Kendala-Kendala Reklamasi Lahan Bekas Tambang

sumber gambar : chemistryworld.com

Membangun dan mengembalikan fungsi hutan agar tetap lestari merupakan tanggungjawab bagi seorang rimbawan. Lahan bekas tambang yang sangat terdegradasi dapat kembali dijadikan hutan yang produktif dengan adanya tekad yang kuat dan ilmu praktek yang mumpuni. Reklamasi akan semakin mudah dengan memahami terlebih dahulu tantangan dan permasalahan apa saja yang akan dihadapi. Secara umum, permasalahan lahan bekas tambang berkaitan dengan kerusakan tapak baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Berikut ini adalah kendala-kendala yang sering ditemukan dalam kegiatan reklamasi lahan bekas tambang: read more

Baca Selengkapnya

Reklamasi Area Bekas Tambang

sumber gambar : BBC

Salah satu sumber daya alam yang melimpah di Indonesia berasal dari sektor pertambangan. Telah lebih dari 30 tahun berbagai bahan tambang yang berlimpah seperti batubara, nikel, emas, bauksit, besi, dan lain sebagainya telah berkontribusi dalam pembangunan ekonomi Indonesia (Manaf, 2009). Agus (2014) melaporkan bahwa terdapat 833 kegiatan penambangan di Indonesia dengan total luasan sebesar 36 juta ha, termasuk kegiatan di hutan alam seluas 0,9 juta ha yang dilakukan dengan cara menebang hutan dan menambang secara terbuka sehingga berkontribusi besar terhadap degradasi hutan dan lahan di Indonesia. Sebagai negara kepulauan, bahan tambang di Indonesia dapat ditemui di berbagai pulau. Pulau Sumatera memiliki kekayaan alam hasil tambang berupa minyak bumi, batu bara, tembaga, timah, granit, dan hasil tambang lainnya. Pulau Kalimantan menyimpan kekayaan tambang berupa batu bara dan minyak bumi. Pulau Jawa memiliki hasil tambang minyak bumi, bijih besi, granit, dan hasil tambang lainnya. Pulau Sulawesi memberikan hasil tambang mangan, fosfat, tembaga, nikel, dan hasil tambang lainnya. Pulau Papua menyimpan kekayaan tambang minyak bumi, emas, perak, dan hasil tambang lainnya (Nalle, 2012). read more

Baca Selengkapnya

Kembalikan Fungsi Hutan Mangrove dengan Rehabilitasi

source : theconversation.com

Menurut Majid dkk. (2016), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi yang umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan subtidal yang cukup mendapat aliran air. Biasanya, hutan mangrove terdapat di daerah pantai yang terus menerus atau berurutan terendam dalam air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove ini memiliki peranan penting, baik dari aspek ekonomi maupun aspek ekologi.

Ditinjau dari aspek ekonomi, hutan mangrove memiliki potensi kekayaan hayati yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat (Turisno dkk., 2018). Potensi kekayaan tersebut dapat berupa kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai kayu konstruksi, bahan kayu bakar, bahan pembuatan arang, serta bahan pembuatan kertas. Selain itu masyarakat dapat memanfaatkan berbagai flora sebagai bahan obat-obatan serta melakukan budidaya ikan di hutan mangrove mengingat ketersediaan makanan yang berlimpah.Selain itu, hutan mangrove dapat dijadikan sebagai tempat wisata yang tentunya berpotensi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. read more

