Arsip:

Uncategorized

Kendala yang Dihadapi dalam Rehabilitasi Mangrove

picture : Oceana

 

Kawasan mangrove merupakan suatu ekosistem unik yang lingkungan hidupnya harus berada di area yang dipengaruhi pasang surut air laut yang berpengaruh terhadap pola sebaran mangrove hingga ke berbagai tempat (Priyono, 2010). Keunikan tersebut membuat kawasan mangrove memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi namun sangat rentan terhadap kerusakan akibat ulah manusia. Kawasan mangrove memiliki peran penting sebagai sistem penyangga kehidupan. Kawasan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi seperti menjadi tempat hidup berbagai flora fauna khas ekosistem mangrove, sebagai pemecah ombak, sebagai mitigasi dalam peningkatan muka air laut, dan sebagai penyerap karbondioksida (CO2) dari udara (Murdiyarso dkk., 2015). Pentingnya peran terhadap lingkungan dan banyaknya kerusakan yang telah terjadi membuat upaya rehabilitasi kawasan mangrove semakin perlu dilakukan dan ditingkatkan.

Tingginya tingkat kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di Indonesia menyebabkan semakin sulitnya pengendalian terhadap kerusakan tersebut.  Food and Agriculture Organization (FAO) (2007) menyatakan bahwa dalam 30 tahun terakhir Indonesia kehilangan sekitar 40% luas hutan mangrove. Rehabilitasi telah dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan peran ekosistem kawasan mangrove sebagaimana mestinya. Sayangnya, upaya rehabilitasi yang dilakukan pada kawasan mangrove seringkali menemui berbagai kendala. Kegiatan rehabilitasi telah banyak dilakukan tetapi kurang memperhatikan hal – hal jangka panjang sehingga tanaman hasil rehabilitasi banyak yang mati. Kendala yang dihadapi dalam rehabilitasi mangrove antara lain:

1. Kendala Sosial Ekonomi

  • Alih fungsi lahan

Semakin meningkatnya jumlah penduduk membuat kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Banyak kendala yang dihadapi seperti semakin sempitnya kawasan mangrove karena pembangunan tambak (Poedjirahajoe, 2007). Seringkali pembangunan pemukiman maupun perluasan tambak tidak memperhatikan kondisi lahan dan tata letaknya terhadap kawasan mangrove. Hal tersebut membuat rehabilitasi mangrove yang telah dilakukan menjadi gagal karena daya dukung lahan untuk kehidupan mangrove semakin berkurang. Maka dari itu, diperlukan upaya pemanfaatan kawasan mangrove yang lebih berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kelestarian mangrove seperti pengembangan tambak – tambak dengan model silvofishery dan penguatan regulasi tentang permukiman di kawasan mangrove.

  • Tekanan Penduduk Terhadap Lahan

Setelah rehabilitasi mangrove dilakukan, setidaknya diperlukan beberapa tahun hingga mangrove bisa memberikan manfaat dari sumber daya di dalamnya. Adanya tekanan penduduk terhadap ekosistem mangrove terkait sumber daya mangrove yang belum waktunya dapat mengurangi keberhasilan rehabilitasi. Hal ini seringkali diindikasikan dengan dilakukannya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) mangrove yang belum waktunya atau melebihi kemampuan ekosistem mangrove dalam menyediakan SDA tersebut. Diperlukan pembuatan regulasi yang tegas dan pola pemanfaatan ekosistem mangrove yang ramah lingkungan untuk mempertahankan ekosistem mangrove.

