata ini menjadi sangat populer dan tidak hanya dipakai oleh ahli biologi lingkungan, melainkan juga peneliti, pemerhati lingkungan, penyandang dana, pendidik, ahli sosial, ekonomi, pengambil kebijakan, dan banyak lagi. Biodiversitas merupakan hal yang paling mudah dipahami yaitu “kekayaan hidup di bumi, jutaan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, genetika yang dikandungnya, dan ekosistem yang dibangunnya menjadi lingkungan hidup” (Supriatna, J., 2018). Hal ini perlu dipertimbangkan pada tingkatan spesies dan seluruh organisme bumi, termasuk bakteri, protista, hewan, dan jamur, skala kecil seperti variasi genetik spesies. Terakhir, biodiversitas meliputi komunitas biologi dimana spesies hidup dan interaksi antar tingkatan tersebut (Primack, 2004; Supriatna, J., 2018).

DeLong (1996) dalam Leksono, A. S., (2010), mengajukan definisi yang lebih komprehensif terkait keanekaragaman yakni merupakan atribut (ciri) suatu area yang menyangkut keragaman di dalam dan diantara organisme hidup, kesimpulan organisme, komunitas biotik dan proses biotik, yang masih bersifat alamiah ataupun yang sudah diubah oleh manusia, keanekaragaman hayati dapat diukur dari level genetik beserta identitasnya, jumlah spesies, kumpulan spesies, komunitas biotik, proses biotik dan jumlah (seperti kelimpahan, biomassa, penutupan, dan laju) serta struktur dari level ke level tersebut. Keanekaragaman hayati ini kemudian diklasifikasikan skala organisasi biologisnya yakni mencakup gen, spesies, ekosistem dan proses-proses biologisnya (Leksono, A. S., 2010).

Sumber gambar: Canva.com

Ekoton merupakan gambaran yang paling teat untuk menjelaskan keadaan perbedaan faktor pembatas pada tiap populasi dalam komunitas berdasarkan kelompok spesies yang berbeda-beda, bersifat relatif dan tidak selalu sama, yakni komunitas yang bersifat dinamis, struktur da komposisinya berubah sesuai musim dan faktor lingkungan. Ekoton sendiri merupakan area peralihan antar komunitas yang berdampingan yaitu keadaan spesies secara sedikit demi sedikit menghilang dan diganti dengan spesies lain (Romimohtaro dan Juwana, 2005; Ma’rifat, T. N., 2020).

Ekoton merupakan daerah perbatasan antara dua habitat. Misalnya batas antara hutan dengan padang rumput. Daerah ini mendukung spesies di kedua tipe habitat, baik yang berasal dari hutan maupun padang rumput, sehingga jumlah spesies yang berada di dalamnya lebih banyak. Hal ini terjadi karena adanya efek tepi (edge effect) yaitu adanya peningkatan keanekaragaman di daerah tepi atau perbatasan. Umumnya di daerah ekoton memiliki jumlah spesies yang lebih dari jumlah spesies di dua habitat, karena ekoton menjadi area transisi. Selain mendukung spesies di dua habitat yang berbeda, ekoton juga memiliki spesies tersendiri yang khas sehingga meningkatkan keanekaragaman jenisnya. Situasi seperti ini terjadi baik di ekosistem darat maupun laut (Leksono, A. S., 2010).

Vegetasi pantai merupakan kelompok tumbuhan yang menempati daerah intertidal atau daerah terkena pasang dan surut air laut hingga di dalam pulau atau daratan dimana terdapat pengaruh dari laut (Noor, dkk, 1999; Kumala, K. A., Pribadi, R., dan Ario, R., 2021). Vegetasi pantai di pulau kecil memiliki susunan sederhana, hanya ditemukan sedikit spesies. Kondisi vegetasi pantai dapat diketahui dengan mengkaji struktur komposisi dan tutupan kanopi. Tutupan kanopi merupakan faktor pembatas kehidupan tumbuhan, penghalang atau pembatas penetrasi cahaya masuk ke dalam ekosistem tumbuhan. Persentase tutupan kanopi penting untuk dikaji karena menjadi indikator dalam mengetahui kondisi, pertumbuhan ataupun kerusakan serta laju degradasi vegetasi pantai secara berkala (Schaduw, 2019; Kumala, K. A., dkk, 2021). Untuk mengetahui luasan tutupan kanopi ekosistem dilakukan dengan metode hemispherical photography.

Sumber gambar: Canva.com

Penyu (Sea turtle) adalah satwa peninggalan dari zaman purba 110 juta tahun silam, penyu berhasil melewati zaman purba sampai saat ini masih hidup di dunia termasuk di Aceh. Kehidupan penyu mulai terancam punah akibat gangguan-gangguan manusia, predator, lingkungan maupun penyu itu sendiri (Juliono, M. R., 2017). Seekor penyu betina menghasilkan ratusan butir telur, hanya belasan tukik (bayi penyu) berhasil sampai ke laut kembali dan tumbuh dewasa. Hal itu tidak memperhitungkan faktor perburuan manusia untuk cenderamata dan pemangsa alaminya ketika tukik menyentuh lautan.

Berdasarkan kajian pustaka diatas, maka dapat dibahas kembali bahwa penyu merupakan satwa langka yang bukan hanya milik negara tertentu saja, tetapi menjadi milik dunia dan semua bangsa di dunia berkepentingan menjaga kelestariannya. Dengan ini diperlukan upaya intensif penyelamatan hewan yang mulai langka, harus dilestarikan oleh instansi berwenang, mengajak masyarakat sekitar habitatnya menjaga dan mengurangi pengambilan telur-telurnya. Masyarakat memang sangat sulit dilarang mengambil telur penyu karena menjadi sumber mata pencahariannya. Mengajak mengurangi konsumsi penyu merupakan upaya pelestarian penyu. Penyu berperan dalam stabilitas habitat lamun dan menyebarkan nutrisi di perairan, menunjang kelimpahan keragaman ikan yang menjadi sumber protein manusia. Penyu adalah predator penting dalam jaringan dan rantai makanan di laut (Juliono, M. R., 2017).

