Rekayasa Silvikultur dalam Rehabilitasi di Wilayah Pantai Berpasir

 

Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di dunia memiliki banyak wilayah daratan yang berbatasan langsung dengan lautan. Pertemuan antara dua jenis wilayah tersebut disebut dengan garis pantai (Sudarsono, 2011). Pantai adalah suatu wilayah yang meluas dari  titik terendah air laut ketika surut hingga ke arah daratan sampai mencapai batas efektif dari gelombang yang biasa didominasi oleh pasir (Sutikno, 1993 dalam Opa, 2011). Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2019), Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan garis pantai terpanjang di dunia sepanjang 95.181 km. Luasnya wilayah pantai berpasir Indonesia membuat kawasan tersebut penting untuk diperhatikan karena menyimpan potensi yang besar. Namun demikian, wilayah pantai berpasir yang terbentuk dari tanah mineral muda apabila tidak segera dikelola dapat menyebabkan kerusakan permanen sehingga semakin rentan terhadap ancaman bencana alam (Harjadi dan Miardi, 2013). Selain itu, kawasan tersebut termasuk lahan marginal yang sukar diolah dan dimanfaatkan. Kegiatan untuk memulihkan kondisi dan daya dukung lahan pada kawasan pesisir diperlukan agar dapat mengurangi kerusakan akibat bencana alam, menjaga kelestarian lingkungan, serta meningkatkan produktivitas lahan.

Rehabilitasi wilayah pantai berpasir merupakan upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi pantai yang sebelumnya telah mengalami kerusakan melalui kegiatan revegetasi dengan jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat (Wibisono, 2015). Kegiatan rehabilitasi wilayah pantai berpasir yang mempertimbangkan banyak aspek tentu tidak mudah dan diperlukan formulasi serta strategi yang sesuai dengan keadaan lapangan untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi tersebut. Langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan penerapan rekayasa silvikultur. Rekayasa silvikultur merupakan suatu teknik atau metode yang dilakukan pada suatu lingkungan tempat tumbuh agar suatu pohon dapat tumbuh dengan layak (Danarto, 2021). Beberapa teknik rekayasa silvikultur yang dapat diterapkan di kawasan pesisir pantai antara lain :

  • Observasi Lapangan

Sebelum menerapkan rekayasa silvikultur, sangat penting untuk mengetahui kondisi lapangan pada lokasi yang akan direhabilitasi. Terdapat banyak faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberhasilan rehabilitasi seperti kondisi fisik lahan, keadaan lingkungan, kesuburan lahan, dan sumber daya yang ada untuk melakukan rehabilitasi. Kondisi fisik lahan pantai berpasir seperti porositas tinggi dan adanya suhu yang tinggi menyebabkan air mudah hilang. Selain itu, wilayah pantai berpasir memiliki kandungan unsur hara tersedia yang rendah dan keadaan lingkungan bersalinitas tinggi. Tanaman yang tumbuh pada salinitas tinggi akan mengalami peningkatan tekanan osmotik yang dapat menghambat penyerapan air dan unsur hara. Oleh karena itu, tidak semua jenis vegetasi mampu tumbuh dengan baik pada lahan marginal pesisir pantai (Follet dkk., 1981). 

 

  • Pemilihan Spesies Tertentu

Menurut Peraturan Menteri LHK No. 105 Th. 2018, rehabilitasi lahan wilayah pantai terdiri dari 2 macam yakni rehabilitasi wilayah mangrove dan sempadan pantai. Diantara dua wilayah tersebut terdapat perbedaan kondisi lahan dan spesies tumbuhannya. Wilayah mangrove dengan kondisi lahan pasang surut biasanya cocok untuk spesies Bruguiera, Avicennia, Rhizophora, Sonneratia  atau Nipah. Sementara itu, spesies tanaman yang digunakan untuk rehabilitasi wilayah sempadan pantai yang berpasir berbeda dengan wilayah mangrove. Pada wilayah pantai berpasir spesies yang cocok untuk dikembangan diantaranya adalah cemara laut, ketapang, waru, nyamplung, nangka, dan kelapa. Karakteristik spesies yang dapat tumbuh dengan baik di wilayah tersebut yakni mampu tumbuh di pasir dengan ketersediaan air rendah ketika kemarau, mampu hidup di tanah miskin humus atau unsur hara, dan toleran terhadap salinitas tinggi (Budiadi dkk., 2019). 

Cemara laut menjadi salah satu spesies terbaik untuk keberhasilan rehabilitasi wilayah pantai berpasir dengan beragam faktor pembatas karena mampu beradaptasi terhadap kondisi tapak marjinal yang miskin unsur hara, tahan terhadap salinitas tinggi, mampu bertahan hidup pada kekeringan, memiliki perakaran yang dalam, mampu memecah angin pantai (Nurjanto dkk., 2009). Pemilihan spesies yang tepat pada rehabilitasi wilayah pantai berpasir dapat menjadi benteng pertahanan alami (bioshield) untuk mencegah bahaya abrasi maupun tsunami. Selain itu, spesies tersebut dapat menjadi tanaman pionir karena berfungsi untuk meningkatkan kelembaban tanah dan kesuburan tanah sehingga kondisi biofisik lahan menjadi lebih baik. Apabila kondisi biofisik lahan sudah lebih baik maka upaya penanaman jenis tanaman lain dapat dilakukan sehingga meningkatkan produktivitas lahan.

