Rekayasa Silvikultur dalam Rehabilitasi Ekosistem Mangrove

source : mangrovemagz.com

 

Ekosistem mangrove memiliki tipe yang khas yaitu berada di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Julaikha dan Lita, 2017). Ekosistem mangrove berperan penting sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut, yang mana tumbuhan, hewan, dan berbagai nutrisi dialihkan ke arah darat atau laut melalui mangrove (Zamroni dan Immy, 2008). Kondisi ekosistem mangrove saat ini berstatus kritis dengan tingkat degradasi mencapai 637.624,31 ha atau setara 19,26 % dari total ekosistem mangrove di Indonesia (Rahmanto, 2020 dalam Jacinda, 2020). Berdasarkan data Center for International Forestry Research (CIFOR), deforestasi mangrove di Indonesia telah menghilangkan 190 juta metrik ton setara tiap tahun dan mengalami tekanan dengan ancaman laju degradasi yang tinggi mencapai 52.000 ha/tahun (Jacinda, 2020). Apabila keberadaan  di atmosfer meningkat, maka akan memicu terjadinya perubahan iklim secara global (Nanlogy dan Masniar, 2020). Oleh karena itu, rehabilitasi ekosistem mangrove sangat perlu dilakukan. Kegiatan rehabilitasi ini penting untuk mengembalikan fungsi ekosistem mangrove, yaitu sebagai pelindung kawasan pesisir, mengurangi abrasi pantai dan intuisi air laut, mempertahankan keberadaan flora-fauna laut, sebagai penyangga sedimentasi (Ritohardoyo dan Galuh, 2014), serta membantu penyerapan .

Upaya konservasi pada ekosistem mangrove telah dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi, yaitu dengan penanaman mangrove kembali (Ika, 2014). Menurut Ika (2014), langkah rehabilitasi tersebut telah berhasil dilakukan di sejumlah kawasan, namun di sebagian lain mengalami kegagalan. Kegagalan rehabilitasi sebagian besar disebabkan oleh penerapan rekayasa silvikultur yang kurang tepat (Erny dalam Ika, 2014).

Kegiatan rehabilitasi terhadap faktor lingkungan ekosistem mangrove dapat ditingkatkan melalui rekayasa silvikultur. Rekayasa silvikultur merupakan upaya untuk mengaplikasikan pendekatan teknis budidaya hutan yang tepat pada kondisi tapak tertentu (Budiadi dalam Widiyanto, 2017). Menurut Budiadi dalam Widiyanto (2017), rekayasa silvikultur pada prinsipnya dilakukan guna mempercepat pertumbuhan tanaman secara spesifik sesuai dengan kondisi setempat.

Sebelum melakukan rehabilitasi, sangat penting untuk mengetahui kondisi ekosistem mangrove terbaru, khususnya pada ekosistem yang telah mengalami degradasi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain kondisi hidrologi ekosistem mangrove, kondisi substrat, salinitas, sedimentasi, dan struktur vegetasi yang tersisa di ekosistem mangrove tersebut. Hal ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau acuan dalam pemilihan strategi rehabilitasi yang akan dilakukan. Apabila terjadi perubahan nyata terhadap kondisi fisik ekosistem mangrove, maka sangat penting untuk memperbaiki sistem ekosistem mangrove terlebih dahulu guna meningkatkan keberhasilan program rehabilitasi. Sedangkan apabila kondisi fisik ekosistem mangrove relatif sama, maka dapat segera dilakukan penanaman dengan tetap menerapkan rekayasa silvikultur yang tepat (Djamaluddin, 2017).

Penerapan beberapa rekayasa silvikultur dapat menjadi upaya yang efektif untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman di ekosistem mangrove. Oleh karena itu, rekayasa silvikultur yang tepat sangat dibutuhkan dalam rehabilitasi guna mengembalikan fungsi biologi, fisik, dan kimia ekosistem mangrove. Beberapa rekayasa silvikultur yang dapat dilakukan antara lain:

A. Pembuatan Alat Pemecah Ombak (APO)

Alat pemecah ombak (APO) dapat dibangun untuk melindungi bibit-bibit mangrove yang telah ditanam di lokasi program rehabilitasi mangrove (Priyono, 2010). Tipe-tipe APO menurut Yulistiyanto (2009) dan Wiharja & Naviarta (2015) dalam Yesiana dkk. (2016), antara lain:

  1. APO tipe box-beton (kubus beton);
  2. APO tipe kayu berbentuk lengkung;
  3. APO tipe kayu berbentuk lurus;
  4. APO tipe paralon dan ban;
  5. APO tipe buis beton;
  6. APO tipe bambu ban; dan
  7. APO tipe brushwood dam/tipe permeable dam/tipe hybrid engineering (HE).