Kebermanfaatan penyu perlu dijaga seiring pelestarian dan pembangunan ekoton dengan vegetasi dominan pandan laut sebagai habitat bertelurnya. Menurut Pakar penyu Kuala Aceh, dalam laporannya, Rahmad menyatakan ±20 tahun lalu, penyu bertelur hingga 10 induk, kini tinggal 2‒3 induk. Dikhawatirkan 5−10 tahun mendatang kawasan pantai tidak akan disinggahi penyu. Sedangkan penyu hidup di habitat laut sebagai habitat utama keseluruhan hidupnya dan darat untuk waktu bertelur serta penetasannya. Karakteristik habitat darat peneluran (nesting ground) yakni butiran pasir mudah digali dan aman untuk penetasan. Warna pasir peneluran adalah keputih-putihan dan agak gelap (Nuitja, 1992; Juliono, M. R., 2017). Pantai berpasir tebal berlatar belakang hutan lebat dari spesies pandan (Pandanus tectorius), memberi naluri penyu bertelur. Menurut Nuitja (1992) dalam Juliono, M. R., (2017) penyu hijau menyukai sarang di bawah naungan pohon pandan laut, karena perakarannya meningkatkan kelembapan, menstabilkan pasir, dan memberi rasa aman saat penggalian lubang sarang penyu.

Konservasi penyu guna melestarikan biodiversitas yang ada di ekosistem ekoton perlu diimbangi dengan konservasi habitat penyu itu sendiri yaitu keberadaan pandan laut. Pandan laut dapat memberi keamanan bagi induk penyu saat menelur seperti menghindari predator pemakan telur penyu karena daun dari pandan laut yang menggerombol rapat dan terdapat duri kecil pada tepi daunnya. Masyarakat harus sadar betapa pentingnya peran penyu dalam ekosistem. Jika habitat terjaga maka populasi penyu juga akan terlindungi.

Disusun oleh:

Audry Nur Haliza, May Lina Yusi Istiqomah, Mentari Rahmadika Gusti, Rayhan Rajoalam Putra P., Rageta Swietenia Magdasari Putri

Kata Kunci:

Ekosistem, Konservasi, Biodiversitas, Ekoton, Vegetasi Pantai, Pandan Laut, dan Penyu.

Daftar Pustaka

Juliono, M. Ridhwan. (2017). Penyu dan Usaha Pelestariannya. Jurnal Sains dan Aplikasi, Vol. V, No. 1 | ISSN : 2337 – 9952, 49. Retrieved 05 20, 2022, from http://ojs.serambimekkah.ac.id/serambi-saintia/article/view/277

Kumala, K. A., Pribadi, R., dan Ario, R. (2021). Hemispherical Photography Vegetasi Pantai di Perairan Pulau Sintok, Taman Nasional Karimunjawa. Journal of Marine Research, Vol 10, No.2 | EISSN: 2407-7690, 314. Retrieved 05 20, 2022, from https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jmr

Latumahina, F. (2021). Modul Pembelajaran Mata Kuliah Ekologi dan Konservasi Hutan Pulau Kecil Topik : Suksesi Hutan dan Kearifan Lokal Masyarakat di Indonesia. Bandung: Penerbit Adab. Retrieved 05 20, 2022, from https://www.google.co.id/books/edition/Modul_Pembelajaran_Mata_Kuliah_Ekologi_d/cUwyEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=0

Latumahina, F., Mardiatmoko, G., dan Sahusilawane, J. (2019). Respon Semut Terhadap Kerusakan Ekosistem Hutan di Pulau Kecil. Bandung : Media Akselerasi. Retrieved 05 20, 2022, from https://www.google.co.id/books/edition/Respon_Semut_Terhadap_Kerusakan_Ekosiste/DpipDwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=ekosistem+adalah&pg=PA23&printsec=frontcover

Leksono, Amien S. (2010). Keanekaragaman Hayati. Malang: Universitas Brawijaya Press. Retrieved 05 20, 2022, from https://www.google.co.id/books/edition/Keanekaragaman_Hayati/6JO0DwAAQBAJ?hl=id&gbpv=0

Ma’rifat, T. N., dkk. (2020). Dasar-Dasar Perikanan dan Kelautan. Malang: Universitas Brawijaya Press. Retrieved 05 20, 2022, from https://www.google.co.id/books/edition/Dasar_Dasar_Perikanan_dan_Kelautan/XEADEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=0

Supriatna, Jatna. (2018). Konservasi Biodiversitas: Teori dan Praktik di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Retrieved 05 20, 2022, from https://books.google.co.id/books?id=7RJpDwAAQBAJ&dq=biodiversitas+adalah&lr=&hl=id&source=gbs_navlinks_s

Manfaat Rehabilitasi Kawasan Pantai Berpasir

 

Kawasan pantai berpasir merupakan salah satu penyusun wilayah pesisir yang didominasi oleh hamparan atau dataran pasir berupa pasir hitam, abu-abu, atau putih (Sugiarto & Ekariyono, 1996). Kawasan pantai berpasir memiliki potensi dalam mendukung kehidupan masyarakat sekitar seperti wisata alam, tambang, perikanan, dan pertanian. Namun, potensi tersebut masih belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu penyebabnya yaitu hambatan karakteristik lahan yang tergolong marginal (Sumardi, 2009).

Kawasan pantai berpasir yang telah terdegradasi dan tidak direhabilitasi dapat menjadi daerah yang rawan terhadap berbagai permasalahan lingkungan dan bencana alam seperti tsunami (Budiadi, dkk., 2016). Hal ini disebabkan karena tidak adanya green belt yang mampu menjadi penghalang angin pantai dan juga ombak. Green belt dapat menjadi salah satu metode mitigasi bencana di kawasan pantai berpasir. Green belt merupakan salah satu upaya untuk melindungi sabuk pantai dengan penanaman di sepanjang pantai yang memiliki fungsi hayati, fisik, dan kimia (Hilmi dan Parengrengi, 2012).

Penanaman pohon di wilayah pantai berpasir didasarkan pada jenis tanaman yang sesuai dan dapat tumbuh di lahan pantai berpasir serta tahan terhadap angin kencang dan kondisi tanah yang marginal (Nurahmah dkk., 2007). Salah satu spesies tanaman yang mampu tumbuh dengan baik di kawasan tersebut yaitu cemara udang (Casuarina equisetifolia). Cemara udang (Casuarina equisetifolia) berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah karena bintil akar tanaman cemara udang memiliki frankia yang mampu memfiksasi nitrogen di udara sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Tanah yang subur dapat digunakan untuk kegiatan pertanian, sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat.

