Pantai merupakan batas antara wilayah daratan dengan wilayah lautan. Wilayah daratan adalah wilayah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Sedangkan wilayah lautan adalah wilayah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya (Bambang Triatmodjo, 2008). Wilayah pantai berpasir memiliki jenis tanah regosol dengan karakteristik tekstur kasar, mudah diolah, kapasitas menahan air rendah, permeabilitas baik, dan apabila umur semakin tua teksturnya semakin halus dan permeabilitas semakin buruk. Sukresno dkk. (2000) melaporkan bahwa tanah di wilayah pantai berpasir memiliki tekstur kasar, lepas-lepas, dan terbuka sehingga menjadi sangat peka terhadap erosi angin. Hasil erosi angin berupa pengendapan material pasir mengganggu dan menutup wilayah budidaya tanaman serta pemukiman. Penerapan rekayasa lingkungan yang tepat dapat bermanfaat untuk kegiatan rehabilitasi dengan revegetasi di wilayah tersebut. Beberapa penelitian membuktikan potensi wilayah pantai berpasir di Pantai Selatan, Yogyakarta menggunakan beberapa alternatif perlakuan dapat meningkatkan keberhasilan penanaman (Sudihardjo, 2000 dalam Ambarwati dan Purwanti, 2002).
Kategori: SILVEDGE
Peran dan Manfaat Reklamasi Area Bekas Tambang
Penambangan merupakan kegiatan pengambilan endapan bahan tambang yang berharga dan bernilai ekonomis (emas, batubara, timah, nikel dan sebagainya) dari bumi baik secara mekanis maupun manual (Sari, 2020). Kegiatan penambangan banyak dilakukan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Meskipun menguntungkan dari segi ekonomi, namun apabila dilihat dari segi ekologi dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan. Menurut Raden dkk. (2010) dalam Fitriyanti (2016), beberapa dampak negatif dari kegiatan penambangan terhadap lingkungan, yaitu:
Pertimbangan Dalam Reklamasi Area Bekas Tambang
picture source : new.mongabay.com
Salah satu konsekuensi dari aktivitas penambangan yaitu rusaknya lahan baik secara fisik, kimia, maupun hidrologi (Hirfan, 2016). Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengembalikan dan meningkatkan produktivitas lahan. Proses pengembalian lahan memerlukan perencanaan atau strategi yang matang sehingga upaya yang akan dilakukan dapat berhasil secara utuh. Reklamasi yang telah dilakukan dengan perencanaan secara matang diharapkan mampu mengembalikan kondisi ekologis dan manfaat hutan sesuai dengan fungsinya. P. 4/Menhut-II/2011 menyebutkan bahwa ruang lingkup Reklamasi Hutan meliputi kegiatan inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, pelaksanaan, kelembagaan, pemantauan dan pembinaan teknis, mekanisme pelaporan pelaksanaan reklamasi hutan, dan sanksi. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan reklamasi area bekas tambang sangat penting untuk memperhatikan ruang lingkup tersebut agar dapat berhasil.
Kendala-Kendala Reklamasi Lahan Bekas Tambang
sumber gambar : chemistryworld.com
Membangun dan mengembalikan fungsi hutan agar tetap lestari merupakan tanggungjawab bagi seorang rimbawan. Lahan bekas tambang yang sangat terdegradasi dapat kembali dijadikan hutan yang produktif dengan adanya tekad yang kuat dan ilmu praktek yang mumpuni. Reklamasi akan semakin mudah dengan memahami terlebih dahulu tantangan dan permasalahan apa saja yang akan dihadapi. Secara umum, permasalahan lahan bekas tambang berkaitan dengan kerusakan tapak baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Berikut ini adalah kendala-kendala yang sering ditemukan dalam kegiatan reklamasi lahan bekas tambang:
Reklamasi Area Bekas Tambang
sumber gambar : BBC
Salah satu sumber daya alam yang melimpah di Indonesia berasal dari sektor pertambangan. Telah lebih dari 30 tahun berbagai bahan tambang yang berlimpah seperti batubara, nikel, emas, bauksit, besi, dan lain sebagainya telah berkontribusi dalam pembangunan ekonomi Indonesia (Manaf, 2009). Agus (2014) melaporkan bahwa terdapat 833 kegiatan penambangan di Indonesia dengan total luasan sebesar 36 juta ha, termasuk kegiatan di hutan alam seluas 0,9 juta ha yang dilakukan dengan cara menebang hutan dan menambang secara terbuka sehingga berkontribusi besar terhadap degradasi hutan dan lahan di Indonesia. Sebagai negara kepulauan, bahan tambang di Indonesia dapat ditemui di berbagai pulau. Pulau Sumatera memiliki kekayaan alam hasil tambang berupa minyak bumi, batu bara, tembaga, timah, granit, dan hasil tambang lainnya. Pulau Kalimantan menyimpan kekayaan tambang berupa batu bara dan minyak bumi. Pulau Jawa memiliki hasil tambang minyak bumi, bijih besi, granit, dan hasil tambang lainnya. Pulau Sulawesi memberikan hasil tambang mangan, fosfat, tembaga, nikel, dan hasil tambang lainnya. Pulau Papua menyimpan kekayaan tambang minyak bumi, emas, perak, dan hasil tambang lainnya (Nalle, 2012).