  • Sumber Daya Manusia dan Partisipasi Masyarakat

Partisipasi  masyarakat  berperan penting dalam  pelestarian hutan mangrove sebagai sarana pengurangan resiko bencana serta pelaksana kegiatan rehabilitasi (Pratiwi dan Alhadi, 2020). Sumber daya manusia (SDM) dan peran masyarakat sekitar dalam upaya rehabilitasi mangrove dibutuhkan dalam rangka membangun, menjaga, dan mengelola kawasan mangrove tersebut. Diperlukan upaya pemanfaatan kawasan mangrove yang lebih berkelanjutan dengan tetap memperhatikan sumber daya manusia dan partisipasi masyarakat.  Hal ini dilakukan mengingat proses rehabilitasi relatif lama, sehingga tersedianya SDM yang mumpuni dan partisipasi masyarakat yang aktif dapat memperbesar peluang keberhasilan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan.

sumber : tempo.co

 

2. Kendala Kondisi Biofisik Lahan

  • Perubahan Kondisi Ekosistem Mangrove

Perubahan pada ekosistem mangrove dapat menghambat terjadinya regenerasi alami di hutan mangrove. Perubahan kondisi ekosistem mangrove seringkali disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti tambak udang yang terlantar, lahan yang gundul karena penebangan, atau hutan mangrove yang kering akibat adanya perubahan hidrologi sebagai dampak dari pembuatan tanggul, jalan dan pembabatan hutan di hulu sungai. Perubahan kondisi ekosistem mangrove tersebut dapat menyebabkan berbagai tekanan seperti, kurangnya air tanah, terhambatnya pertukaran air pasang/surut, tingginya kadar garam atau sulfat tanah, penggembalaan ternak, serta abrasi garis pantai dan penurunan ketinggian substrat (Brown, 2006). Sangat penting untuk menemukan penyebab perubahan kondisi ekosistem mangrove kemudian membuat rancangan perbaikan agar dapat mengembalikan ekosistem mangrove seperti semula.

  • Salinitas Terlalu Tinggi

Apabila akan melakukan rehabilitasi mangrove maka harus diketahui dahulu berapa salinitas atau kadar garam dari tempat tumbuhnya. Menurut penelitian yang dilakukan Poedjirahajoe (2007) di wilayah Pantura Brebes pada kadar salinitas berbeda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan mangrove di wilayah tersebut. Apabila salinitas terlalu tinggi maka pertumbuhan mangrove akan terhambat. Hal itu terjadi karena kadar garam berpengaruh dalam menentukan seberapa besar jumlah komponen biotik yang mendukung pertumbuhan mangrove dan juga keberhasilan metabolisme sel – sel makhluk hidup. Maka dari itu, diperlukan pemilihan zona yang tepat dengan kadar salinitas tidak terlalu tinggi untuk melakukan rehabilitasi mangrove serta penggunaan spesies sesuai zonasi yang dapat mentoleransi salinitas tertentu agar upaya rehabilitasi berhasil.

  • Suhu Terlalu Tinggi

Rehabilitasi mangrove juga harus mempertimbangkan suhu udara dan perairan dimana mangrove tersebut akan ditanam. Suhu perairan yang terlalu tinggi juga berpengaruh sangat signifikan pada saat awal penanaman. Menurut Wantasen (2013), suhu tinggi dapat menghambat proses fisiologis tumbuhan. Ketika suhu perairan tinggi, bibit yang ditanam kemungkinan besar tidak mampu tumbuh dengan baik (Poedjirahajoe, 2007). Hal itu disebabkan oleh kemampuan fotosintesis dan produksi daun menjadi menurun, pertumbuhan struktur akar yang tidak maksimal.

  • Ketebalan Lumpur

Meningkatnya jumlah sedimentasi di kawasan mangrove dari sungai – sungai yang telah terhambat di sekitarnya membuat habitat tersebut menjadi kurang sesuai untuk tempat tumbuh mangrove. Kandungan oksigen terlarut di dalam lumpur akan mempengaruhi pertumbuhan mangrove (Kesuma dkk., 2016). Apabila lumpur terlalu tebal maka oksigen yang tersedia bagi perakaran mangrove akan makin berkurang (Halidah, 2010). Maka, penting untuk diketahui spesies yang dapat dikembangkan pada zona dengan ketebalan lumpur tertentu.