Pemapanan tegakan awal cemara udang dapat memperbaiki kualitas tapak yang mendukung pertumbuhan jenis-jenis vegetasi berikutnya dan melindungi areal budidaya tanaman semusim yang ada di belakang tegakan (Sumardi, 2009). Terbentuknya tegakan hutan pantai yang dapat memberikan beberapa manfaat seperti mengurangi abrasi pantai, mengurangi erosi pasir pantai, melindungi ekosistem darat dari terpaan angin, menstabilkan lahan akibat pengikatan pasir pada permukaan oleh jalinan perakaran vegetasi, mempercepat pembentukan tanah dan habitat baru bagi flora dan fauna, serta memperbaiki iklim mikro (Sumardi, 2009). Kegiatan rehabilitasi di lahan pantai berpasir sangat penting untuk dilakukan karena dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Berikut ini beberapa manfaat keberhasilan rehabilitasi dengan terbentuknya ekosistem hutan pantai baik bagi lingkungan maupun masyarakat:

  • Perbaikan kesuburan tanah

Penanaman cemara udang berdampak positif dalam meningkatkan kandungan unsur hara di bawah tegakan (Harjadi dkk., 2013). Nilai N pada tegakan cemara udang lebih tinggi dibandingkan pada pasir terbuka. Hal ini dikarenakan adanya frankia  di bintil akar tanaman cemara udang dapat mengikat NH3, sehingga dapat meningkatkan ketersediaan N. Selain itu, bahan organik yang sudah terdekomposisi akan mengalami proses mineralisasi N organik sehingga dapat meningkatkan ketersediaan N di dalam tanah (Harjadi dkk., 2013).

  • Perbaikan iklim mikro

Tegakan cemara udang di lahan pantai berpasir mampu memperbaiki kondisi iklim mikro dengan mengurangi kecepatan angin, mengurangi kadar garam yang terbawa angin, meningkatkan kelembaban tanah dan udara, menurunkan suhu tanah dan udara, serta mengurangi intensitas cahaya matahari (Winarni dkk., 2012).

  • Peningkatan pendapatan masyarakat

Kawasan pantai berpasir yang memiliki ekosistem hutan pantai mampu menciptakan iklim mikro yang lebih baik dan mengurangi salinitas tanah di bagian belakang hutan pantai. Sehingga lahan tersebut dapat digunakan untuk kegiatan pertanian yang menjadi sumber penghasilan masyarakat melalui pengembangan usaha tani tanaman pangan dan hortikultura. Hal ini dikarenakan tegakan hutan pantai yang sudah terbentuk dapat berfungsi sebagai wind break (pemecah angin) bagi tanaman semusim (Budiadi dkk., 2016).

  • Peningkatan jumlah wisatawan

Terciptanya iklim mikro karena adanya tegakan cemara udang di pantai membuat udara di sekitar pantai menjadi lebih sejuk dan nyaman. Iklim mikro yang sejuk dan rindangnya tajuk cemara udang di pantai menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Adanya kunjungan wisatawan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat melalui penyediaan jual beli barang dan jasa di kawasan wisata.

  • Pembentukan Bioshield sepanjang garis pantai

Bioshield merupakan pelindung berupa tanaman yang bermanfaat untuk mitigasi bencana alam di kawasan pesisir pantai (Budiadi dkk., 2016). Cemara udang dipilih sebagai bioshield dengan pertimbangan bahwa tanaman ini memiliki sifat pionir, tahan terhadap angin kencang dan bersalinitas cukup tinggi, tidak menggugurkan daun, serta mampu tumbuh di lahan pantai berpasir yang marginal.

  • Pengurangan risiko tsunami

Terbentuknya hutan pantai mampu meredam energi gelombang tsunami sehingga limpasan energi gelombang ke arah daratan dapat diminimalkan. Hal ini dapat mengurangi risiko kerusakan yang ditimbulkan akibat terjadinya tsunami.

 

Oleh : Aisyah Nur Bayti

Editor : Galang Rama Asyari

 

DAFTAR PUSTAKA

Budiadi, H. H. Nurjanto., S. Hardiwinoto, dan E. Primananda. 2016. Strategi Pemilihan Jenis Tanaman untuk Mendukung Rehabilitasi Pesisir Berdasarkan Karakteristik Fisik Makro di Muara Sungai Progo. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 23(3): 349 – 359.

Hilmi, E., dan Parengrengi. 2012. Strategi Konservasi Mangrove dalam Mengurangi Dampak Bencana Pesisir. Jurnal Pembangunan Pedesaan. 12(2): 70-79.

Sugiarto dan W. Ekariyono. 1996. Penghijauan Pantai. Penebar Swadaya. Jakarta

Sumardi. 2009. Prinsip Silvikultur Reforestasi dalam Rehabilitasi Formasi Gumuk Pasir di Kawasan Pantai Kebumen. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur Rehabilitasi Lahan : Pengembangan Strategi untuk Mengendalikan Tingginya Laju Degradasi Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah mada. Yogyakarta.

Nurahmah, Y., M.Y. Mile, dan E. Suhaendah. 2007. Teknik Perbanyakan Tanaman Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) pada Media Pasir. Info Teknis. 5(1): 1 – 7.

Harjadi, B, P.D. Susanti, dan A. Miardini. 2013. Kajian Unsur Hara Tanah pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) di Pantai Berpasir Petanahan Kebumen. Prosiding Seminar Nasional hasil Penelitian teknologi Pengelolaan DAS.

Winarni, W.W., W.D. Atmanto, dan S. Danarto. 2012. Peran Wind Barrier Cemara Udang (Casuarina equisetifolia var. incana) dalam Agroforestri Pesisir. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri III. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Fakultas Kehutanan UGM, Indonesia Networks for Agroforestry Education (INAFE). Yogyakarta.

Rekayasa Silvikultur dalam Rehabilitasi di Wilayah Pantai Berpasir

 

Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di dunia memiliki banyak wilayah daratan yang berbatasan langsung dengan lautan. Pertemuan antara dua jenis wilayah tersebut disebut dengan garis pantai (Sudarsono, 2011). Pantai adalah suatu wilayah yang meluas dari  titik terendah air laut ketika surut hingga ke arah daratan sampai mencapai batas efektif dari gelombang yang biasa didominasi oleh pasir (Sutikno, 1993 dalam Opa, 2011). Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2019), Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan garis pantai terpanjang di dunia sepanjang 95.181 km. Luasnya wilayah pantai berpasir Indonesia membuat kawasan tersebut penting untuk diperhatikan karena menyimpan potensi yang besar. Namun demikian, wilayah pantai berpasir yang terbentuk dari tanah mineral muda apabila tidak segera dikelola dapat menyebabkan kerusakan permanen sehingga semakin rentan terhadap ancaman bencana alam (Harjadi dan Miardi, 2013). Selain itu, kawasan tersebut termasuk lahan marginal yang sukar diolah dan dimanfaatkan. Kegiatan untuk memulihkan kondisi dan daya dukung lahan pada kawasan pesisir diperlukan agar dapat mengurangi kerusakan akibat bencana alam, menjaga kelestarian lingkungan, serta meningkatkan produktivitas lahan.

