Spesies untuk Rehabilitasi Lahan Gambut

pict : RimbaKita.com

Oleh: Linda Ratnasiwi   Editor: Wawan Sadewo

Lahan gambut yang terdegradasi mengalami penurunan kualitas lahan, baik dari sifat kimia, fisika, maupun biologi (Masganti et al., 2014). Lahan gambut yang terdegradasi karena pembuatan saluran drainase yang berlebih akan menyebabkan tinggi muka air gambut semakin menurun, terjadinya subsiden, serta mempercepat dekomposisi sehingga lapisan gambut habis (Basri et al., 2006). Menurut Wahyunto dan Dariah (2014), jika diukur dari permukaan tanah, lahan gambut yang terdegradasi akibat dibuat kanal drainase memiliki tinggi muka air tanah > 25 cm di musim hujan dan > 80 cm di musim kemarau. Pada lahan gambut dengan ketebalan > 3 m yang telah terdegradasi akan mengalami subsiden (penurunan permukaan tanah) rata-rata 35 cm per 5 tahun atau mengalami penurunan 10 % dari ketebalan gambut < 3 m (Wahyunto dan Dariah, 2014). Hal tersebut menyebabkan munculnya lapisan tanah mineral ke permukaan. Lapisan tanah mineral berpotensi mengandung sulfat masam yang bersifat toksik apabila diserap oleh tanaman (Basri et al., 2006). Lahan sulfat masam tersebut pada umumnya berasosiasi dengan lahan gambut. Apabila lapisan gambut yang berada di lapisan atas semakin menipis, maka lapisan pirit akan semakin muncul ke permukaan (Suastika et al., 2015).

Kegiatan penanaman di lahan gambut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya kondisi cuaca dan bulk density rendah (Santosa, 2011). Penanaman tidak dapat dilakukan pada musim penghujan dengan kondisi lahan gambut terbuka dan mengalami subsiden dikarenakan kondisi lahannya tergenang. Penanaman baru dapat dilakukan saat kondisi air telah surut (mendekati musim kemarau) (Santosa, 2011). Lahan gambut yang telah terdegradasi cenderung memiliki nilai pH tanah dan bulk density tergolong rendah sehingga kurang mendukung untuk pertumbuhan tanaman (Santosa, 2011). Nilai bulk density yang rendah mengakibatkan daya sangga tanaman rendah, pertumbuhan tanaman terganggu, dan tanaman mati. Beberapa alternatif penyelesaian untuk permasalahan tersebut adalah dilakukan pemadatan, pencacahan tanah gambut, dan penanaman dengan polibag (Santosa, 2011).

Lahan gambut yang cenderung dalam keadaan tergenang menyebabkan proses dekomposisi menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan nilai pH pada tanah gambut menjadi rendah. Nilai pH pada tanah gambut yang cenderung rendah menyebabkan beberapa jenis unsur hara makro esensial sedikit tersedia untuk dapat diserap oleh tanaman. Sifat lahan gambut yang masam, miskin hara, serta kandungan asam organik fenolat yang tinggi menyebabkan perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman menjadi terganggu (Subiksa et al., 2014). Kondisi lahan gambut yang memiliki pH dan unsur hara rendah dapat mengakibatkan tanaman menjadi stress sehingga pertumbuhan terganggu. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut, yaitu dengan pemberian amilioran (pupuk kandang, abu, kapur, kompos), PMLT (Pupuk Majemuk Lepas Terkendali), dan aplikasi mikoriza pada bibit (Santosa, 2011).

