Sumber: jangkabenah.org
Perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia terus berkembang sangat pesat. Dari 14,03 juta hektar luas tanaman sawit di Indonesia, sekitar 2,5 juta ha terindikasi berada dalam kawasan hutan. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan luas areal perkebunan, peningkatan total produksi dan nilai ekspor yang terus meningkat setiap tahunnya. Tercatat tahun 2022 luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai seluas 15.34 juta hektare (BPS, 2022). Kelapa sawit mampu meningkatkan perekonomian rumah tangga dan perekonomian daerah, sehingga menarik perhatian masyarakat dan pemerintah untuk mengembangkannya. Adanya peningkatan permintaan dunia akan minyak kelapa sawit menyebabkan maraknya pembukaan perkebunan kelapa sawit baru di hutan Indonesia.
Pada umumnya penanaman perkebunan kelapa sawit dilakukan secara monokultur yakni penanaman satu jenis tanaman (sawit) yang dilakukan sekali atau beberapa kali dalam setahun. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengurangi dampak negatif pertanaman sawit monokultur tersebut yaitu dengan mengembangkan sistem agroforestri campur. Agroforestri sawit sendiri merupakan sistem berkebun yang memadu padan tanaman kelapa sawit, tanaman berbentuk pohon, tanaman semusim dan ternak dengan tanaman kelapa sawit sebagai komponen utama (CIFOR-ICRAF). Sistem agroforestri campur ini mampu menjadi alternatif yang prospektif untuk menyeimbangkan tujuan ekonomi sekaligus ekologi (Alfaizin, 2013 dalam Nursanti, dkk. 2017). Menurut Suhartati dan Wahyudi (2011) lahan kebun kelapa sawit sangat potensial untuk pengembangan tanaman sela (intercropping) sebagai tanaman campuran dalam pola agroforestry. Kelapa sawit memiliki jarak tanam yang lebar yaitu rata–rata 9 m x 9 m, sehingga menyisakan ruang kosong yang cukup lebar di antara tegakan kelapa sawit. Kondisi tersebut sangat berpotensi jika dioptimalisasikan dengan menanam tanaman lain termasuk tanaman kehutanan dan atau ternak di bawah tegakan kelapa sawit secara bersamaan yang disebut sistem agroforestri (Maryunika, 2015).
Implementasi agroforestri kelapa sawit dapat memberikan keuntungan berupa adanya kepastian keberlanjutan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan petani. Dengan mengkombinasikan tanaman pertanian, kehutanan dan kelapa sawit tidak hanya membantu menjaga keseimbangan ekosistem, tetapi juga menghasilkan produk yang beragam, sehingga mampu meningkatkan ketahanan ekonomi jangka panjang. Manfaat lingkungan dari penerapan agroforestri sawit sangat beragam. Menurut ICRAF (2022) keuntungan agroforestri sawit antara lain sistem ini mampu menjaga kesuburan tanah melalui serasah yang dihasilkan dari beragam jenis tanaman, terutama yang memiliki kemampuan mengikat nitrogen dan fosfor melalui bintil akar dan mikoriza.
Agroforestri sawit memiliki tajuk berlapis yang memungkinkan proses penyerapan air hujan ke dalam tanah berlangsung lebih efisien. Lebih jauh lagi, agroforestri juga menyediakan habitat bagi berbagai jenis hewan dan tumbuhan liar yang berperan dalam proses penyerbukan tanaman kelapa sawit dan menjaga keseimbangan ekosistem, yang pada gilirannya dapat mengurangi serangan hama dan penyakit.
Sementara itu, dari sisi sosial ekonomi, agroforestri sawit menjaga keberagaman sumber penghidupan petani. Selain penghasilan dari buah kelapa sawit, petani juga memperoleh ketahanan pangan melalui diversifikasi penanaman tanaman pangan dan buah-buahan, serta penghasilan tambahan dari ternak dan tanaman lainnya. Dengan adanya tanaman pertanian semusim dalam agroforestri sawit memberikan jaminan penghidupan sepanjang tahun.
Menurut Muryunika (2015), pengelolaan agroforestri di lahan kelapa sawit yang dikelola oleh PT. Humusindo Makmur Sejati sejak 1996 memberikan berbagai manfaat ekologi. Salah satunya adalah tanaman Shorea leprosula yang menjadi tempat bersarang bagi semut rangrang (Occophylla smaragdina), di mana Way dan Khoo (1992) menyebutkan bahwa semut ini menjadi predator utama hama yang menyerang tanaman kakao, kelapa, dan kelapa sawit. Selain itu, penerapan agroforestri di lahan sawit juga meningkatkan keanekaragaman hayati, seperti adanya lebih banyak jenis burung dibandingkan dengan lahan sawit monokultur. Pola agroforestri juga membantu mengurangi pertumbuhan gulma, karena keberadaan tanaman pengisi yang menghambat persaingan nutrisi.
Dari sisi ekonomi, agroforestri kelapa sawit mampu mengoptimalkan daya dukung lahan dengan memberikan produk ganda, yaitu kelapa sawit dan produk tambahan lainnya. Diversifikasi ini tidak hanya meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga memberikan pendapatan yang lebih bervariasi bagi petani atau perusahaan yang mengelola lahan. Adanya diversifikasi produk hasil pertanian dapat melindungi petani dari fluktuasi harga kelapa sawit dan memberikan jaminan ekonomi yang lebih stabil. Agroforestri kelapa sawit memberikan kontribusi penting terhadap keberlanjutan ekologi dan ekonomi melalui peningkatan keanekaragaman hayati dan diversifikasi produk yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Muryunika, R. (2015). Strategi pengelolaan dan pengembangan agroforestri berbasis kelapa sawit di Jambi. Institut Pertanian Bogor.
Way MJ and Khoo KC. 1992. Role of Ants in Pest Management. Annual Review Entomol. 37: 479-503
World Agroforestry (ICRAF) Indonesia Program. 2022. Materi Pelatihan untuk Pelatih Perancangan Agroforestri Sawit.
Badan Pusat Statistik (2024). Luas Tanaman Perkebunan Menurut Provinsi (Ribu Hektar), 2020-2022.
Nursanti, N., Fazriyas, F., Albayudi, A., & Wulan, C. (2017). Agroforestri Tembesu (Fagraea fragrans) Berbasis Kelapa Sawit di Kabupaten Muaro Jambi. Jurnal Karya Abdi Masyarakat, 1(1), 18-27.
Model Agroforestri Sawit Bisa Dikembangkan – Kompas.id (Diakses pada 8 September 2024)