Baca Selengkapnya

Rekayasa Silvikultur dalam Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

source : mangrovemagz.com

Ekosistem mangrove memiliki tipe yang khas yaitu berada di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Julaikha dan Lita, 2017). Ekosistem mangrove berperan penting sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut, yang mana tumbuhan, hewan, dan berbagai nutrisi dialihkan ke arah darat atau laut melalui mangrove (Zamroni dan Immy, 2008). Kondisi ekosistem mangrove saat ini berstatus kritis dengan tingkat degradasi mencapai 637.624,31 ha atau setara 19,26 % dari total ekosistem mangrove di Indonesia (Rahmanto, 2020 dalam Jacinda, 2020). Berdasarkan data Center for International Forestry Research (CIFOR), deforestasi mangrove di Indonesia telah menghilangkan 190 juta metrik ton setara tiap tahun dan mengalami tekanan dengan ancaman laju degradasi yang tinggi mencapai 52.000 ha/tahun (Jacinda, 2020). Apabila keberadaan  di atmosfer meningkat, maka akan memicu terjadinya perubahan iklim secara global (Nanlogy dan Masniar, 2020). Oleh karena itu, rehabilitasi ekosistem mangrove sangat perlu dilakukan. Kegiatan rehabilitasi ini penting untuk mengembalikan fungsi ekosistem mangrove, yaitu sebagai pelindung kawasan pesisir, mengurangi abrasi pantai dan intuisi air laut, mempertahankan keberadaan flora-fauna laut, sebagai penyangga sedimentasi (Ritohardoyo dan Galuh, 2014), serta membantu penyerapan . read more

Baca Selengkapnya

Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

pict : semanticscholar.org

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi fisik sebagai daerah peredam gelombang, pemecah angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan penangkap sedimen. Selain itu, ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai daerah asuhan, daerah tempat pemijahan, dan mencari makanan bagi biota laut yang hidup di dalamnya (Mayalanda dkk., 2014). Berjalannya fungsi ekologis dan fungsi fisik secara optimal dapat menjaga kelestarian lingkungan dan ketersediaan populasi ikan. Secara ekonomis, hal tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya pesisir terutama perikanan. read more

Baca Selengkapnya

Rekayasa Silvikultur dalam Rehabilitasi Ekosistem Gambut

Pict by :  Earthmind.org

            Ekosistem gambut merupakan ekosistem yang sangat unik karena terbentuk dari timbunan bahan organik mati yang terawetkan selama ribuan tahun (Wibisono dkk., 2005). Selain itu, ekosistem gambut sering disebut sebagai ekosistem air hitam karena wilayahnya tergenang air berwarna coklat kehitaman seperti teh atau kopi. Salah satu permasalahan yang terdapat di ekosistem gambut yaitu adanya kebakaran yang menyebabkan degradasi lahan gambut. Menurut data SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2021) tercatat bahwa sebanyak 3.079.313,75 Ha kawasan hutan mengalami kebakaran. Lebih lanjut lagi, Geographic Information System (GIS) Specialist​ Yayasan Madani Berkelanjutan Fadli Ahmad Naufal (2019) menyebutkan lima provinsi yang menyumbangkan kebakaran hutan terbesar yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Mayoritas kebakaran yang terjadi di lima provinsi tersebut berada pada kawasan gambut. read more

Baca Selengkapnya

Spesies untuk Rehabilitasi Lahan Gambut

pict : RimbaKita.com

Oleh: Linda Ratnasiwi   Editor: Wawan Sadewo

Lahan gambut yang terdegradasi mengalami penurunan kualitas lahan, baik dari sifat kimia, fisika, maupun biologi (Masganti et al., 2014). Lahan gambut yang terdegradasi karena pembuatan saluran drainase yang berlebih akan menyebabkan tinggi muka air gambut semakin menurun, terjadinya subsiden, serta mempercepat dekomposisi sehingga lapisan gambut habis (Basri et al., 2006). Menurut Wahyunto dan Dariah (2014), jika diukur dari permukaan tanah, lahan gambut yang terdegradasi akibat dibuat kanal drainase memiliki tinggi muka air tanah > 25 cm di musim hujan dan > 80 cm di musim kemarau. Pada lahan gambut dengan ketebalan > 3 m yang telah terdegradasi akan mengalami subsiden (penurunan permukaan tanah) rata-rata 35 cm per 5 tahun atau mengalami penurunan 10 % dari ketebalan gambut < 3 m (Wahyunto dan Dariah, 2014). Hal tersebut menyebabkan munculnya lapisan tanah mineral ke permukaan. Lapisan tanah mineral berpotensi mengandung sulfat masam yang bersifat toksik apabila diserap oleh tanaman (Basri et al., 2006). Lahan sulfat masam tersebut pada umumnya berasosiasi dengan lahan gambut. Apabila lapisan gambut yang berada di lapisan atas semakin menipis, maka lapisan pirit akan semakin muncul ke permukaan (Suastika et al., 2015). read more