  • Kedalaman dan Frekuensi Genangan

Kedalaman dan frekuensi genangan dipengaruhi oleh topografi dan kemiringan hutan mangrove. Setiap spesies tanaman mangrove memiliki kesesuaian  kedalaman dan frekuensi genangan yang berbeda-beda. Sehingga perlu dilakukan pengukuran ketinggian substrat di areal mangrove yang masih bagus kondisinya untuk menentukan spesies mangrove yang sesuai pada setiap kedalamannya (Brown, 2006).

  • PH Tinggi

Ketika kadar garam pada tempat tumbuh mangrove meningkat maka hal itu membuat pH tanah nya semakin meningkat. pH tanah yang terlalu tinggi membuat mangrove tidak akan tumbuh dengan baik bahkan bisa mengalami kematian. Kadar amonia yang beracun terlarut dalam bentuk NH4 juga akan meningkat seiring meningkatnya pH, dan suhu (Wantasen, 2013).

 

Oleh : Sya’bana Farhan Tsani      Editor : Galang Rama Asyari

source :

Brown, B. 2006. 5 Tahap Rehabilitasi Mangrove. Mangrove Action Project dan Yayasan Akar Rumput Laut Indonesia. Yogyakarta.

Halidah, H. 2010. Pertumbuhan Rhizophora mucronata Lamk. pada Berbagai Kondisi Substrat di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Sinjai Timur Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7 (4): 399-412.

Kesuma, R. A., Kustanti, A., dan Hilmanto, R. 2016. Pertumbuhan Riap Diameter Pohon Bakau Kurap (Rhizophora mucronata) di Lampung Mangrove Center. Jurnal Sylva Lestari 4 (3): 97-106.

Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. B., Warren, M. W., Sasmito, S. D., Donato, D. C., Manuri, S., Krisnawati, H., Taberima, S. and Kurnianto, S. 2015. The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nature Climate Change 5 (12): 1089-1092.

Poedjirahajoe, E. 2007. Dendrogram Zonasi Pertumbuhan Mangrove Berdasarkan Habitatnya di Kawasan Rehabilitasi Pantai Utara Jawa Tengah Bagian Barat. Jurnal Ilmu Kehutanan 1 (2): 10-21

Pratiwi, N. A., dan Alhadi, Z. 2020. Kendala Pemerintah Dalam Kegiatan Pelestarian Mangrove Sebagai Sarana Pengurangan Resiko Bencana di Kota Pariaman. Jurnal Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik 2 (3): 87-95.

Priyono, A. 2010. Panduan Praktis Teknik Rehabilitasi Mangrove di Kawasan Pesisir Indonesia. Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur (KaSEMaT). Semarang

Rahmanto, B. D. 2020. Peta Mangrove Nasional dan Status Ekosistem Mangrove di Indonesia. Direktorat Konservasi Tanah dan Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Disampaikan Dalam Webinar “Development for Mangrove Monitoring Tools in Indonesia”. Jakarta.

Wantasen, A. S. 2013. Kondisi Kualitas Perairan dan Substrat Dasar Sebagai Faktor Pendukung Aktivitas Pertumbuhan Mangrove di Pantai Pesisir Desa Basaan I, Kabupaten Minahasa Tenggara. Jurnal Ilmiah Platax 1 (4) : 204 – 209.

Widianto, E. 2016. Laju Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia Tercepat di Dunia. Diakses dari https://nasional.tempo.co/read/811899/laju-kerusakan-hutan-mangrove-di- indonesia-tercepat-di-dunia. pada tanggal 1 Mei 2020 pukul 13.00 WIB.

 

 

Mengenal Mangrove dan Indikator Kerusakan Ekosistem Mangrove

pict : Rahmanto, 2020

 

Pada tahun 2020, Indonesia memiliki ekosistem mangrove seluas 3.311.207,45 ha yang terbagi menjadi kawasan hutan dan luar kawasan   (Rahmanto, 2020). Hutan mangrove di Indonesia banyak ditemukan di berbagai wilayah terutama di Papua, Kalimantan, dan Sumatera (FAO, 2007). Sekitar 3 juta ha hutan mangrove tumbuh di sepanjang 95.000 km pesisir Indonesia. Jumlah ini mewakili 23% dari keseluruhan ekosistem mangrove dunia (Giri dkk., 2011).

