sumber : wri.indonesia.org
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh (fragile), lapisannya terdiri dari gambut dengan kedalaman mulai dari 25 cm hingga lebih dari 15 m, serta mempunyai kekayaan flora dan fauna yang khas (Daryono, 2009). Indonesia mempunyai sekitar 14,9 juta ha lahan gambut dengan simpanan karbon bawah tanah sekitar 57,5 giga ton (ANONIM, 2019)Lahan gambut yang subur dapat mencegah kekeringan dan banjir, menjadi sumber makanan dan air bersih untuk masyarakat sekitar, serta dapat menjadi habitat untuk beberapa jenis spesies langka, di antaranya orangutan dan harimau Sumatera. Kemampuan lahan gambut menyimpan karbon menjadikan lahan gambut memiliki simpanan karbon dua kali lebih banyak dari hutan di seluruh dunia dan empat kali lebih banyak dari yang ada di atmosfer. Oleh karena itu lahan gambut memegang peranan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (ANONIM, 2017).
Kepadatan penduduk di Indonesia yang meningkat menyebabkan terjadinya peningkatan pemanfaatan lahan gambut. Pemanfaatan lahan gambut yang umum dilakukan antara lain alih fungsi menjadi lahan pertanian, Hutan Tanaman Industri (HTI), serta perkebunan kelapa sawit Widyati (2011). Pemanfaatan lahan gambut dapat menyebabkan degradasi lahan gambut. Pada tahun 2007, degradasi lahan gambut diperkirakan telah mencapai 44,6 % atau sekitar 6,66 juta ha dari 14,95 juta ha lahan gambut yang ada di Indonesia (Masganti dkk,. 2014). Degradasi tersebut diakibatkan oleh pemanfaatan lahan gambut yang tidak terkontrol (Wahyunto et al. 2013a; 2013b; 2014 dalam Masganti dkk,. 2014). Selain menyebabkan degradai, pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian atau perkebunan akan menyebabkan terjadinya peningkatan emisi CO2 ke atmosfer (Adji dkk., 2017). Hal ini akan berdampak pada meningkatnya suhu di bumi yang biasa dikenal dengan istilah global warming.
Lahan gambut memiliki sifat irreversible drying, artinya ketika mengalami kekeringan yang berlebihan (over drained) sifat koloid gambut akan rusak sehingga gambut tidak dapat kembali menyerap air dan unsur hara (Widyati, 2011). Kondisi tersebut mengakibatkan gambut berubah sifat menjadi seperti arangehingga pada musim kemarau mudah terbakar (Widyati, 2011). Kebakaran hutan sudah sering terjadi bahkan hampir setiap tahun, salah satunya terjadi di Riau, Indonesia (Pasai, 2020). Kebakaran di Riau terjadi mulai dari tahun 1997 hingga 2001, seluas 51.255 ha. Areal tersebut di antaranya merupakan areal HTI dan perkebunan seluas 33.000 ha (Suyanto dkk., 2003). Kebakaran lahan gambut di Riau berpotensi menyebabkan pencemaran udara yang mengganggu kesehatan masyarakat. Dampak tersebut dirasakan oleh warga sekitar hutan bahkan sampai ke Australia (Raditya, 2019). Banyaknya dampak dan kerugian yang disebabkan oleh terjadinya degradasi lahan gambut mengakibatkan diperlukannya rehabilitasi lahan gambut untuk meningkatkan kualitas lahan gambut tersebut.
Sumber : IndonesiaBaik.id
Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan guna meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga (Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Lahan). Rehabilitasi lahan gambut dilakukan melalui 3R tersebut yaitu Rewetting, Revegetation, dan Revitalization (Badan Restorasi Gambut Indonesia, 2018 ) Pembasahan gambut (rewetting) diperlukan untuk mengembalikan kelembapannya. Penataan air dilakukan dengan membangun sekat kanal (canal blocking), penimbunan saluran (back filling), sumur bor, dan upaya lain yang mendorong basahnya lahan gambut (Anonim, 2018). Penanaman lahan gambut (revegetation) dapat dilakukan apabila lahan sudah kembali lembab dengan tanaman yang tidak mengganggu siklus air dalam ekosistem gambut. Revegetasi bertujuan untuk menjaga keberlangsungan ekosistem gambut, memperkokoh sekat kanal, dan melindungi lahan gambut agar tidak terkikis aliran air kanal. Pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal (revitalization) juga harus dipertimbangkan selain kegiatan pemulihan ekologi dan revegetasi. Masyarakat harus berdiskusi dengan pelaku restorasi untuk mencari dalam memajukan perekonomian melalui pengolahan lahan gambut, seperti penanaman sagu, karet, kopi, dan kelapa atau dengan pengembangan perikanan dan pariwisata alam (Anonim, 2020).