Rehabilitasi wilayah pantai berpasir merupakan upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi pantai yang sebelumnya telah mengalami kerusakan melalui kegiatan revegetasi dengan jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat (Wibisono, 2015). Kegiatan rehabilitasi wilayah pantai berpasir yang mempertimbangkan banyak aspek tentu tidak mudah dan diperlukan formulasi serta strategi yang sesuai dengan keadaan lapangan untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi tersebut. Langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan penerapan rekayasa silvikultur. Rekayasa silvikultur merupakan suatu teknik atau metode yang dilakukan pada suatu lingkungan tempat tumbuh agar suatu pohon dapat tumbuh dengan layak (Danarto, 2021). Beberapa teknik rekayasa silvikultur yang dapat diterapkan di kawasan pesisir pantai antara lain :

  • Observasi Lapangan

Sebelum menerapkan rekayasa silvikultur, sangat penting untuk mengetahui kondisi lapangan pada lokasi yang akan direhabilitasi. Terdapat banyak faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberhasilan rehabilitasi seperti kondisi fisik lahan, keadaan lingkungan, kesuburan lahan, dan sumber daya yang ada untuk melakukan rehabilitasi. Kondisi fisik lahan pantai berpasir seperti porositas tinggi dan adanya suhu yang tinggi menyebabkan air mudah hilang. Selain itu, wilayah pantai berpasir memiliki kandungan unsur hara tersedia yang rendah dan keadaan lingkungan bersalinitas tinggi. Tanaman yang tumbuh pada salinitas tinggi akan mengalami peningkatan tekanan osmotik yang dapat menghambat penyerapan air dan unsur hara. Oleh karena itu, tidak semua jenis vegetasi mampu tumbuh dengan baik pada lahan marginal pesisir pantai (Follet dkk., 1981). 

 

  • Pemilihan Spesies Tertentu

Menurut Peraturan Menteri LHK No. 105 Th. 2018, rehabilitasi lahan wilayah pantai terdiri dari 2 macam yakni rehabilitasi wilayah mangrove dan sempadan pantai. Diantara dua wilayah tersebut terdapat perbedaan kondisi lahan dan spesies tumbuhannya. Wilayah mangrove dengan kondisi lahan pasang surut biasanya cocok untuk spesies Bruguiera, Avicennia, Rhizophora, Sonneratia  atau Nipah. Sementara itu, spesies tanaman yang digunakan untuk rehabilitasi wilayah sempadan pantai yang berpasir berbeda dengan wilayah mangrove. Pada wilayah pantai berpasir spesies yang cocok untuk dikembangan diantaranya adalah cemara laut, ketapang, waru, nyamplung, nangka, dan kelapa. Karakteristik spesies yang dapat tumbuh dengan baik di wilayah tersebut yakni mampu tumbuh di pasir dengan ketersediaan air rendah ketika kemarau, mampu hidup di tanah miskin humus atau unsur hara, dan toleran terhadap salinitas tinggi (Budiadi dkk., 2019). 

Cemara laut menjadi salah satu spesies terbaik untuk keberhasilan rehabilitasi wilayah pantai berpasir dengan beragam faktor pembatas karena mampu beradaptasi terhadap kondisi tapak marjinal yang miskin unsur hara, tahan terhadap salinitas tinggi, mampu bertahan hidup pada kekeringan, memiliki perakaran yang dalam, mampu memecah angin pantai (Nurjanto dkk., 2009). Pemilihan spesies yang tepat pada rehabilitasi wilayah pantai berpasir dapat menjadi benteng pertahanan alami (bioshield) untuk mencegah bahaya abrasi maupun tsunami. Selain itu, spesies tersebut dapat menjadi tanaman pionir karena berfungsi untuk meningkatkan kelembaban tanah dan kesuburan tanah sehingga kondisi biofisik lahan menjadi lebih baik. Apabila kondisi biofisik lahan sudah lebih baik maka upaya penanaman jenis tanaman lain dapat dilakukan sehingga meningkatkan produktivitas lahan.

  • Press Block

 

Gambar 1. Pressblock untuk Rehabilitasi Pesisir Pantai

Press block merupakan tempat atau media yang mendukung tumbuhnya tanaman pada suatu daerah yang kritis atau marginal (Putra dkk., 2019).  Press block berguna untuk mengurangi panas pada pasir pantai yang suhunya bisa mencapai 76ºC ketika siang hari dan membantu mengikat air karena tekstur pasir yang mudah kehilangan air (Danarto, 2021). Bahan untuk membuat press block dapat berasal dari pupuk kandang atau bahan lain yang dapat menyediakan nutrisi serta mengikat air. Bahan tersebut kemudian dicetak sebelum dilakukan penanaman dan press block yang sudah jadi dibawa ke lokasi rehabilitasi. Ketika ketersediaan nutrisi mencukupi bagi tanaman dan air tidak cepat hilang maka tanaman yang digunakan untuk merehabilitasi kawasan pesisir bisa tumbuh dengan baik dan meminimalkan resiko kegagalan penanaman.

 

  • Pressblock Lapang atau Penambahan Biomassa Secara Langsung

 

Gamabr 2. Pressblock lapang

Berbeda dengan press block biasa yang harus dicetak terlebih dahulu lalu dibawa ke lapangan sehingga membutuhkan biaya yang lebih. Press block lapang dilakukan pencetakan langsung di lubang tanam (Danarto, 2021). Cara pembuatan press block lapang yaitu sebelum dilakukan penanaman untuk rehabilitasi, letak tanaman diatur terlebih dahulu. Setelah itu, bahan press block dimasukkan ke dalam cetakan ember dengan botol yang diletakkan di bagian tengah. Cetakan tersebut dipadatkan sehingga botol tersebut dapat digunakan sebagai ruang untuk menanam bibit pohon untuk rehabilitasi. 

Keunggulan  press block lapang dibandingkan dengan press block biasa  yaitu lebih murah dan lebih praktis karena tidak perlu pencetakan secara terpisah sebelum penanaman. Selain itu, tidak perlu sumber daya untuk keperluan transportasi press block sebab pembuatannya langsung di lokasi penanaman sehingga menghemat tenaga dan biaya. Pembuatan press block  di lapangan membuat tanah berpasir mendapat perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Bahan organik yang terkandung di dalamnya menjadi sumber nitrogen tanah sehingga tanah semakin subur (Simanungkalit dkk., 2006). 

 

Oleh : Sya’bana Farhan Tsani

Editor : Galang Rama Asyari

 

Sumber:

Budiadi, B., H.H. Nurjanto, S. Hardiwinoto, dan E. Primananda. 2016. Strategi Pemilihan Jenis Tanaman untuk Mendukung Rehabilitasi Pesisir Berdasarkan Karakteristik Fisik Makro di Muara Sungai Progo (Strategy of Plant-species Selection for Coastal Rehabilition Based on Macro-physical Characteristics in Progo Estuary). Jurnal Manusia dan Lingkungan. 23(3) : 349-359.

