Restorasi Lahan Karst

Sumber : depositphotos.com

Lahan karst memiliki keunikan tersendiri, terutama karena tersusun dari batuan gamping (CaCO₃) yang mudah larut. Pembentukan lahan ini disebabkan oleh proses pelarutan kimiawi antara air hujan yang bersifat asam dan karbon dioksida (CO₂) di atmosfer, membentuk asam karbonat (H₂CO₃) yang melarutkan batuan kapur secara bertahap. Pelarutan yang berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu lama membentuk bentang alam khas baik di permukaan (eksokarst) maupun di bawah permukaan (endokarst). Akibat proses  pelarutan  akan  terbentuk  lorong-lorong  secara  vertikal dan horizontal dengan  berbagai  variasi  ukuran dan bentuk  yang  saling  terhubung,disebut sebagai   sistem   perguaan   (cave   system) atau drainase   bawah   tanah (Nugroho et al., 2020)

Sumber: shutterstock.com

Salah satu karakteristik utama kawasan karst adalah sistem drainase bawah tanah yang berkembang pesat. Pada lahan karst, air hujan yang jatuh tidak tertahan di permukaan karena tingginya daya serap tanah, melainkan langsung mengalir melalui celah-celah batuan dan masuk ke drainase bawah tanah melalui ponor (Haryono dan Labib, 2016). Ponor ini berfungsi sebagai saluran penghubung menuju sungai bawah tanah. Pada kawasan  karst, air  hujan  sulit  tertampung  di  tanah dan  masuk  melalui  ponor (lubang yang memiliki aliran di bawah tanah), terkumpul pada drainase bawah tanah atau sungai  bawah  tanah  (Karunia et  al., 2012).  Menurut  Faizal et  al. (2017), kedalaman   sungai   bawah   tanah   bervariasi   antara   77   m   sampai   148   m. Keberadaan   sungai   bawah   tanah   yang   cukup   dalam   menyebabkan   proses pengambilan air cukup sulit sehingga dibutuhkan alat khusus.

Keberadaan sungai bawah tanah pada lahan karst merupakan potensi besar sebagai sumber air bersih yang terlindung dari pencemaran permukaan. Namun, akses terhadap sumber ini cukup menantang karena kedalaman dan kompleksitas geologinya. Di banyak daerah karst, masyarakat bergantung pada sungai bawah tanah untuk memenuhi kebutuhan air, terutama pada musim kemarau, karena batuan karst yang berpori sulit menahan air di permukaan. Oleh karena itu, pengelolaan air di kawasan karst memerlukan strategi yang cermat agar pemanfaatannya efektif dan berkelanjutan.

Kawasan karst tidak hanya bernilai sebagai sumber daya air, tetapi juga sebagai area ekologis dengan potensi pariwisata alam yang tinggi. Kawasan ini sering dihiasi dengan gua-gua yang menampilkan formasi mineral seperti stalaktit dan stalagmit dari endapan kalsium karbonat pada tetesan air. Formasi ini menjadikan gua karst menarik sebagai objek wisata sekaligus sebagai area penelitian ekosistem bawah tanah dan geologi.

Pelestarian kawasan karst penting dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumber daya alamnya. Aktivitas eksploitasi seperti penambangan batu gamping dapat merusak struktur karst dan mengganggu aliran air bawah tanah, yang pada akhirnya berdampak negatif pada ekosistem dan ketersediaan air. Pengelolaan lahan karst yang berkelanjutan harus mempertimbangkan aspek ekologis dan hidrologis agar manfaat kawasan ini dapat terus dirasakan oleh masyarakat tanpa merusak kelestariannya.

Kawasan karst kini menghadapi berbagai tantangan serius mulai dari pembukaan vegetasi untuk pemukiman hingga aktivitas penambangan. Oleh karena itu, restorasi lahan karst perlu dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Langkah-langkah yang dapat dilakukan, antara lain:

  • Penambahan bahan pembenah tanah

Salah satu upaya untuk restorasi karst dengan penambahan bahan pembenah tanah, antara lain berupa biochar dan pupuk kandang. Penambahan pembenah tanah dapat meningkatkan dan juga dapat mengurangi emisi CH4 yang lepas ke atmosfer (Aurora, 2024)

  • Penggunaan metode drip irrigation

Penggunaan metode drip irrigation merupakan salah satu metode terpilih yang efektif diaplikasikan pada tanah karst yang memiliki keterbatasan air (Aurora, 2024). Tanah karst sering kali memiliki karakteristik unik, seperti porositas tinggi dan kemampuan menahan air yang rendah. Irigasi tetes dapat diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan spesifik tanaman di lahan sempit dan berbatu, sehingga meningkatkan produktivitas meskipun dalam kondisi lingkungan yang sulit.

  • Pembuatan terasering di lahan pertanian

Pembuatan terasering di lahan pertanian dilakukan dengan mengumpulkan batu-batu kapur yang selanjutnya disusun rapi sejajar kontur. Dengan adanya sistem terasering tersebut, diharapkan tanah yang terdapat di permukaan batuan karst pada waktu musim hujan tidak hilang oleh proses erosi. Selain itu, agar tanah dapat tertahan oleh bangunan-bangunan terasering dan seiring berjalannya waktu lapisan tanah akan terus bertambah sehingga ketebalan lapisan tanah meningkat (Mayong Personal Site, 2006).

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Aurora, Y. A. (2024). Aplikasi Kompos Bsf (Black Soldier Fly) dan Drip Irrigation Terhadap Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah (Allium Ascalonicum) Pada Tanah Karst (Doctoral dissertation, Universitas Islam Indonesia).

Faizal R , Sismanto, Handayani R dan Asta. (2017). Pendugaan aliran sungai bawah tanah   dalam   pemenuhan   kebutuhan   air   masyarakat   Desa   Hargosari Gunungkidul   berdasarkan   data   VLF-EM   terkoreksi   topografi.   Borneo Engineering: Jurnal Teknik Sipil 1(2), 44-55.

Haryono, E., & Labib, M. A. (2016). Pedoman praktis survei terintegrasi kawasan karst. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG).

Karunia DN, Darsono dan Darmanto. (2012). Identifikasi pola aliran sungai bawah tanah   di   Mudal,   Pracimantoro   dengan   metode geolistrik.IndonesianJournal of Applied Physics 2(2), 91-101.

Mayong Personal Site. (2006, 7 Desember). Konservasi Tanah di Kawasan Karst Gunung Kidul. Diakses pada 18 Desember 2024, dari https://mayong.staff.ugm.ac.id/site/?p=84

Nugroho, J., Zid, M., & Miarsyah, M. (2020). Potensi sumber air dan kearifan masyarakat dalam menghadapi risiko kekeringan di wilayah karst (Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Yogyakarta). Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan (Journal of Environmental Sustainability Management), 438-447.

Wardani, A. W. A., & Prihatmaji, Y. P. (2014). Pemanfaatan Bambu Sebagai Solusi Permasalahan Karst dan Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Wediombo Geopark. In Forum Wahana Teknik: Yogyakarta, Indonesia.

Yuslinawari, Y., Doris, D., & Wahyudiono, S. (2021). Kajian Identifikasi Jenis Flora dan Kelimpahannya di Lahan Penetapan Taman Keanekaragaman Hayati Kelurahan Karangasem, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul. Journal of People, Forest and Environment, 1(1), 34-42.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.