Kendala yang Dihadapi dalam Rehabilitasi Mangrove

picture : Oceana

 

Kawasan mangrove merupakan suatu ekosistem unik yang lingkungan hidupnya harus berada di area yang dipengaruhi pasang surut air laut yang berpengaruh terhadap pola sebaran mangrove hingga ke berbagai tempat (Priyono, 2010). Keunikan tersebut membuat kawasan mangrove memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi namun sangat rentan terhadap kerusakan akibat ulah manusia. Kawasan mangrove memiliki peran penting sebagai sistem penyangga kehidupan. Kawasan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi seperti menjadi tempat hidup berbagai flora fauna khas ekosistem mangrove, sebagai pemecah ombak, sebagai mitigasi dalam peningkatan muka air laut, dan sebagai penyerap karbondioksida (CO2) dari udara (Murdiyarso dkk., 2015). Pentingnya peran terhadap lingkungan dan banyaknya kerusakan yang telah terjadi membuat upaya rehabilitasi kawasan mangrove semakin perlu dilakukan dan ditingkatkan.

Tingginya tingkat kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di Indonesia menyebabkan semakin sulitnya pengendalian terhadap kerusakan tersebut.  Food and Agriculture Organization (FAO) (2007) menyatakan bahwa dalam 30 tahun terakhir Indonesia kehilangan sekitar 40% luas hutan mangrove. Rehabilitasi telah dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan peran ekosistem kawasan mangrove sebagaimana mestinya. Sayangnya, upaya rehabilitasi yang dilakukan pada kawasan mangrove seringkali menemui berbagai kendala. Kegiatan rehabilitasi telah banyak dilakukan tetapi kurang memperhatikan hal – hal jangka panjang sehingga tanaman hasil rehabilitasi banyak yang mati. Kendala yang dihadapi dalam rehabilitasi mangrove antara lain:

1. Kendala Sosial Ekonomi

  • Alih fungsi lahan

Semakin meningkatnya jumlah penduduk membuat kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Banyak kendala yang dihadapi seperti semakin sempitnya kawasan mangrove karena pembangunan tambak (Poedjirahajoe, 2007). Seringkali pembangunan pemukiman maupun perluasan tambak tidak memperhatikan kondisi lahan dan tata letaknya terhadap kawasan mangrove. Hal tersebut membuat rehabilitasi mangrove yang telah dilakukan menjadi gagal karena daya dukung lahan untuk kehidupan mangrove semakin berkurang. Maka dari itu, diperlukan upaya pemanfaatan kawasan mangrove yang lebih berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kelestarian mangrove seperti pengembangan tambak – tambak dengan model silvofishery dan penguatan regulasi tentang permukiman di kawasan mangrove.

  • Tekanan Penduduk Terhadap Lahan

Setelah rehabilitasi mangrove dilakukan, setidaknya diperlukan beberapa tahun hingga mangrove bisa memberikan manfaat dari sumber daya di dalamnya. Adanya tekanan penduduk terhadap ekosistem mangrove terkait sumber daya mangrove yang belum waktunya dapat mengurangi keberhasilan rehabilitasi. Hal ini seringkali diindikasikan dengan dilakukannya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) mangrove yang belum waktunya atau melebihi kemampuan ekosistem mangrove dalam menyediakan SDA tersebut. Diperlukan pembuatan regulasi yang tegas dan pola pemanfaatan ekosistem mangrove yang ramah lingkungan untuk mempertahankan ekosistem mangrove.

  • Sumber Daya Manusia dan Partisipasi Masyarakat

Partisipasi  masyarakat  berperan penting dalam  pelestarian hutan mangrove sebagai sarana pengurangan resiko bencana serta pelaksana kegiatan rehabilitasi (Pratiwi dan Alhadi, 2020). Sumber daya manusia (SDM) dan peran masyarakat sekitar dalam upaya rehabilitasi mangrove dibutuhkan dalam rangka membangun, menjaga, dan mengelola kawasan mangrove tersebut. Diperlukan upaya pemanfaatan kawasan mangrove yang lebih berkelanjutan dengan tetap memperhatikan sumber daya manusia dan partisipasi masyarakat.  Hal ini dilakukan mengingat proses rehabilitasi relatif lama, sehingga tersedianya SDM yang mumpuni dan partisipasi masyarakat yang aktif dapat memperbesar peluang keberhasilan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan.

sumber : tempo.co

 

2. Kendala Kondisi Biofisik Lahan

  • Perubahan Kondisi Ekosistem Mangrove

Perubahan pada ekosistem mangrove dapat menghambat terjadinya regenerasi alami di hutan mangrove. Perubahan kondisi ekosistem mangrove seringkali disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti tambak udang yang terlantar, lahan yang gundul karena penebangan, atau hutan mangrove yang kering akibat adanya perubahan hidrologi sebagai dampak dari pembuatan tanggul, jalan dan pembabatan hutan di hulu sungai. Perubahan kondisi ekosistem mangrove tersebut dapat menyebabkan berbagai tekanan seperti, kurangnya air tanah, terhambatnya pertukaran air pasang/surut, tingginya kadar garam atau sulfat tanah, penggembalaan ternak, serta abrasi garis pantai dan penurunan ketinggian substrat (Brown, 2006). Sangat penting untuk menemukan penyebab perubahan kondisi ekosistem mangrove kemudian membuat rancangan perbaikan agar dapat mengembalikan ekosistem mangrove seperti semula.

