Hutan hujan tropika basah ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon. Umumnya hutan jenis ini didominasi oleh famili Dipterocarpaceae ang sudah dikenal oleh masyarakat terutama dari jenis meranti, kapur, dan keruing. Selain jenis-jenis tersebut ada satu jenis pohon yang sangat terkenal luas karena kekuatannya, yaitu ulin. Jenis ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga banyak diminati masyarakat. Ada berbagai nama daerah untuk Ulin, antara lain bulian, bulian rambai, onglen (Sumatera Selatan), belian, tabulin, telian, tulian dan ulin (Kalimantan). Sedangkan berdasarkan botani dinamakan Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn dan digolongkan suku Lauraceae. Nama-nama botani lain yang digunakan untuk ulin dan merupakan sinonim adalah Eusideroxylon malagangai Sym. dan Eusideroxylon borneense F. Villar (Sidiyasa dan Juliat, 2001).
Pohon ulin merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter sampai 120 cm. Batang pohon ulin biasanya tumbuh lurus dan berbanir sampai 4 meter. Kulit luar berwarna coklat kemerahan sampai coklat tua, memiliki tebal 2-9 cm, kayu teras berwarna coklat kehitaman sedangkan kayu gubal berwarna coklat kekuningan dengan tebal 1-5 cm, permukaan kayu licin dan mengkilap. Pohon ulin merupakan salah satu pohon penyusun hutan tropika basah yang dikenal dengan beberapa nama di setiap daerah seperti kayu besi di borneo, belian (Kalimantan), bulian ataupun onglen (Sumatra). Kayu ini tersebar di Sumatra bagian selatan, kepulauan Bangka Belitung dan hampir diseluruh wilayah Kalimantan (Martawijaya et al. 1989).
Ulin mempunyai banyak keunggulan diantaranya kayunya sangat kuat dan sangat awet, digolongkan kelas kuat 1 dan kelas awet 1, memiliki kemampuan bertunas (coppice) yang sangat baik, meskipun pohon sudah tua bila ditebang atau roboh akan bertunas kembali sepanjang akarnya tidak rusak, mempunyai umur yang sangat panjang mencapai ratusan tahun karena pertumbuhannya yang lambat, bijinya dapat menghasilkan lebih dari satu bibit bila dilakukan pemotongan biji, pohon ulin yang telah dewasa tahan terhadap kebakaran karena kerapatan kayu yang tinggi, mempunyai kulit yang tebal dengan lapisan cork yang berlapis-lapis dan relatif mudah dalam pengadaan bibit yaitu dari biji, cabutan, putaran, dan stek pucuk (Sulistyobudi, 2001: Martawijaya et al., 1989). Saat ini sangat sulit memperoleh kayu ulin, hal ini disebabkan karena penebangan pohon ulin yang kurang memperhatikan kelestarian, dan konversi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan, dan terbukanya akses jalan ke daerah pedalaman. Penggunaan Ijin Usaha Pemanfaataan Hasil Hutan (IUPHHK) secara tidak bijaksana mengakibatkan semakin banyaknya pohon ulin yang ditebang karena harga dan permintaan kayu ulin yang cukup tinggi.
Sumber: http://www.jurnalasia.com/ragam/pohon-ulin-sekeras-besi/
Referensi:
Martawijaya, A. I, I Kartasujana, Kadir, dan Prawira. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogo.
Sidiyasa dan Juliat 2001. Pelestarian Ulin; Aspek pemanfaatan, Budidaya dan Konservasi.
Lokakarya Pelestarian species flora langka (ulin). Bapedalda Prop. Kalimantan Timur.
Sulistyobudi, A. 2001. Pengaruh Kebakaran terhadap Biologi Kayu dan Struktur Kulit
Pohon-Pohon yang Tahan Api. Prosiding Seminar Nasional Mapeki IV Samarinda
6-9 Agustus 2001. Mapeki Bogor
Sulistyobudi, 2001. Pengaruh Kebakaran terhadap Biologi Kayu dan Struktur Kulit Pohon-
Pohon yang Tahan Api. Mapeki IV Samarinda 6-9 Agustus 2001. Mapeki Bogor.
Penulis : Ade Prasetyo Dian S.
Penyunting : Lina Dwi Lestari