Sumber gambar: indefenseofplants.com
Dipterocarpaceae merupakan pohon yang mendominasi hutan hujan tropis di Indonesia. Keberadaan Dipterocarpaceae dianggap cukup penting karena kayu dari sub famili ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Apannah, 1998). Selain itu, Dipterocarpaceae juga menghasilkan beberapa produk non kayu yang bernilai ekonomi. Produk-produk tersebut diantaranya minyak, damar, resin, dan kamper. Oleh karena itu identifikasi kayu perlu dilakukan, agar pemilihan kayu untuk penggunaan akhir dapat sesuai dan tepat guna.
Pengidentifikasian pohon berfungsi untuk mengetahui kekayaan jenis, habitat, dan distribusi. Penyajian informasi seperti ini berguna untuk memudahkan dalam pengamatan yang akan dilakukan. Tulisan ini dapat merupakan ringkasan dari beberapa tulisan mengenai Dipterocarpaceae, diharapkan mampu menjadi sumber informasi bagi pembaca untuk lebih mengenal keunikan lagi tentang sub famili ini.
Dipterocarpaceae merupakan salah satu sub famili dengan jumlah jenis yang banyak dan persebaran yang cukup luas. Sub famili ini memiliki 13 genus dan 470 jenis, 9 diantaranya terdapat di Indonesia, yaitu Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopes, Vatica, Cotylelobium, Parashorea, Anisoptera, dan Upuna (Fajri, 2008). Penyebarannya mulai dari Afrika, Seychlles, Srilanka, India, China, hingga ke wilayah Asia Tenggara (Burma, Thailand, Malaysia, dan Indonesia) (Al Rasyid, 1991). Di Indonesia penyebaran Dipterocarpaceae dimulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Lombok/Bali, Sulawesi, hingga Irian.
Persebaran jenis Dipterocarpaceae sangat tergantung pada faktor alam yang mempengaruhi pertumbuhannya. Pada umumnya terdapat dua faktor pembatas, yaitu iklim dan ketinggian tempat. Sebagian besar jenis Dipterocarpaceae terdapat pada daerah tropis basah dengan curah hujan lebih dari 1000 mm per tahun atau musim daerah dengan kemarau kurang dari 6 bulan, dengan ketinggian tempat tidak lebih dari 1500 mdpl atau sering disebut lowland rain forest (Whitmore, 1988). Di Indonesia jenis Dipterocarpaceae tidak mampu tumbuh pada ketinggian lebih dari 1500 mdpl. Karena semakin tinggi altitude semakin sedikit jenis Dipterocarpaceae yang dapat ditemukan (Purwangingsih, 2004).
Jenis Dipterocarpaceae sebagian besar menyukai tanah yang kering, bereaksi asam, bersolum dalam, dan liat. Pada kondisi tanah yang asam, akar dari jenis Dipterocarpaceae akan berasosiasi dengan ektomikoriza sehingga kelangsungan hidupnya masih dapat dipertahankan. Meskipun sebagian besar jenis Dipterocarpaceae menyukai tanah yang kering dan asam, namun ada juga sebagian kecil yang bisa tumbuh di tanah dengan kondisi berkapur, berpasir, dan gambut (Fajri,2008).
Dipterocarpaceae menjadi salah satu penyusun utama berbagai tipe hutan di dataran rendah, beberapa diantaranya juga terdapat di pegunungan bawah. Keberadaannya berupa pohon-pohon besar dengan tajuk yang sangat dominan. Dipterocarpaceae yang terdapat di hutan Melanesia bagian barat merupakan suatu hal yang unik. Hal ini disebabkan oleh adanya jenis dan marga pohon besar yang sedemikian banyak dari satu suku terdapat bersama-sama di satu tempat (Fajri, 2008).
Pada umumnya Dipterocarpaceae merupakan pohon yang besar dengan tajuk yang sangat dominan dan mempunyai banyak tipe banir (hampir setiap genus mempunyai banir yang berbeda). Kulit batang dari pohon Dipterocarpaceae juga mempunyai banyak tipe, misalnya kulit dari keruing mempunyai banyak lentisel, sedangkan kulit dari Vatica dan Cotylelobium biasanya agak licin dan terdapat garis horizontal pada kulit batang yang hampir mengelilingi batang. Diptorecarpaceae memiliki damar yang umumnya berwarna putih, kuning, coklat, atau hitam (Fajri, 2008).
Gambar banir Dipterocarpaceae (Sumber: indefenseofplants.com)
Dipterocarpaceae dikenal memiliki perbungaan dengan bau wangi yang manis. Ketika berbunga biasanya terdapat banyak bunga di bawah pohon. Bunga dari sub famili ini umumnya berukuran kecil (0.2 – 1.0 cm), hanya dari dari marga Dipterocarpus dan Ateria yang mempunyai bunga lebih besar (Smits, 2003).
Biji dari Dipterocarpaceae umumnya bersayap dan apabila jatuh dari pohon berputar seperti helikopter kecil. Biji tersebut memiliki dua sayap besar dan tiga bentuk kecil yang tidak mirip seperti sayap. Namun pada Shorea dan Parashorea tiga sayap yang ada sama panjang dan dua yang lainnya pendek. Anisoptera pada umumnya memiliki tiga urat pokok kearah memanjang di sayapnya. Lain halnya dengan Dryobalanops yang memiliki sayap lima, kelima sayap tersebut sama besar, sedangkan Vatica kebanyakan tidak mempunyai sayap (Fajri, 2008).
Struktur morfologi Dipterocarpaceae (Sumber: indefenseofplants.com)
Dapat kita ketahui bahwa, dipterocarpaceae merupakan pohon besar yang mendominasi hutan dataran rendah di wilayah Asia Tenggara hingga Afrika. Keberadaan sub famili ini cukup penting karena jumlahnya yang banyak dan nilai ekonomi kayu/non kayunya cukup tinggi. Keunikan dari Dipterocarpaceae dapat dilihat dari sebaran ekologi dan ciri dari pohon, bunga, dan biji yang dimilikinya.
Penulis : Almas Abdul Ibrizzah, Ani Setyaningsih, Bambang Prasetyo, dan Rizki Amalia
Editor : Yulina Safitri
DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyid, H. 1991. Vademikum Dipterocarpaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutan Dephut.
Apannah, S. 1998. A Riview of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Sylviculture. CIFOR. Bogor-Indonesia.
Fajri, M. 2008. Pengenalan Umum Dipterocarpaceae, Kelompok Jenis Bernilai Ekonomi Tinggi. Info Teknis Dipterokarpa Vol.2 No.1, Juli 2008 : 9 – 21
Purwaningsih. 2004. Sebaran Ekologi Jenis-jenis Dipterocarpaceae di Indonesia. Biodiversitas Vol. 5 No. 2, Juli 2004 : 89 – 95.
Smits, W.T.M. 2003. Pedoman Sistem Cabutan Bibit Dipterocarpaceae Edisi Khusus No.6, 2006. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda.
Whitmore, T.C. 1988. Forest types and forest zonation. In: Earl of Cranbrook (ed.) Malaysia. Key Environments Series. Pergamon Press. Oxford.