Hutan mangrove memiliki beragam manfaat baik dalam aspek ekologi, aspek fisik, maupun aspek sosial kemasyarakatan. Peranan hutan mangrove sebagai suatu ekosistem antara lain sebagai pelindung garis pantai, penggumpal lumpur, pembentuk lahan, habitat alami berbagai flora dan fauna, daerah asuhan beberapa binatang akuatik, serta sebagai sumber pendapatan manusia seperti tambak ikan, garam, dan kegiatan pertambangan (Budiman dan Suhardjono, 1992).
Meningkatnya kegiatan pemanfaatan dengan cara yang salah sehingga merusak mangrove mengakibatkan degradasi dan penurunan luasan mangrove sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan kondisi maupun pemeliharaan ekosistem mangrove. Salah satu upaya perbaikan dapat dilakukan dengan program rehabilitasi ekosistem mangrove. Rehabilitasi terdiri dari berbagai macam kegiatan, termasuk kegiatan restorasi dan penciptaan kembali habitat baru dari sistem yang telah menurun fungsinya menjadi stabil (Stevenson et al., 1999). Program rehabilitasi telah banyak dilakukan baik oleh dinas terkait maupun lembaga sosial masyarakat yang didukung oleh masayarakat sekitar. Namun, sayangnya program rehabilitasi mangrove seringkali hanya dilakukan dengan kegiatan penanaman kembali bibit mangrove tanpa monitoring ataupun evaluasi (Field, 1996).
Kegiatan rehabilitasi harus dijalankan dengan program yang baik, maka beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan penanaman antara lain:
- Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat mangrove
Terdapat banyak program rehabilitasi yang gagal akibat kesadaran masyarakat yang kurang baik, sehingga pengelolaan pasca penanaman yang dilakukan dan kegiatan penyulaman tidak optimal menyebabkan persentase tanaman yang tumbuh menjadi rendah.
- Melihat kondisi lingkungan perairan yang akan ditanami mangrove
Kondisi lapangan lahan yang akan direhabilitasi perlu diamati secara mendalam agar kemungkinan keberhasilan program rehabilitasi semakin tinggi. Contoh: apabila kondisi gelombang air laut kurang baik maka sebaiknya di sekitar lokasi penanaman diberi alat pemecah ombak sehingga ombak yang datang tidak merusak bibit semai yang baru ditanam.
- Mengantisipasi jenis hama pengganggu pertumbuhan bibit mangrove
Hama yang sering dijumpai yaitu 3W (wideng/ kepiting, wedhus/ kambing, dan wong/ manusia) dan beberapa hama lain yang ditemukan pada mangrove seperti ulat mangrove, serangga sisik (scale insect), ganggang laut, dan teritip. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dewiyanti et.al (2013) terdapat 4 jenis hama yang menjadi penyebab kegagalan rehabilitasi mangrove di Aceh yaitu Balanus Amphitrite, Sesarma sp, Pteroma plagiophleps, dan Clibanarius sp. Kegiatan antisipasi hama dapat dilakukan dengan penyemprotan insektisida, penyiraman bibit dengan air laut, dan menggunakan obat pembasmi moluskisida (Priyono, 2010).
- Melakukan penjarangan apabila diperlukan
Penjarangan merupakan kegiatan menebang sebagian pohon untuk memberi ruang tumbuh pohon lain, sehingga semai yang baru ditanam dapat tumbuh optimal karena mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk proses pertumbuhan.
Sumber:
Craven, L.A dan Barlow, B.A. 1997. New taxa and new combination in Melaleuca (Myrtaceae). Novon. 7(2): 113-119.
Budiman,A dan Suhardjono. 1992. Penelitian Hutan Mangrove di Indonesia: Pendayagunaan dan Konservasi. Prosiding Lokakarya Nasional Penyusunan Program Penelitian Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir. UNDIP. Semarang
Field, C.D. 1995. Impacts of Expected Climate Change on Mangroves. Hydrobiologia 295(1-3):75- 81.
Priyono, A. 2010. Panduan Praktis Teknik Rehabilitasi Mangrove di Kawasan pesisir Indonesia. KeSEMaT. Semarang. Stevenson, N. J., R.R. Lewis dan P. R. Burbridge. 1999. Disused Shrimp Ponds and Mangrove Rehabilitation. In An International Perspective on Wetland Rehabilitation (Streever, W., ed.). Kluwer Academic Publishers. Hlm 277- 297