Kembalikan Fungsi Hutan Mangrove dengan Rehabilitasi
source : theconversation.com
Menurut Majid dkk. (2016), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi yang umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan subtidal yang cukup mendapat aliran air. Biasanya, hutan mangrove terdapat di daerah pantai yang terus menerus atau berurutan terendam dalam air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove ini memiliki peranan penting, baik dari aspek ekonomi maupun aspek ekologi.
Ditinjau dari aspek ekonomi, hutan mangrove memiliki potensi kekayaan hayati yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat (Turisno dkk., 2018). Potensi kekayaan tersebut dapat berupa kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai kayu konstruksi, bahan kayu bakar, bahan pembuatan arang, serta bahan pembuatan kertas. Selain itu masyarakat dapat memanfaatkan berbagai flora sebagai bahan obat-obatan serta melakukan budidaya ikan di hutan mangrove mengingat ketersediaan makanan yang berlimpah.Selain itu, hutan mangrove dapat dijadikan sebagai tempat wisata yang tentunya berpotensi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Rekayasa Silvikultur dalam Rehabilitasi Ekosistem Mangrove
source : mangrovemagz.com
Ekosistem mangrove memiliki tipe yang khas yaitu berada di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Julaikha dan Lita, 2017). Ekosistem mangrove berperan penting sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut, yang mana tumbuhan, hewan, dan berbagai nutrisi dialihkan ke arah darat atau laut melalui mangrove (Zamroni dan Immy, 2008). Kondisi ekosistem mangrove saat ini berstatus kritis dengan tingkat degradasi mencapai 637.624,31 ha atau setara 19,26 % dari total ekosistem mangrove di Indonesia (Rahmanto, 2020 dalam Jacinda, 2020). Berdasarkan data Center for International Forestry Research (CIFOR), deforestasi mangrove di Indonesia telah menghilangkan 190 juta metrik ton setara tiap tahun dan mengalami tekanan dengan ancaman laju degradasi yang tinggi mencapai 52.000 ha/tahun (Jacinda, 2020). Apabila keberadaan di atmosfer meningkat, maka akan memicu terjadinya perubahan iklim secara global (Nanlogy dan Masniar, 2020). Oleh karena itu, rehabilitasi ekosistem mangrove sangat perlu dilakukan. Kegiatan rehabilitasi ini penting untuk mengembalikan fungsi ekosistem mangrove, yaitu sebagai pelindung kawasan pesisir, mengurangi abrasi pantai dan intuisi air laut, mempertahankan keberadaan flora-fauna laut, sebagai penyangga sedimentasi (Ritohardoyo dan Galuh, 2014), serta membantu penyerapan .

Strategi Rehabilitasi Ekosistem Mangrove
pict : semanticscholar.org
Ekosistem mangrove mempunyai fungsi fisik sebagai daerah peredam gelombang, pemecah angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan penangkap sedimen. Selain itu, ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai daerah asuhan, daerah tempat pemijahan, dan mencari makanan bagi biota laut yang hidup di dalamnya (Mayalanda dkk., 2014). Berjalannya fungsi ekologis dan fungsi fisik secara optimal dapat menjaga kelestarian lingkungan dan ketersediaan populasi ikan. Secara ekonomis, hal tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya pesisir terutama perikanan.

Rekayasa Silvikultur dalam Rehabilitasi Ekosistem Gambut
Pict by : Earthmind.org
Ekosistem gambut merupakan ekosistem yang sangat unik karena terbentuk dari timbunan bahan organik mati yang terawetkan selama ribuan tahun (Wibisono dkk., 2005). Selain itu, ekosistem gambut sering disebut sebagai ekosistem air hitam karena wilayahnya tergenang air berwarna coklat kehitaman seperti teh atau kopi. Salah satu permasalahan yang terdapat di ekosistem gambut yaitu adanya kebakaran yang menyebabkan degradasi lahan gambut. Menurut data SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2021) tercatat bahwa sebanyak 3.079.313,75 Ha kawasan hutan mengalami kebakaran. Lebih lanjut lagi, Geographic Information System (GIS) Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan Fadli Ahmad Naufal (2019) menyebutkan lima provinsi yang menyumbangkan kebakaran hutan terbesar yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Mayoritas kebakaran yang terjadi di lima provinsi tersebut berada pada kawasan gambut.

Spesies untuk Rehabilitasi Lahan Gambut
pict : RimbaKita.com
Oleh: Linda Ratnasiwi Editor: Wawan Sadewo
Lahan gambut yang terdegradasi mengalami penurunan kualitas lahan, baik dari sifat kimia, fisika, maupun biologi (Masganti et al., 2014). Lahan gambut yang terdegradasi karena pembuatan saluran drainase yang berlebih akan menyebabkan tinggi muka air gambut semakin menurun, terjadinya subsiden, serta mempercepat dekomposisi sehingga lapisan gambut habis (Basri et al., 2006). Menurut Wahyunto dan Dariah (2014), jika diukur dari permukaan tanah, lahan gambut yang terdegradasi akibat dibuat kanal drainase memiliki tinggi muka air tanah > 25 cm di musim hujan dan > 80 cm di musim kemarau. Pada lahan gambut dengan ketebalan > 3 m yang telah terdegradasi akan mengalami subsiden (penurunan permukaan tanah) rata-rata 35 cm per 5 tahun atau mengalami penurunan 10 % dari ketebalan gambut < 3 m (Wahyunto dan Dariah, 2014). Hal tersebut menyebabkan munculnya lapisan tanah mineral ke permukaan. Lapisan tanah mineral berpotensi mengandung sulfat masam yang bersifat toksik apabila diserap oleh tanaman (Basri et al., 2006). Lahan sulfat masam tersebut pada umumnya berasosiasi dengan lahan gambut. Apabila lapisan gambut yang berada di lapisan atas semakin menipis, maka lapisan pirit akan semakin muncul ke permukaan (Suastika et al., 2015).