Pemilihan jenis spesies yang tepat merupakan salah satu aspek penting dalam mendukung keberhasilan penanaman di lahan gambut. Pemilihan jenis spesies untuk kegiatan penanaman di lahan gambut harus memperhatikan ketersediaan bibit dan sifat silvika jenis spesies. Menurut Pratiwi et al. (2014) jenis spesies yang mampu tumbuh pada lahan gambut biasanya merupakan spesies asli yang secara alami memiliki kemampuan beradaptasi pada kondisi tanah gambut. Penanaman di lahan gambut pada umumnya menggunakan jenis lokal karena telah teruji mampu beradaptasi pada tanah gambut (Pratiwi et al., 2014). Jenis spesies pionir atau spesies yang mampu beradaptasi pada lahan terbuka juga merupakan salah satu alternatif jenis untuk ditanam di lahan gambut (Purwanto dan Supriyo, 2012). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KemenLHK] (2015), beberapa jenis yang biasanya ditanam pada areal rawa gambut aitu Sagu (Metroxylon sago), Nipah (Nypa fruticans), Jelutung Rawa (Dyera polyphylla), Gelam (Malaleuca cajuputi) dan Purun (Eleocharis dulcis). Sementara itu, jenis-jenis pohon penghasil kayu seperti Ramin (Gonystylus bancanus) dan Balangeran (Shorea balangeran) umumnya ditanam untuk rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KemenLHK], 2015).

Jenis spesies yang tumbuh di lahan gambut membentuk struktur khusus pada bagian tubuhnya seperti lentisel dan akar nafas untuk beradaptasi pada kondisi lahan gambut. Jelutung rawa memiliki daya adaptasi yang baik dan teruji pada lahan gambut, karena memiliki pneumatofor (akar nafas) sehingga mampu bertahan hidup di lahan yang tergenang (Tata et al., 2015). S. balangeran dapat tumbuh pada lahan rawa gambut yang memiliki keasaman tinggi dan pada areal terbuka (Robby, 2010) serta merupakan jenis pionir karena memiliki daya adaptasi yang baik (Giesen, 2004 dalam Santosa dan Ariani, 2020). Menurut Santosa dan Ariani (2020), S. balangeran dapat bertahan hidup dalam lahan tergenang karena memiliki lentisel hipertrofi. Lentisel hipertrofi berfungsi dalam proses difusi oksigen ke sistem akar dan dapat meningkatkan porositas untuk mendukung perkembangan akar (Iriani et al., 2013). Selain itu, S. balangeran juga membentuk akar khusus (akar adventif) yang berfungsi untuk menggantikan akar utama ketika sistem perakaran asli tidak mampu memasok air dan mineral yang dibutuhkan tanaman (Santosa dan Ariani, 2020).

Teknologi penanaman di lahan gambut pada umumnya menggunakan wadah bibit berupa polibag. Penanaman dilakukan dengan merobek bagian bawah polibag, kemudian ditanamkan secara langsung pada lahan gambut (Lazuardi, 2014 dalam Santosa, 2011). Namun, cara tersebut tidak dapat diterapkan pada lahan gambut terdegradasi dan tergenang karena bibit akan terendam. Kondisi tersebut berpotensi mengakibatkan media bibit akan lepas dari ikatan perakaran yang sehingga akar-akar serabut putus. Hal tersebut menyebabkan bibit mengalami stres dan mudah mengalami kematian pada saat awal penanaman (Santosa, 2011). Menurut Santosa (2011), inovasi teknik penanaman di lahan gambut tergenang adalah dengan menambahkan amelioran berupa bahan organik dan pupuk kandang dalam media pres yang digunakan sebagai media tanam. Media pres terdiri dari gambut, kompos, dan pupuk kandang yang dipres sehingga materi substrat bersifat padat (Santosa, 2011) (Gambar 1.).

 

Gambar 1. Ilustrasi media pres (Sumber: Santosa (2011)).

Media pres atau press block medium merupakan salah satu alternatif yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman pada lahan marginal seperti lahan gambut terdegradasi. Press block medium mampu mempertahankan keberadaan unsur hara dan mempermudah proses pengaplikasian penanaman di lahan yang ingin ditanami (Saragih et al., 2018). Menurut Saragih et al. (2018), produk prototipe press block medium yang dapat digunakan di lahan marginal seperti gambut, yaitu Press Block Medium Standard (PBMSr). Press Block Medium Standard (PBMSr) ini terdiri dari lempung, pupuk kandang, dan pupuk dasar NPK, yang bersifat non-residual. Press Block Medium Standard (PBMSr) sesuai untuk berbagai macam tumbuhan dengan diameter dan tinggi media 15 cm (Saragih et al., 2018).