  • Salinitas Terlalu Tinggi

Apabila akan melakukan rehabilitasi mangrove maka harus diketahui dahulu berapa salinitas atau kadar garam dari tempat tumbuhnya. Menurut penelitian yang dilakukan Poedjirahajoe (2007) di wilayah Pantura Brebes pada kadar salinitas berbeda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan mangrove di wilayah tersebut. Apabila salinitas terlalu tinggi maka pertumbuhan mangrove akan terhambat. Hal itu terjadi karena kadar garam berpengaruh dalam menentukan seberapa besar jumlah komponen biotik yang mendukung pertumbuhan mangrove dan juga keberhasilan metabolisme sel – sel makhluk hidup. Maka dari itu, diperlukan pemilihan zona yang tepat dengan kadar salinitas tidak terlalu tinggi untuk melakukan rehabilitasi mangrove serta penggunaan spesies sesuai zonasi yang dapat mentoleransi salinitas tertentu agar upaya rehabilitasi berhasil.

  • Suhu Terlalu Tinggi

Rehabilitasi mangrove juga harus mempertimbangkan suhu udara dan perairan dimana mangrove tersebut akan ditanam. Suhu perairan yang terlalu tinggi juga berpengaruh sangat signifikan pada saat awal penanaman. Menurut Wantasen (2013), suhu tinggi dapat menghambat proses fisiologis tumbuhan. Ketika suhu perairan tinggi, bibit yang ditanam kemungkinan besar tidak mampu tumbuh dengan baik (Poedjirahajoe, 2007). Hal itu disebabkan oleh kemampuan fotosintesis dan produksi daun menjadi menurun, pertumbuhan struktur akar yang tidak maksimal.

  • Ketebalan Lumpur

Meningkatnya jumlah sedimentasi di kawasan mangrove dari sungai – sungai yang telah terhambat di sekitarnya membuat habitat tersebut menjadi kurang sesuai untuk tempat tumbuh mangrove. Kandungan oksigen terlarut di dalam lumpur akan mempengaruhi pertumbuhan mangrove (Kesuma dkk., 2016). Apabila lumpur terlalu tebal maka oksigen yang tersedia bagi perakaran mangrove akan makin berkurang (Halidah, 2010). Maka, penting untuk diketahui spesies yang dapat dikembangkan pada zona dengan ketebalan lumpur tertentu.

  • Kedalaman dan Frekuensi Genangan

Kedalaman dan frekuensi genangan dipengaruhi oleh topografi dan kemiringan hutan mangrove. Setiap spesies tanaman mangrove memiliki kesesuaian  kedalaman dan frekuensi genangan yang berbeda-beda. Sehingga perlu dilakukan pengukuran ketinggian substrat di areal mangrove yang masih bagus kondisinya untuk menentukan spesies mangrove yang sesuai pada setiap kedalamannya (Brown, 2006).

  • PH Tinggi

Ketika kadar garam pada tempat tumbuh mangrove meningkat maka hal itu membuat pH tanah nya semakin meningkat. pH tanah yang terlalu tinggi membuat mangrove tidak akan tumbuh dengan baik bahkan bisa mengalami kematian. Kadar amonia yang beracun terlarut dalam bentuk NH4 juga akan meningkat seiring meningkatnya pH, dan suhu (Wantasen, 2013).

 

Oleh : Sya’bana Farhan Tsani      Editor : Galang Rama Asyari

source :

Brown, B. 2006. 5 Tahap Rehabilitasi Mangrove. Mangrove Action Project dan Yayasan Akar Rumput Laut Indonesia. Yogyakarta.

Halidah, H. 2010. Pertumbuhan Rhizophora mucronata Lamk. pada Berbagai Kondisi Substrat di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Sinjai Timur Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7 (4): 399-412.

Kesuma, R. A., Kustanti, A., dan Hilmanto, R. 2016. Pertumbuhan Riap Diameter Pohon Bakau Kurap (Rhizophora mucronata) di Lampung Mangrove Center. Jurnal Sylva Lestari 4 (3): 97-106.

Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. B., Warren, M. W., Sasmito, S. D., Donato, D. C., Manuri, S., Krisnawati, H., Taberima, S. and Kurnianto, S. 2015. The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nature Climate Change 5 (12): 1089-1092.

Poedjirahajoe, E. 2007. Dendrogram Zonasi Pertumbuhan Mangrove Berdasarkan Habitatnya di Kawasan Rehabilitasi Pantai Utara Jawa Tengah Bagian Barat. Jurnal Ilmu Kehutanan 1 (2): 10-21

Pratiwi, N. A., dan Alhadi, Z. 2020. Kendala Pemerintah Dalam Kegiatan Pelestarian Mangrove Sebagai Sarana Pengurangan Resiko Bencana di Kota Pariaman. Jurnal Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik 2 (3): 87-95.

Priyono, A. 2010. Panduan Praktis Teknik Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Pesisir Indonesia. Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KaSEMaT). Semarang

Rahmanto, B. D. 2020. Peta Mangrove Nasional dan Status Ekosistem Mangrove di Indonesia. Direktorat Konservasi Tanah dan Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Disampaikan Dalam Webinar “Development for Mangrove Monitoring Tools in Indonesia”. Jakarta.

Wantasen, A. S. 2013. Kondisi Kualitas Perairan dan Substrat Dasar Sebagai Faktor Pendukung Aktivitas Pertumbuhan Mangrove di Pantai Pesisir Desa Basaan I, Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal Ilmiah Platax 1 (4) : 204 – 209.

Widianto, E. 2016. Laju Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia Tercepat di Dunia. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/811899/laju-kerusakan-hutan-mangrove-di- indonesia-tercepat-di-dunia. pada tanggal 1 Mei 2020 pukul 13.00 WIB.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.