  • Press Block

 

Gambar 1. Pressblock untuk Rehabilitasi Pesisir Pantai

Press block merupakan tempat atau media yang mendukung tumbuhnya tanaman pada suatu daerah yang kritis atau marginal (Putra dkk., 2019).  Press block berguna untuk mengurangi panas pada pasir pantai yang suhunya bisa mencapai 76ºC ketika siang hari dan membantu mengikat air karena tekstur pasir yang mudah kehilangan air (Danarto, 2021). Bahan untuk membuat press block dapat berasal dari pupuk kandang atau bahan lain yang dapat menyediakan nutrisi serta mengikat air. Bahan tersebut kemudian dicetak sebelum dilakukan penanaman dan press block yang sudah jadi dibawa ke lokasi rehabilitasi. Ketika ketersediaan nutrisi mencukupi bagi tanaman dan air tidak cepat hilang maka tanaman yang digunakan untuk merehabilitasi kawasan pesisir bisa tumbuh dengan baik dan meminimalkan resiko kegagalan penanaman.

 

  • Pressblock Lapang atau Penambahan Biomassa Secara Langsung

 

Gamabr 2. Pressblock lapang

Berbeda dengan press block biasa yang harus dicetak terlebih dahulu lalu dibawa ke lapangan sehingga membutuhkan biaya yang lebih. Press block lapang dilakukan pencetakan langsung di lubang tanam (Danarto, 2021). Cara pembuatan press block lapang yaitu sebelum dilakukan penanaman untuk rehabilitasi, letak tanaman diatur terlebih dahulu. Setelah itu, bahan press block dimasukkan ke dalam cetakan ember dengan botol yang diletakkan di bagian tengah. Cetakan tersebut dipadatkan sehingga botol tersebut dapat digunakan sebagai ruang untuk menanam bibit pohon untuk rehabilitasi. 

Keunggulan  press block lapang dibandingkan dengan press block biasa  yaitu lebih murah dan lebih praktis karena tidak perlu pencetakan secara terpisah sebelum penanaman. Selain itu, tidak perlu sumber daya untuk keperluan transportasi press block sebab pembuatannya langsung di lokasi penanaman sehingga menghemat tenaga dan biaya. Pembuatan press block  di lapangan membuat tanah berpasir mendapat perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Bahan organik yang terkandung di dalamnya menjadi sumber nitrogen tanah sehingga tanah semakin subur (Simanungkalit dkk., 2006). 

 

Oleh : Sya’bana Farhan Tsani

Editor : Galang Rama Asyari

 

Sumber:

Budiadi, B., H.H. Nurjanto, S. Hardiwinoto, dan E. Primananda. 2016. Strategi Pemilihan Jenis Tanaman untuk Mendukung Rehabilitasi Pesisir Berdasarkan Karakteristik Fisik Makro di Muara Sungai Progo (Strategy of Plant-species Selection for Coastal Rehabilition Based on Macro-physical Characteristics in Progo Estuary). Jurnal Manusia dan Lingkungan. 23(3) : 349-359.

Danarto, S. 2021. Materi Kuliah Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Model Reklamasi Hutan dan Lahan Berbasis Peningkatan Daya Dukung Produktivitas Lahan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Follet, R.H., L.S. Murphy, dan R.L. Doname. 1981. Reclamation and management of saline and sodic soils. Fertilizer and Soil Amendments.1(1) : 424-457.

Harjadi, B., dan A. Miardini. 2013. Penanaman Cemara Laut (Casuarina equisetifolia Linn) sebagai Upaya Pencegahan Abrasi di Pantai Berpasir. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7 (5).

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2019. Laut Masa Depan Bangsa, Mari Kita Jaga Bersama. Diakses dari https://kkp.go.id/artikel/12993-laut-masa-depan-bangsa- mari-jaga-bersama pada tanggal 21 September 2021 pukul 15.41 WIB.

Nurjanto, H.H., Suhardi, dan S. Djulianto. 2009. Tanggapan Semai Cemara Udang (Casuarina equisetifolia var. Incana) Terhadap Cekaman Salinitas dan Frekuensi Penyiraman Padamedia Pasir Pantai. Prosiding seminar nasional Silvikultur Rehabilitasi Lahan: Pengembangan Strategi untuk Mengendalikan Tingginya Laju Degradasi Hutan

Opa, E.T. 2011. Perubahan Garis Pantai Desa Bentenan Kecamatan Pusomaen, Minahasa Tenggara. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. 7(3) : 109 – 114. 

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P.105/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung, Pemberian Insentif, Serta Pembinaan dan Pengendalian Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.

Putra, D.P.P.S.P., M.P. Bimantio, dan Y. Yuslinawari. 2019. Perancangan Press Block Medium (Pbm) Dengan Macam Bentuk Nutrisi Sebagai Solusi Media Tanam Pada Lahan Marginal. Prosiding Seminar Instiper. Instiper. Yogyakarta.

Simanungkalit, R.D.M., D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik. 2006. Pupuk organik dan pupuk hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Sudarsono, B. 2011. Inventarisasi Perubahan Wilayah Pantai dengan Metode Penginderaan Jauh (Studi kasus Kota Semarang). Teknik. 32(2) : 162-169.

Wibisono, I.T.C. 2015. Modul Rehabilitasi Pantai Berbasis Masyarakat; Suatu Upaya Dalam Pengurangan Resiko Bencana. Wetlands International Indonesia – Palang Merah Indonesia. Bogor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.