Danarto, S. 2021. Materi Kuliah Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Model Reklamasi Hutan dan Lahan Berbasis Peningkatan Daya Dukung Produktivitas Lahan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Follet, R.H., L.S. Murphy, dan R.L. Doname. 1981. Reclamation and management of saline and sodic soils. Fertilizer and Soil Amendments.1(1) : 424-457.

Harjadi, B., dan A. Miardini. 2013. Penanaman Cemara Laut (Casuarina equisetifolia Linn) sebagai Upaya Pencegahan Abrasi di Pantai Berpasir. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7 (5).

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2019. Laut Masa Depan Bangsa, Mari Kita Jaga Bersama. Diakses dari https://kkp.go.id/artikel/12993-laut-masa-depan-bangsa- mari-jaga-bersama pada tanggal 21 September 2021 pukul 15.41 WIB.

Nurjanto, H.H., Suhardi, dan S. Djulianto. 2009. Tanggapan Semai Cemara Udang (Casuarina equisetifolia var. Incana) Terhadap Cekaman Salinitas dan Frekuensi Penyiraman Padamedia Pasir Pantai. Prosiding seminar nasional Silvikultur Rehabilitasi Lahan: Pengembangan Strategi untuk Mengendalikan Tingginya Laju Degradasi Hutan

Opa, E.T. 2011. Perubahan Garis Pantai Desa Bentenan Kecamatan Pusomaen, Minahasa Tenggara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. 7(3) : 109 – 114. 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P.105/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung, Pemberian Insentif, Serta Pembinaan dan Pengendalian Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.

Putra, D.P.P.S.P., M.P. Bimantio, dan Y. Yuslinawari. 2019. Perancangan Press Block Medium (Pbm) Dengan Macam Bentuk Nutrisi Sebagai Solusi Media Tanam Pada Lahan Marginal. Prosiding Seminar Instiper. Instiper. Yogyakarta.

Simanungkalit, R.D.M., D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2006. Pupuk organik dan pupuk hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Sudarsono, B. 2011. Inventarisasi Perubahan Wilayah Pantai dengan Metode Penginderaan Jauh (Studi kasus Kota Semarang). Teknik. 32(2) : 162-169.

Wibisono, I.T.C. 2015. Modul Rehabilitasi Pantai Berbasis Masyarakat; Suatu Upaya Dalam Pengurangan Resiko Bencana. Wetlands International Indonesia – Palang Merah Indonesia. Bogor.

Kendala Rehabilitasi Wilayah Pantai Berpasir

 

 

Kawasan pantai berpasir merupakan salah satu penyusun wilayah pesisir yang didominasi oleh hamparan atau dataran pasir berupa pasir hitam, abu-abu, atau putih (Sugiarto dan Ekariyono, 1996). Wilayah pantai berpasir termasuk dalam lahan marginal dan telah diupayakan untuk direhabilitasi. Namun upaya tersebut seringkali menemui berbagai kendala akibat kondisi lahan yang cukup ekstrim seperti:

  1. Kendala kondisi biofisik lahan

          Rendahnya kadar lengas dan ketersediaan air tawar

Sifat  tanah pasiran sangat berpengaruh pada status dan distribusi air sehingga berpengaruh pada sistem perakaran (Oliver  dan  Smettem, 2002). Dalam kaitannya dengan menyimpan air, tanah pasiran mempunyai daya pengikatan terhadap lengas tanah yang relatif rendah karena didominasi oleh pori-pori makro. Oleh karena itu, air yang jatuh ke tanah akan segera mengalami perkolasi dan air kapiler akan mudah lepas karena evaporasi. Ketersediaan air tawar bergantung pada frekuensi dan volume air sistem sungai atau irigasi dari darat serta tingkat evaporasi ke atmosfer. Bila suplai air tawar tidak tersedia, hal ini akan menyebabkan kadar garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrim sehingga mengancam kelangsungan hidup tanaman (Dahuri, 2003).

          Rendahnya kadar unsur hara tersedia

Porositas yang tinggi membuat air yang mengangkut unsur hara sangat mudah merembes jauh ke dalam tanah. Akibatnya unsur hara yang dibutuhkan tanaman tidak terjangkau oleh akar. Selain itu, unsur hara mudah hilang melalui pencucian dan penguapan (Sumardi, 2009).

          Temperatur tinggi

Lahan pantai berpasir memiliki suhu tanah yang sangat tinggi di siang hari (Yuwono, 2009). Suhu tanah yang tinggi ditambah dengan kondisi lahan pasir yang bersifat kurang mampu menyimpan air dan miskin unsur hara dapat mengakibatkan stres pertumbuhan tanaman.

          Salinitas tinggi

Angin dengan kecepatan tinggi akan membawa partikel-partikel kecil air garam dari laut. Air garam akan meresap ke dalam tunas karena abrasi mekanis dan ion klorida terkumpul pada ujung ranting daun sampai kadar yang merugikan. Hal ini dapat mengakibatkan meristem ujung daun dan tajuk yang menghadap ke laut menjadi mati, sedangkan tajuk yang menghadap daratan dapat berkembang (Ewussie, 1990). Keadaan ini menyebabkan hanya tanaman jenis tertentu yang mampu tumbuh dengan baik pada lahan yang memiliki kandungan salinitas tinggi (Sumardi, 1986).

          Kondisi tanah tidak stabil dan selalu berubah

Menurut Bradshaw dan Chadwick (1980), pantai berpasir secara alami terbuka dan tidak stabil, berputar balik karena kombinasi pengaruh angin dan ombak. Selain itu, kohesi dan konsistensi pasir sangat kecil sehingga mudah terkikis oleh air atau angin. Pantai berpasir tidak menyediakan substrat tetap untuk melekat organisme, karena aksi angin atau gelombang secara terus menerus menggerakan partikel substrat. Hal tersebut dapat mengakibatkan tumbangnya bibit yang baru ditanam karena belum memiliki perakaran yang kuat. 

          Pemilihan Jenis Tanaman

Agar tercapai keberhasilan rehabilitasi wilayah pesisir, maka perlu diperhatikan kondisi ekologi, status tapak, kondisi ekonomi, dan kondisi sosial budayanya (Budiadi dkk., 2016). Karakteristik tapak pada lahan pasir kurang mendukung untuk tumbuhnya suatu vegetasi (Sumardi, 2009). Selain itu, intensitas  sinar  matahari  dan  suhu  yang  tinggi,  serta  angin yang berhembus membawa uap garam yang menyebabkan kesulitan dalam memilih jenis tanaman. Pada lahan pantai berpasir, rehabilitasi dilakukan menggunakan cemara udang, karena mampu memecah angin, beradaptasi terhadap tapak marginal, tahan terhadap salinitas dan kekeringan, berperakaran dalam, serta membentuk vegetasi yang rapat dan tinggi (Nurjanto dkk., 2009).