Gambar 2. Produk Press Block Medium Standard (PBMSr) (Sumber: Saragih et al., 2018))

            Lahan gambut yang terdegradasi memiliki kualitas tapak yang kurang mendukung untuk pertumbuhan tanaman. Degradasi yang terjadi menyebabkan sifat kimia, biologi dan fisika lahan gambut tidak berfungsi dengan baik. Salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan rehabilitasi lahan gambut terdegradasi adalah pemilihan jenis spesies yang tepat. Apabila jenis spesies yang dipilih sesuai dengan kondisi lahan gambut, maka persen hidup tanaman cenderung lebih tinggi. Oleh karena itu, strategi pemilihan jenis spesies harus direncanakan dengan matang sesuai tujuan penanaman dalam rehabilitasi, yaitu untuk memperbaiki fungsi hidroorologi dan kesuburan lahan gambut.

 

Sumber:

Basri, H., M.R. Alibasyah, dan L. Indriansyah. 2006. Perubahan Beberapa Sifat Fisika dan Kimia Gambut Jambo Aye-Aceh Utara Akibat Perlakuan Berbagai Kedalaman Drainase. Agrista, 10 (1), 29-35.

Iriani, D., Sujarwati, dan S. Kholia. 2013. Adaptasi Lima Kultivar Semai Durian Asal Desa Aursati Kabupaten Kampar Terhadap Penggenangan Ditinjau dari Struktur Anatomi Akar. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, (Hal: 231-234). Lampung: Universitas Lampung.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KemenLHK]. 2015. Pedoman Pemulihan Ekosistem Gambut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (tidak dipublikasikan).

Masganti, Wahyunto, A. Dariah, Nurhayati, dan R. Yusuf. 2014. Karakteristik dan Potensi Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradasi di Provinsi Riau. Sumberdaya Lahan, 8 (1), 59 – 66.

Purwanto, B.S., dan H. Supriyo. 2012. Budidaya Shorea balangeran di Lahan Gambut: Kondisi Lingkungan Tempat Tumbuh Balangeran (Shorea balangeran) di Hutan Rawa Gambut. Banjarbaru: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Pratiwi, B.H. Narendra, G.M.E. Hartoy, T. Kalima, dan S. Pradjadinata. 2014. Atlas Jenis-jenis Andalan Setempat untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia. Bogor: Forda Press.

Robby, A.N. 2010. Penampilan Tanaman Ujicoba Waktu Tanam Pada Jenis Balangeran (Shorea balangeran Burck.) di KHDTK Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. Galam, 4 (1), 9-18.

Santosa, P.B. 2011. Kendala dan Upaya Meningkatkan Keberhasilan Penanaman di Lahan Gambut. Galam, 5 (1), 1-12.

Santosa, P.B. dan R. Ariani. 2020. Penampilan Tanaman Balangeran untuk Restorasi Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Lingkungan Lahan Basah, 5 (3), 122-125.

Saragih, D.P.P., M. P. Bimantio, dan Yuslinawari. 2018. Perancangan Press Block Medium (PBM) dengan Macam Bentuk Nutrisi Sebagai Solusi Media Tanam Pada Lahan Marginal. Prosiding Seminar INSTIPER, (Hal: 56-62). Yogyakarta: Institut Pertanian STIPER.

Suastika, I.W., W. Hartatik, dan I.G.M. Subiksa. 2015. Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 95-120.

Subiksa, I.G.M., I.G.P. Wigena, D. Setyorini, Salwati, Nurhayati, T. Sugiarti, dan A. Firmansyah. 2014. Respon Tanaman karena Pengaruh Ameliorasi Tanah di Lahan Gambut. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi untuk Mitigasi Emisi GRK dan Peningkatan Nilai Ekonomi, (Hal: 25-44). Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Tata, H. L., Bastoni, M. Sofiyuddin, E. Mulyoutami, A. Perdana, dan Janudianto. 2015. Jelutung Rawa: Teknik Budidaya dan Prospek Ekonominya. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF).

Wahyunto dan A. Dariah. 2014. Degradasi Lahan di Indonesia: Kondisi Existing, Karakteristik, dan Penyeragaman Definisi Mendukung Gerakan Menuju Satu Peta. Sumberdaya Lahan, 8 (2), 81-93.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.