Hutan mangrove tumbuh di antara garis pasang surut, pantai karang, daratan koral mati yang di atasnya ditimbuni pasir atau lumpur, dan pantai berlumpur (Saparinto, 2007 dalam Rahim dan Banderan, 2007). Hutan mangrove memiliki karakteristik  tanah yang berlumpur dan hutannya selalu digenangi air (Fatma, 2016). Komunitas vegetasi hutan mangrove pantai tropis didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Rahmanto, 2002). Selain itu, komposisi vegetasi yang menyusun ekosistem mangrove relatif homogen dikarenakan hanya vegetasi tertentu yang bisa hidup di masing-masing zonasi yang ada. Pembagian zonasi pada ekosistem mangrove dibagi menjadi empat, yaitu zona mangrove terbuka, zona mangrove tengah, zona mangrove payau, dan zona mangrove daratan. Zona mangrove terbuka merupakan zona yang berhadapan dengan laut dan didominasi oleh Sonneratia alba. Zona mangrove tengah terletak di belakang mangrove zona terbuka dan di dominasi oleh jenis Bruguiera sp. dan Rhizophora. Zona mangrove payau berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar dan didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Sedangkan zona mangrove daratan berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya dan didominasi oleh jenis Ficus microcarpus, Intsia bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp., dan Xylocarpus moluccenis. Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya (Noor dkk., 2006).

Hutan mangrove yang sehat adalah hutan mangrove yang masih dapat memberikan manfaat sesuai dengan fungsinya. Adapun, fungsi dari hutan mangrove utamanya yaitu mencegah erosi dan abrasi (Anggraini, 2020). Rimbunnya vegetasi mangrove mampu menahan abrasi yang terjadi di pantai dengan cara meredam kekuatan gelombang air laut yang menggerus pantai dan dapat menstabilkan substrat lumpur. Kesehatan mangrove dapat diidentifikasi dengan melihat fauna yang ada di sekitarnya (Ambari, 2018).  Fauna yang biasa ada di hutan mangrove adalah jenis krustasea seperti kepiting, rajungan, dan kerang-kerangan. Semakin sehat tanaman bakau, maka jumlah biota laut yang disebut akan semakin banyak (Ambari, 2018). Apabila fauna hutan mangrove berkurang bahkan menghilang, maka bisa dipastikan mangrove mengalami kerusakan atau tidak sehat (Ambari, 2018).

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, indikator kerusakan hutan mangrove dapat diamati berdasarkan standar kerapatan pohon per hektar dan persentase penutupan. Nilai kerapatan suatu jenis menunjukkan kelimpahan jenis dalam suatu ekosistem dan dapat menggambarkan bahwa jenis dengan kerapatan tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar. Hutan mangrove yang mengalami kerusakan ringan memiliki kerapatan lebih dari 1500 pohon per hektar dengan penutupan ≥ 75% , hutan mangrove yang mengalami kerusakan sedang memiliki kerapatan antara 1000 – 1500 pohon per hektar dengan penutupan ≥ 50% – <75%, sedangkan hutan mangrove yang mengalami kerusakan berat memiliki kerapatan dibawah 1000 pohon per hektar dengan penutupan < 50%. Tingkat kerusakan hutan mangrove tersebut digunakan sebagai acuan dalam kegiatan rehabilitasi. Dengan mengkonversi tingkat kerusakan mangrove dalam bentuk angka, maka nilai tingkat kerusakan menjadi lebih objektif, konsisten, dan jelas. Selain itu, juga dapat mempermudah kegiatan perencanaan rehabilitasi yang akan dilakukan. Sehingga, dengan adanya perencanaan kegiatan rehabilitasi yang matang akan semakin meningkatkan keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove.