 

  1. Kendala Sosial Ekonomi

          Partisipasi Masyarakat

Masyarakat sekitar kawasan rehabilitasi memiliki peranan yang penting dalam membangun, menjaga, dan mengelola kawasan tersebut. Proses rehabilitasi memerlukan waktu relatif lama, sehingga partisipasi masyarakat secara aktif dapat memperbesar peluang keberhasilan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan.

          Pemanfaatan Ganda

Wilayah pesisir seringkali dimanfaatkan untuk pertanian, kehutanan, perikanan, rekreasi, pemukiman, dan lain sebagainya. Konsep pemanfaatan ganda perlu memperhatikan keterpaduan, keserasian, dan juga penentuan batas kegiatan yang jelas (Waluya, 2008). Dengan demikian antar kegiatan dalam jangka panjang dapat diselaraskan untuk menunjang keberhasilan program rehabilitasi.

 

Oleh : Emi Nur Khasanah

 

Daftar Pustaka

Budiadi, H. H. Nurjanto, S. Hardiwinoto, dan E. Primananda. 2016. Strategi Pemilihan Jenis Tanaman untuk Mendukung Rehabilitasi Pesisir Berdasarkan Karakteristik Fisik Makro di Muara Sungai Progo. Jurnal Manusia dan Lingkungan 23 (3) : 349-359.

Bradshaw, A.D. dan M.J. Chadwick. 1980. The Restoration of Land “The Ecological Reclamation of Derelict and Degraded Land”. Blackwell. British.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati Laut, Aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Membicarakan Alam Tropika Afrika, Asia, Pasifik, dan Dunia Baru. ITB. Bandung.

Nurjanto, H.H., Suhardi, dan S. Djulianto. 2009. Tanggapan Semai Cemara Udang (Casuarina equisetifolia var. Incana) Terhadap Cekaman Salinitas dan Frekuensi Penyiraman Pada Media Pasir Pantai. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur Rehabilitasi Lahan: Pengembangan Strategi untuk Mengendalikan Tingginya Laju Degradasi Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta

Oliver,  Y.M., dan K.R.J.  Smethem.  2002.  Predicting  water balance  in  a  sandy  soil:  Model  sensitivity  to  the variability  of  measured  and  near  saturated  hydraulic properties. Australian Soil Res. 43 : 87-96

Sugiarto dan W. Ekariyono. 1996. Penghijauan Pantai. Penebar Swadaya. Jakarta

Sumardi. 1986. Peranan Mikorisa dalam Budidaya Tanaman Kehutanan. Seminar dan Reuni IV Fakultas Kehutanan UGM. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Sumardi. 2009. Prinsip Silvikultur Reforestasi dalam Rehabilitasi Formasi Gumuk Pasir di kawasan Pantai Kebumen. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur Rehabilitasi Lahan: Pengembangan Strategi untuk Mengendalikan Tingginya Laju Degradasi Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Waluya, B. 2008. Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk Tk SMA. UPI. Bandung

Yuwono, N.W. 2009. Membangun Kesuburan Tanah di Lahan Marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 9 (2) : 137-141

Rekayasa Silvikultur Untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang

Sumber: BP2LHK, 2019

 

Tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas pertambangan di Indonesia tentunya memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas pertambangan yang menimbulkan terbentuknya lahan bekas tambang yang mengalami kerusakan baik kerusakan dalam aspek fisik maupun kimia. Menurut Hirfan (2016), secara fisik lahan telah mengalami kerusakan karena kedalaman efektif tanah menjadi dangkal. Selain itu di area bekas tambang juga terdapat berbagai lapisan yang menghambat pertumbuhan tanaman, contohnya yaitu pasir, kerikil, serta lapisan sisa-sisa tailing (Hirfan, 2016). Pada kondisi yang parah, dapat terlihat lapisan cadas dan bentuk permukaan tanah bekas tambang umumnya sangat ekstrim karena perbedaan kemiringan tanah yang sangat menonjol pada jarak pendek (Hirfan, 2016). Sementara itu, dilihat dari aspek kimianya, unsur hara tanah pada lahan bekas tambang telah hilang sehingga lahan tidak dapat lagi memberikan dukungan terhadap penyediaan unsur hara bagi tanaman (Hirfan, 2016).

Salah satu cara untuk menangani lahan bekas tambang yaitu dengan kegiatan reklamasi. Menurut UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kegiatan reklamasi hutan dan lahan merupakan usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Kegiatan reklamasi lahan bukan merupakan pekerjaan yang mudah karena memiliki banyak faktor pembatas. Selain itu, kegiatan tersebut juga melibatkan banyak aspek sehingga memerlukan formulasi dan strategi yang tepat. Agar mencapai keberhasilan reklamasi hutan dan lahan, salah satu strategi yang perlu diterapkan yaitu rekayasa silvikultur. Rekayasa silvikultur merupakan suatu kombinasi teknik/metode dalam penanganan suatu tapak tempat tumbuh sehingga suatu jenis pohon dapat tumbuh secara layak atau suitable (Danarto, 2021). Kunci keberhasilan dalam penerapan rekayasa silvikultur yaitu mempunyai pengetahuan kondisi tapak karena setiap tapak dengan kondisi berbeda memerlukan rekayasa silvikultur yang berbeda. Menurut Danarto (2021), terdapat beberapa rekayasa silvikultur yang dapat diterapkan antara lain:

1. Penambahan Biomassa Secara Langsung

Kekurangan biomassa merupakan salah satu ciri khas lahan bekas tambang (Asmarhansyah, 2016). Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menambahkan biomassa guna memacu perkembangan mikroorganisme tanah, menyediakan nutrisi sebagai modal awal pertumbuhan tanaman, serta mengubah iklim mikro. Penambahan biomassa merupakan teknik paling sederhana yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan ember yang dilubangi kemudian biomassa diletakkan pada ember tersebut. Selanjutnya tanaman dimasukkan pada biomassa tersebut dan ember dapat dilepas ketika tanaman telah ditanam.