 

Gambar 1. APO tipe bambu ban (Sumber: Yesiana dkk. (2016))

 

Gambar 2. APO tipe Hybrid Engineering (HE) (Sumber: Yesiana dkk. (2016))

 

Pengaplikasian tipe-tipe APO ini perlu mempertimbangkan dasar pantai di ekosistem mangrove. Menurut Yesiana dkk. (2016), model APO tipe bambu ban (Gambar 1.) dapat diaplikasikan di pesisir dengan dasar berupa lumpur berpasir, yang mana mampu melindungi tambak dari gelombang pasang tinggi. Sementara itu, pengaplikasian APO tipe HE (Gambar 2.) didasarkan pada pertimbangan sedimen lumpur halus (Yesiana dkk., 2016). Menurut Yesiana dkk. (2016), HE berguna memulihkan pantai lumpur untuk daerah penanaman mangrove, serta mengembalikan wilayah mangrove yang terdegradasi  akibat erosi dan abrasi. Selain itu, HE juga mempercepat pemulihan habitat untuk mangrove yang membutuhkan pendangkalan sedimen halus dan tingkat sedimentasi yang lebih besar (Yesiana dkk., 2016).

 

B. Pembuatan Kanal

Kegiatan pembangunan seperti perkerasan jalan di area mangrove merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terganggunya ekosistem mangrove. Hal ini dikarenakan terjadinya perubahan tutupan lahan menjadi area perkerasan jalan yang akan menghalangi pergerakan air dan menurunkan nutrisi tanah (Pratama dan Lestario, 2018). Rekayasa tapak secara fisik yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut, yaitu dengan pembuatan kanal/sumur bor. Pembuatan kanal ini berguna untuk memberikan ruang sirkulasi air dari bibir sungai sampai ke dalam kawasan mangrove (Pratama dan Lestario, 2018).

 

C. Penanaman Dengan Teknik Guludan

Gambar 3. Implementasi Teknik Guludan untuk Penanaman di Kawasan Mangrove (medcom.id)

Rekayasa tapak untuk rehabilitasi ekosistem mangrove yang terdegradasi karena konversi menjadi tambak, yaitu melalui penanaman dengan teknik guludan (Ashari dkk., 2018). Menurut Cecep dalam Larasati (2020), inovasi teknik guludan untuk penanaman mangrove dilakukan dengan membentuk ruangan yang diisi tanah berukuran tertentu, lalu dibatasi oleh tonggak-tonggak batang bambu (Gambar 3.). Media tanam yang digunakan adalah tanah mineral yang dicampur dengan tanah lumpur, kemudian dimasukkan ke dalam ruangan guludan (Cecep dalam Larasati, 2020). Pada awal penanaman, tanah di guludan dibuat lebih tinggi 20 cm dari muka air untuk memperpendek genangan air sampai pada zona perakaran bibit mangrove (Kusmana, 2010). Menurut Kusmana dkk. (2014), penanaman dengan teknik guludan terdiri atas tiga tahapan, yaitu: (1) pembuatan konstruksi guludan berukuran lebar 4 – 5 m, panjang 6 – 10 m, dan tinggi sesuai kedalaman air; (2) pengurugan guludan dengan karung tanah di bagian bawah, lalu ditutupi oleh tanah curah setebal 30 – 50 cm di bagian atasnya sebagai media tumbuh; dan (3) penanaman bibit mangrove dengan jarak tanam rapat (0,25 m x 0,25 m), sedang (0,5 m x 0,5 m), dan jarang (1 m x 1 m).