Lahan gambut yang terkelola dengan baik akan memberikan banyak manfaat , yaitu bagi lingkungan maupun bagi keanekaragaman hayati di lahan gambut. Pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan dengan restorasi lahan gambut bermanfaat untuk mempercepat pemulihan fungsi lahan gambut (Gunawan, 2019). Fungsi lahan gambut menurut Adinugroho dkk (2004) yaitu sebagai cadangan air, penyangga lingkungan, lahan pertanian, habitat flora dan fauna, serta sebagai penyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Restorasi gambut diharapkan dapat meningkatkan manfaat restorasi bagi ekonomi masyarakat dan meminimalkan dampak lingkungan (Gunawan, 2019).
Semakin meningkatnya degradasi lahan gambut akan menyebabkan dampak negatif yang serius sehingga kegiatan rehabilitasi lahan gambut masih perlu dilakukan. Kegiatan rehabilitasi dalam pelaksanaannya membutuhkan usaha yang besar. Selain itu, koordinasi yang baik antara pemerintah, LSM, masyarakat sekitar, dan stakeholder lain juga diperlukan untuk mewujudkan lahan gambut yang lestari. Masyarakat di sekitar hutan memegang peran penting di dalam proses restorasi lahan gambut sebagai aktor utama selama proses rehabilitasi. Masyarakat berperan penting di dalam pembuatan kanal, sumur, dan melaksanakan program yang sudah rencanakan. Pendekatan kepada masyarakat menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan di dalam kegiatan rehabilitasi lahan gambut. Konflik sosial cenderung akan muncul apabila pendekatan yang dilakukan tidak tepat. Oleh karena itupenyusunan rencana teknis rehabilitsai lahan gambut harus dibuat dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan pihak terkait. Keberhasilan rehabilitasi lahan gambut harus menjadi prioritas di dalam menyususn rencana kerja rehabilitasi mengingat nilai penting dan manfaat kelestarian lahan gambut. Keberhasilan rehabilitasi tersebut berhubungan erat dengan manfaat yang dapat dirasakan setelah kegiatan rehabilitasi. Oleh karena itu, prestasi keberhasilan rehabilitasi lahan gambut harus terus dipertahankan dan ditingkatkan sehingga manfaat yang didapatkan juga dapat dirasakan dalam jangka panjang.
Oleh : Novia Assifa Belladinna
Editor: Linda Ratnasiwi dan Wawan Sadewo
Sumber :
Adinugroho, W., I Nyoman S., Bambang H., dan Labueni S. 2004. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Bogor: Wetlands International.
Anonim. 2017. Mengapa Lahan Gambut Penting. ANONIM. Bogor.
________.2018. Badan Restorasi Gambut: Strategi 3R dalam Upaya Restorasi Gambut. http://brg.go.id/strategi-3r-dalam-upaya-restorasi gambut/#:~:text=3R%20adalahkepanjangan%20dari%20rewetting%2C%20revegetation,persemaian%2C%20penanaman%20dan%20regerenasi%20alami. (diakses pada 28 Januari 2021).
_______. 2020. Strategi 3R untuk Restorasi Lahan Gambut. ANONIM. Bogor.
_______. 2019. Apakah gambut itu? Apa saja manfaatnya? Apakah hubungan antara gambut dengan kebakaran?. ANONIM. Bogor.
Daryono, H. 2009. Potensi, Permasalahan, dan Kebijakan yang diperlukan dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 6 (2). Hal: 71 – 101.
Gunawan, H. dan Afriyanti D. 2019. Potensi Perhutanan Sosial dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Restorasi Gambut. Jurnal Ilmu Kehutanan. Vol. 13. Hal: 227 – 236.
Masganti, Wahyunto, Ai Dariah, Nurhayati, dan Rachmiwati, Y. 2014. Karakteristik dan Potensi Pemanfaatan Lahan Gambut Terdegradadi di Provinsi Riau. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol. 8 (1). Hal: 59-66.
Nurhayati. A., Ervina S., dan Bambang H. 2010. Kandungan Emisi Gas Rumah Kaca pada Kebakaran Hutan Rawa Gambut di Pelalawan Riau. Jurnal ilmu pertanian Indonesia. Vol. 15 (2). Hal: 78-82.
Pasai, M. 2020. Dampak Kebakaran Hutan dan Penegakan Hukum. Jurnal Pahlawan. Vol. 3 (1). Hal: 36 – 46.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2020. Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. 20 mei 2020. Lembar Negara republik Indonesia Tahun 2020 nomor 6518. Jakarta.
Raditya, I. 2019. Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Terparah Tahun 1997, dari https://tirto.id/sejarah-kebakaran-hutan-lahan-di-indonesia-terparah-tahun-1997-eijN (diakses pada 25 Februari 2021).
Sucahyo. 2013. Rehabilitasi Lahan Gambut di Mawas, dari https://orangutan.or.id/id/mawas-peatland-rehabilitation-program (diakses pada 29 Januari 2020).
Suyanto,. Unna C., dan Prianto W. 2003. Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi. Prosiding Semiloka (with English Summary). 10-11 Desember 2003, Palembang, Sumatera Selatan. pp. 5-12.
Widyati, E. 2011. Kajian Optimasi Pengelolaan Lahan Gambut dan Isu Pembaharuan Iklim. Jurnal Tekno Hutan Tanaman. Vol. 4 (2). Hal: 57 – 68.