Gambar 1. Penambahan Biomassa menggunakan Ember (Sumber: Danarto, 2021)

 

2. Fly Potting

Fly Potting merupakan pengembangan dari teknik penambahan biomassa langsung. Teknik ini dapat diterapkan di area bekas pertambangan yang tergenang karena kesalahan proses perataan lahan bekas tambang. Kegiatan pemerataan lahan bekas tambang pada area pertambangan terbuka seperti tambang timah, tambang emas, dan tambang batu bara biasanya menyebabkan terbentuknya genangan dengan tinggi setengah meter saat terjadi hujan. Kondisi tersebut akan menyebabkan lahan menjadi sulit untuk ditanami. Fly potting dilakukan dengan tujuan untuk mengatasi genangan dan meningkatkan jumlah biomassa untuk nutrisi tanaman. Pembuatan fly potting dilakukan dengan memasang kotak berlubang berbentuk persegi berukuran 60 x 60 cm2   atau 1 x 1  m2 . Selanjutnya, substrat pertumbuhan berupa kompos atau top soil dimasukkan ke kotakan tersebut dan tanaman dapat ditanam di dalamnya. Setelah itu, kotak dapat dilepas. Prinsip dari teknik ini yaitu dengan menaikkan substrat tempat tumbuh tanaman untuk menghindari genangan air.

Gambar 2. Pembuatan Fly Potting (sumber : Danarto, 2021)

 

3. Kompos Blok

Teknik kompos blok digunakan untuk area bekas tambang yang mudah tergerus air sehingga tanaman dapat mudah kehilangan substrat media tumbuh serta kehilangan nutrisinya, contohnya pada lahan bekas tambang yang kelas teksturnya didominasi oleh pasir yaitu bekas tambang batu bara dan tambang timah. Adapun tekniknya yaitu dengan membuat blok yang berasal dari kompos. Kompos blok merupakan kompos yang dibuat menjadi berbentuk kubus atau tabung dan di bagian tengahnya diberi lubang untuk meletakkan bibit.

Dilansir dari website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019), Marinus selaku Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru menyampaikan bahwa langkah pembuatan kompos blok diawali dengan mencacah kompos menggunakan mesin pencacah kompos (choper). Hasil cacahan tersebut kemudian dicampur dengan kotoran hewan dan dedak dengan perbandingan 10 : 5 : 1. Selanjutnya campuran tersebut difermentasi dengan mikroorganisme lokal (MOL) yang dapat dibuat dengan menggunakan limbah buah-buahan busuk. Fermentasi ini berlangsung selama 1 minggu. Setelah dilakukan fermentasi, bahan dihaluskan dengan mesin Diskmill FFC 45, lalu dicetak untuk dijadikan kompos blok. Pada saat dicetak, bahan tersebut diberi tambahan berupa kanji dan semen putih sebagai perekat. Setelah itu, kompos blok dikeringanginkan dan dijemur selama  7 hari.

Gambar 3. Contoh Kompos Blok (Sumber: BP2LHK, 2019)

Gambar 4. Penerapan Kompos Blok (Sumber: Danarto, 2021)

 

Pemanfaatan kompos blok membuat tanaman tidak mudah kehilangan substrat tempat tumbuhnya. Selain itu, kompos blok dapat berfungsi sebagai penyedia nutrisi bagi tanaman untuk memacu pertumbuhan akar. Biasanya, akar akan terbentuk setelah satu bulan penanaman. Pertumbuhan akar akan menjadi lebih cepat setelah akar berhasil menembus kompos blok. Hal ini dikarenakan pada daerah bekas tambang yang berupa pasiran, biasanya terdapat nutrisi yang bergerak (nutrisi perkolasi). Nutrisi tersebut sebenarnya masih bisa digunakan asalkan kita dapat mendesain agar nutrisi bergerak tersebut dapat dimanfaatkan oleh akar.

 

4. Press-Block Media Diperkaya

Teknik Press-Block Media Diperkaya diterapkan pada lahan dengan suhu tinggi, minim biomassa dan nutrisi, fluktuasi air tanah cukup lebar, serta pergerakan mikroba terbatas. Prinsipnya pembuatannya sama dengan kompos blok, tetapi biomassa yang digunakan dalam pembuatan kompos perlu lebih diperkaya. Hal ini bertujuan untuk mendukung perkembangan mikroba. Adanya aktivitas mikroba akan membantu penyediaan nutrisi di dalam tanah.

Gambar 5. Penerapan Press-Block Media Diperkaya pada Lahan Bekas Tambang (Sumber : Danarto, 2021)

 

5. Nurse Plant

Nurse plant merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kesuburan tapak. Nurse plant merupakan teknik tanam yang digunakan untuk area yang minim biomassa, suhu tinggi, miskin nutrisi, pergerakan mikroorganisme terbatas, serta kandungan logam beracun tinggi. Prinsipnya yaitu dengan menanam jenis tanaman yang sifatnya ‘merawat’. Jenis tanaman yang tergolong ke dalam nurse plant biasanya merupakan jenis pionir. Jenis tanaman ini dapat merubah kondisi lahan sehingga dapat mendatangkan jenis lain untuk dapat tumbuh di lahan tersebut. Adapun kriteria lain untuk jenis tanaman yang dapat dijadikan sebagai nurse plant yaitu tanaman yang memiliki fungsi sebagai pengatur kelembaban serta pengikat nitrogen.

Pada daerah tambang, jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai nurse plant yaitu jenis cemara udang (Casuarina equisetifolia). Hal ini dikarenakan jenis tersebut dapat bersimbiosis dengan bakteri Frankia sehingga akan menghasilkan nitrat. Di samping itu, cemara udang juga memiliki tingkat gutasi yang tinggi sehingga dapat membantu meningkatkan kelembaban.

Daerah tambang biasanya memiliki kandungan logam berat yang tinggi sehingga penanaman nurse plant dapat dilakukan dengan teknik fly potting agar tanaman tidak terkontaminasi. Keberadaan logam berat dapat menyebabkan keracunan pada sel-sel tanaman (Juhri, 2017) sehingga perlu dibuat fly potting untuk melindungi tanaman. Kombinasi antara teknik nurse plant dan fly potting memiliki keunggulan berupa nutrisi tanaman yang diperoleh lebih lengkap yakni berasal dari material yang kita tambahkan pada teknik fly potting dan dari nurse plant itu sendiri.

 

Penulis: Marliana Ega Pradita

Editor : Galang Rama Asyari

 

Daftar Pustaka

Anonim. 1999. Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Asmarhansyah. 2016. Karakteristik dan Strategi Pengelolaan Lahan Bekas Tambang Timah di Kepulauan Bangka Belitung. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru. Banjarbaru: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung.

BP2LHK. 2019. Pemanfaatan Bahan Organik Lahan Menjadi Kompos Blok untuk Mendukung Penyiapan Lahan Tanpa Bakar. Diakses dari https://foreibanjarbaru.or.id/archives/4524  pada 15 Juli 2021.