 

D. Pemilihan Jenis Tanaman Sesuai Zonasi di Ekosistem Mangrove

Gambar 4. Zonasi berdasarkan jenis tanaman penyusun di ekosistem mangrove

Ekosistem mangrove memiliki beberapa karakteristik dasar, yaitu tingkat pelumpuran yang tinggi, kadar oksigen rendah, salinitas tinggi, dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Nybakken, 1988 dalam Winata, 2016). Oleh karena itu, pemilihan jenis tanaman untuk rehabilitasi ekosistem mangrove perlu direncanakan dengan matang. Menurut Bengen (2002) dalam Himiteka (2017), jika diruntut dari arah laut ke arah daratan, jenis-jenis tanaman penyusun ekosistem mangrove dapat dibedakan menjadi 4 zonasi, antara lain:

  1. Zona Api-api dan Prepat                                                                                                                                                                                                                                                                              Zona ini terletak paling luar atau terdekat dengan laut, yang mana memiliki karakteristik tanah berlumpur agak lembek (dangkal), substrat agak berpasir, sedikit bahan organik, dan kadar garam cukup tinggi. Jenis tanaman yang dapat dipilih untuk zona ini, yaitu jenis api-api (Avicennia sp.) dan prepat (Sonneratia sp.), serta berasosiasi dengan jenis bakau.
  2. Zona Bakau                                                                                                                                                                                                                                                                                                   Zona ini terletak di belakang api-api dan prepat, dengan karakteristik tanah berlumpur lembek (dalam). Jenis tanaman untuk zona ini, yaitu bakau (Rhizophora sp.) dan berasosiasi dengan jenis tanjang.
  3. Zona Tanjang                                                                                                                                                                                                                                                                                                Zona ini terletak di belakang zona bakau, cukup jauh dari laut, namun dekat dengan daratan, yang mana memiliki karakteristik berlumpur cukup keras dan cukup jauh dari garis pantai. Jenis tanaman untuk zona ini adalah jenis tanjang (Bruguiera sp.).
  4. Zona Nipah                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Zona ini terletak paling jauh dari laut atau terdekat dengan daratan. Karakteristik dari zona ini, yaitu mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut, dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Jenis tanaman untuk zona ini, yaitu nipah (Nypa fruticant) dan beberapa jenis palem.

 

E. Teknik Perbanyakan Akar in vitro dengan Induksi Akar

Rekayasa silvikultur untuk meningkatkan pertumbuhan akar tanaman dapat dilakukan melalui teknik perbanyakan akar adventif secara in vitro, yaitu dengan induksi akar.  Induksi akar adalah suatu upaya untuk menumbuhkan akar dari bagian tanaman (eksplan), sehingga diperoleh jumlah perakaran yang cukup untuk mendukung pertumbuhan selanjutnya pada lokasi penanaman di lapangan (Novita dkk., 2007). Saat proses induksi akar, bagian bawah eksplan dipotong menjadi ± 0,5 cm, lalu direndam dalam larutan perangsang akar (Minaldi, 2006 dalam Novita dkk., 2007) selama 2-3 jam. Selanjutnya, eksplan dikeringkan dan ditanam pada media yang sudah disiapkan (Novita dkk., 2007). Menurut Novita dkk. (2007), selama masa pertumbuhan akar dilakukan penyemprotan pupuk cair, fungisida, dan bakterisida pada minggu pertama sebanyak 3 kali seminggu, selanjutnya 2 kali seminggu. Kondisi lingkungan sungkup yang terbaik dalam ruang kultur, yaitu dengan kelembaban 80 – 90 % dan suhu 30 – 37 % dikarenakan pada kondisi tersebut tingkat pembentukan akar dapat mencapai 94 % (Novita dkk., 2007).

 

F. Pemilihan Jarak Tanam

Jarak tanam untuk pananaman di ekosistem mangrove harus disesuaikan dengan kecepatan gelombang (Erny dalam Ika, 2014). Menurut Erny dalam Ika (2014) arus gelombang kecil yang ada di mangrove sangat berpengaruh terhadap kemampuan semai untuk bertahan dari kekuatan arus meskipun sudah diikat dengan ajir. Penanaman pada arus gelombang yang agak tinggi dapat menggunakan jarak tanam 1 m x 1 m, sedangkan pada arus gelombang kecil menggunakan jarak tanam 2 m x 1 m (Erny dalam Ika, 2014).

 

G. Pengaturan Pola Tanam

Pola penanaman di ekosistem mangrove harus mengikuti kaidah-kaidah silvikultur yang telah ditetapkan melalui peraturan perundangan (Erny dalam Ika, 2014). Pola penanaman yang sesuai aturan dapat mempermudah untuk menumbuhkan kembali mangrove yang rusak, sehingga ekosistem mangrove dapat menjalankan fungsinya sebagai penghalau gelombang, penahan abrasi dan intrusi (Erny dalam Ika, 2014). Namun, hal ini juga harus bersifat fleksibel sesuai dengan kondisi lapangan yang ditemui.