Baca Selengkapnya

Faktor Pembatas Restorasi Lahan Gambut

Pict by : The Jakarta Post

Penulis : M. Risalluddin Fatih       Editor  : Galang Rama Asyari

Restorasi hutan yang ada pada lahan gambut menemui berbagai faktor pembatas. Upaya restorasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas setelah terjadinya degradasi akibat kerusakan lahan gambut. Selama ini penanaman di lahan gambut sangat memperhatikan faktor utama yang menentukan dilakukannya kegiatan restorasi, yaitu musim. Pada lahan gambut yang terbuka dan mengalami penurunan permukaan tanah, penanaman pada musim penghujan tidak dapat dilakukan karena kondisi lahan yang tergenang.  Penanaman baru dapat dilakukan pada kondisi air telah surut atau mendekati musim kemarau, namun yang menjadi kendala antara lain kondisi saat ini jangka waktu antara musim penghujan dan kemarau tidak begitu jelas. Apabila bibit ditanam pada curah hujan yang masih tinggi, bibit akan tergenang dan bahkan tenggelam yang mengakibatkan penurunan daya hidup dan keberhasilan penanaman. Sedangkan, apabila ditanam pada musim kemarau hal ini akan mengakibatkan kurangnya air yang diperoleh tanaman. Kekurangan air tersebut dapat berakibat pada layu dan kematian tanaman. read more

Baca Selengkapnya

Lahan Gambut dan Indikator Kerusakannya

    pict : greenpeace.org

Oleh: Aisyah Nur Bayti  – Editor: Wawan Sadewo

Lahan gambut merupakan suatu area yang ditutupi endapan bahan organik yang sebagian besar belum mengalami pelapukan secara sempurna dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Endapan bahan organik tersebut tertimbun dalam waktu yang cukup lama, sehingga lahan gambut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi (Sabiham dan Sukarman, 2012). Indonesia memiliki luas lahan gambut terbesar ke-dua di dunia yaitu sebesar 22,5 juta ha setelah Brazil (31,1 juta ha), dengan sebaran sebagai berikut, Papua seluas 7,6 juta ha, Kalimantan seluas 6,6 juta ha, Sumatera seluas 4,5 juta ha, dan lainnya seluas 3,8 juta ha (Anonim, 2020). read more

Baca Selengkapnya

Budidaya Bambu dengan Kultur Jaringan

Sumber: IG @eshaflora

Bambu merupakan salah satu jenis rumput-rumputan dari famili Gramineae dan masuk dalam kategori hasil hutan bukan kayu (Arsad, 2015).  Menurut Novriyanti (2005) bambu memiliki potensi sebagai bahan substitusi kayu karena rumpun bambu dapat terus tumbuh selama masa pemanenan yang terkendali dan terencana. Keuntungan bambu dibandingkan kayu antara lain memiliki rasio penyusustan yang kecil, memiliki elastisitas yang baik, dan nilai dekoratif yang tinggi (Novriyanti, 2005: dalam Arsad 2014). Bambu termasuk tanaman dengan potensi pengembangan yang cukup tinggi dikarenakan bambu mempunyai manfaat ekologis dan manfaat ekonomis bagi masyarakat setempat (Sulistiono dkk, 2016).  Dari aspek ekonomi sendiri pemanfaatan bambu sangatlah luas, mulai dari penggunaan teknologi yang sederhana hingga pemanfaatan teknologi tinggi di skala industri (Putro dkk, 2014). read more

Baca Selengkapnya