Danarto, S. 2021. Materi Kuliah Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Model Reklamasi Hutan dan Lahan Berbasis Peningkatan Daya Dukung Produktivitas Lahan. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM.

Hirfan. 2016. Strategi Reklamasi Lahan Pasca Tambang. Pena Teknik 1 (1): 101-108.

Juhri, D.A. 2017. Pengaruh Logam Berat (Kadmium, Kromium, dan Timbal) terhadap Penurunan Berat Basah Kangkung Air (Ipomoea aquatica Forsk) sebagai Bahan Penyuluhan Bagi Petani Sayur. Jurnal Lentera Pendidikan Pusat Penelitian LPPM UM Metro 2(2): 219-220

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2019. Dukung Penyiapan Lahan Tanpa Bakar, BP2LHK Banjarbaru Olah Bahan Organik Lahan jadi Kompos Blok. Diakses dari  https://www.menlhk.go.id/site/single_post/2375 pada 15 Juli 2021.

Kunjungan Instansi 2021 – “Balai Perbenihan Kehutanan”

Pada hari Senin tanggal 5 April 2021, Himpunan Mahasiswa Budidaya Hutan (HIMABA) melakukan kunjungan instansi ke Persemaian Balai Perbenihan Kehutanan (BHH) di Desa Gading, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Kunjungan ini juga melibatkan mahasiswa Silvikultur 2020 dan perwakilan HMM/BSO. Tujuan dari kunjungan instansi adalah memberikan pengetahuan tentang rehabilitasi dan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh instansi terkait. Kunjungan Instansi 2021 mengusung tema “The Spirit of Silviculture to Build Sustainable Forest”, diharapkan silvikulturis dan peserta lainnya bersemangat dalam mencari ilmu sehingga dapat diimplementasikan dengan baik untuk membangun hutan yang lestari.

Sebelum mengenal Persemaian BHH lebih jauh, apa sih yang dimaksud dengan rehabilitasi hutan dan lahan itu? Menurut Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2020, Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan guna meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan. RHL dilaksanakan pada lahan kritis yang berada di dalam dan luar kawasan hutan berdasarkan peta Lahan Kritis Nasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Lahan kritis diutamakan pada Daerah Tangkapan Air (DTA) misalnya waduk/ dam/bendungan, danau prioritas, DAS prioritas, dan daerah rawan bencana. Selain itu, dapat dilaksanakan pada ekosistem tertentu seperti daerah pesisir atau pantai, kawasan bergambut, dan sempadan. RHL dilakukan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, dan penerapan teknik konservasi tanah. Reboisasi dilakukan pada hutan konservasi (kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional), hutan lindung, dan hutan produksi. Reboisasi dilaksanakan dengan cara reboisasi intensif dan reboisasi agroforestri. Penghijauan dilakukan di luar kawasan (kawasan lindung atau kawasan budidaya) dengan melalui pembangunan hutan rakyat, pembangunan hutan kota, dan penghijauan lingkungan. Kemudian, penerapan teknik konservasi tanah dilaksanakan secara vegetatif, teknik kimiawi, dan sipil teknis.

Penyediaan bibit untuk penanaman RHL berasal dari sumber benih bersertifikat dan memiliki kualitas bibit yang unggul, sehingga dapat tumbuh dengan baik di lapangan. Bibit diperoleh dari persemaian di lokasi penanaman atau di dekat lokasi penanaman, sebagai silvikulturis atau rimbawan yang nantinya berperan dalam penyediaan bibit tersebut maka HIMABA melakukan kunjungan ke Persemaian BHH. Persemaian ini merupakan persemaian permanen yang menyediakan bibit untuk penanaman dan penyulaman hutan produksi yang dikelola oleh KPH Yogyakarta. Selain itu, sebelum tahun 2020 masyarakat dapat mengajukan proposal atau surat permohonan bantuan bibit tanaman kehutanan untuk tujuan tertentu misalnya penghijaun, reboisasi, dan lainnya. Pihak yang dapat menerima bantuan bibit adalah organisasi masyarakat, kelompok tani, institusi pemerintah, TNI/Polri, sekolah/perguruan tinggi dan pihak lainnya.

Jenis tanaman yang banyak diproduksi adalah kayu putih untuk didistribusikan ke berbagai RPH di Yogyakarta seperti RPH Kenet, RPH Kemuning, RPH Gelaran, RPH Menggoran, RPH Gebang, dan lainnya. Sumber benih kayu putih berasal dari kebun benih RPH Menggoran yang merupakan Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT). Persemaian BHH merupakan persemaian permanen dengan luas 3 Ha dan dapat memproduksi 1.000.000 bibit per tahun. Persemaian Bunder memiliki sistem pengairan yang baik karena dekat dengan sungai yaitu Sungai Oyo. Selain itu, fasilitas yang ada meliputi bedeng tabur, bedeng sapih, 4 bak penampung air, pompa air, ruang genset, ruang bengkel, rumah dinas kepala balai, 2 bangunan kantor, ruang kecambah, 2 bangunan gudang, aula, mushola, dan ruang kompos.

Alur dari pembuatan bibit kayu putih di persemaian ini yaitu pembuatan bedeng tabur, penaburan benih, pencampuran media tanam, pengisian polybag, penyapihan, pemeliharaan bibit, dan pendistribusian bibit ke lapangan. Kami hanya mempraktekan cara pencampuran media tanam, pengisian polybag, dan penyapihan. Media tanam yang digunakan serta perbandingannya yaitu tanah, sekam padi, dan pupuk (6:3:1). Pencampuran media dilakukan secara manual dengan sekop atau pacul. Kemudian, media tanam dimasukkan ke polybag berukuran 15 cm x 10 cm dan ditata di bedeng tabur. Proses penyapihan diawali dari pemilihan kecambah kayu putih di bedeng tabur dengan tinggi 2-5 cm. Kecambah yang lolos seleksi dibawa ke bedeng sapih dengan ditaruh di wadah yang berisi air untuk mengurangi transpirasi. Di bedeng tabur, benih dapat berkecambah setelah 1 minggu penaburan dan penyungkupan. Media tanam di bedeng tabur menggunakan pasir untuk dicampur dengan benih ketika penaburan agar kecambah tidak bergerombol dan setiap bedeng tabur membutuhkan 5 karung pupuk kandang. Kecambah disapih selama 8 bulan di bedeng sapih dan dilakukan pemeliharaan seperti penyiangan, pengendalian hama/penyakit, dan penyulaman hingga siap untuk ditanam di lapangan. Kunjungan instansi ini ditutup dengan penyerahan kenang-kenangan dan foto bersama.