 

Penulis: Linda Ratnasiwi             Editor: Galang Rama Asyari

 

Sumber:

Djamaluddin, Rignolda. 2017. Teknik Rehabilitasi Lahan Mangrove. Manado: FPIK UNSRAT.

Himiteka. 2017. Zonasi Mangrove. Diakses dari https://himiteka.lk.ipb.ac.id/2017/10/02/zonasi-mangrove/ pada 2 Maret 2021 pukul 22:53 WIB.

Ika. 2014. Sistem Silvikultur Tidak Tepat Hambat Rehabilitasi Hutan Mangrove. Diakses dari https://ugm.ac.id/id/berita/9620-sistem-silvikultur-tidak-tepat-hambat-rehabilitasi-hutan-mangrove pada 11 Februari 2021 pukul 01:17 WIB.

Jacinda, A.K. 2020. Ayo Lestarikan Ekosistem Mangrove Pada Tahun 2021 yang akan datang. Diakses dari https://www.minapoli.com/info/ayo-lestarikan-ekosistem-mangrove-pada-tahun-2021-yang-akan-datang pada 10 Februari 2021 pukul 23:48 WIB.

Julaikha, S., dan Lita, S. 2017. Nilai Ekologis Ekosistem Hutan Mangrove. Jurnal Biologi Tropis. 17 (1): 23-31.

Kusmana, C. 2010. The Growth of Rhizophora mucronata and Avicennia marina Seedlings Planted Using Guludan Technique in Coastal Area of Jakarta. Paper. Presented at the 5th Kyoto University Southeast Asia Forum, Conference of the Earth and Space Sciences, 7-8 Januari 2010. Bandung: Bandung Technology Institute.

Kusmana, C., Istomo, dan Tarma, P. 2014. Teknik Guludan Sebagai Solusi Metode Penanaman Mangrove Pada Lahan yang Tergenang Air yang dalam. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. 1 (3): 165-171.

Larasati, C. 2020. Dosen IPB Temukan Inovasi Guludan untuk Rehabilitasi Mangrove. Diakses dari https://m.medcom.id/amp/PNgWz20N-dosen-ipb-temukan-inovasi-guludan-untuk-rehabilitasi-mangrove pada 15 Februari 2021 pukul 23:41 WIB.

Nanlohy, L. H., dan Masniar. 2020. Manfaat Ekosistem Mangrove dalam Meningkatkan Kualitas Lingkungan Masyarakat Pesisir. Journal of Community Service Universitas Muhammadiyah Sorong. 2 (1): 1-4.

Novita, L., Teuku, T., dan Minaldi. 2007. Optimasi Masa Induksi Akar Pada Kultur Ex Vitro Jarak Pagar (Jatropa curcas L.). Prosiding: Inovasi Teknologi Jarak Pagar Mendukung Desa Mandiri, (Hal: 139-144). Malang: Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Kementerian Pertanian.

Pratama, R.A., dan Lestario, W. 2018. Strategi Perencanaan dan Rekayasa Lingkungan untuk Mewujudkan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan. Jurnal Teknologi Lingkungan. 19 (01): 135-144.

Priyono, A. 2010. Panduan Praktis Teknik Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Pesisir Indonesia. Semarang: KeSEMaT.

Poedjirahajoe, E., Djoko, M., dan Frita, K. W. 2017. Penggunaan Principal Component Analysis dalam Distribusi Spasial Vegetasi Mangrove di Pantai Utara Pemalang. Jurnal Ilmu Kehutanan. 11: 29-42.

Widiyanto, D. 2017. Semen Baturaja Gandeng Fakultas Kehutanan UGM. Diakses dari https://www.krjogja.com/pendidikan/kampus/semen-baturaja-gandeng-fakultas-kehutanan-ugm/ pada 14 Februari 2021 pukul 21:19 WIB.

Winata, A. 2016. Tingkat Keberhasilan Penanaman Pohon Mangrove (Kasus: Pesisir Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu). Jurnal Matematika, Saint, dan Teknologi. 17 (1): 29-39.

Yesiana, R., Itsna, Y.H., dan Gunawan, W. Penguatan Ekosistem Pesisir: Monitoring dan Pembelajaran Pembangunan Alat Pemecah Ombak (APO) di Kota Semarang. Jurnal Wilayah dan Lingkungan. 4 (3): 199-212.

Zamroni, Y., dan Immy, S. R. 2008. Produksi Seresah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Jurnal Biodiversitas. 9 (4): 284-287.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.