 

DAFTAR PUSTAKA

CIFOR. 2015. MANGROVE INDONESIA: Berkas fakta: Kekayaan nasional dalam ancaman. Diakses dari https://forestsnews.cifor.org/31191/mangrove-indonesia-berkas-fakta-kekayaan-nasional-dalam-ancaman?fnl= pada 26 April 2021 pukul 22.00 WIB.

Ambari, M. 2018. Seperti Apa Indeks Kesehatan Mangrove dan Lamun di Indonesia?. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2018/02/22/seperti-apa-indeks-kesehatan-mangrove-dan-lamun-di-indonesia/. pada 27 April 2021 pukul 01.00 wib.

Anggraini, Mutia. 2020. 7 Fungsi Hutan Mangrove Bagi Kehidupan, Pahami dan Jaga Kelestariannya. https://www.merdeka.com/trending/7-fungsi-hutan-mangrove-bagi-kehidupan-pahami-dan-jaga-kelestariannya-kln.html?page=all. pada 1 mei 2020 pukul 13.13 WIB.

Fatma, D. 2016. 9 ciri ciri Mangrove dan Penjelasannnya. Diakses dari https://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/hutan/ciri-ciri-hutan-magrove. pada 27 april 2021 pukul 00.39 WIB.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove

Noor, Yus Rusila, M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.

Rahim, S. dan Banderan, D. 2017. Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya. Penerbit Deepublish. Yogyakarta.

Rahmanto, Bagus Dwi. 2020. Peta Mangrove Nasional dan Status Ekosistem Mangrove di Indonesia. Webinar “Development for Mangrove Monitoring Tools in Indonesia”.

 

Artikel oleh : Aisyah Nur Bayti dan Novia Assifa Belladinna

Track Penanaman HIMABA Tahun 2014-2019

Gambar 1. Peta Lokasi Penanaman Tahun 2014-2019

Penanaman merupakan agenda rutin yang dilakukan oleh himpunan mahasiswa budidaya hutan setiap tahunnya.

Berikut merupakan record penanaman yang dilakukan oleh HIMABA mulai tahun 2013-2019.

1. Penanaman tahun 2013

Penanaman pada tahun terswbut dilakukan di daerah Miritpetikusan, Kebumen. Jenis tanaman yang ditanam meliputi cemara udang, nyamplung, jambu biji, rabutan. Penanaman ini dilaksanakan pada tahun 2013 oleh angkatan 2011

2. Penanaman tahun 2014

Penanaman tersebut dilakukan oleh mahasiswa budidaya hutan 2014 (angkatan 2012) dilaksanakan di Lembupurwo, Kebumen, Jawa tengah pada tahun 2014. Jenis yang ditanaman berupa Cemara.

3. Penanaman tahun 2015

Penanaman pada tahun 2015 dilakukan di Penggaron, Semarang, Jawa Tengah oleh mahasiswa budidaya hutan 2015 (angkatan 2013). Adapun jenis yang ditanam berupa sengon dan tanaman buah-buahan seperti rambutan, kelengkeng dan nangka. Selain itu, juga dilakukan penanaman di Samigaluh dengan jenis tanaman berupa sengon pada tahun yang sama.

4. Penanaman tahun 2016

Penanaman ditahun tersebut dilakukan di wilayah Daerah Isitimewa Yogyakarta (DIY) yang bertepatan di Baros. Penanaman ini dilakukan di pantai dengan jenis mangrove. Penanaman dilaksanakan oleh mahasiswa budidaya hutan 2016 (angkatan 2014).

5. Penanaman tahun 2017

Penanaman pada tahun 2017 dilakukan oleh mahasiswa budidaya hutan 2017 (angkatan 2015) yang dilaksanakan di Cangkringan, DIY dengan jenis tanaman berupa gaharu.

6. Penanaman tahun 2018

Penanaman pada tahun tersebut dilakukan oleh mahasiswa budidaya hutan 2018 (angkatan 2016) yang dilaksanakan di Wadaslintang, Wonosobo, Jawa Tengah dengan jenis tanaman berupa pinus dan tanaman buah seperti sirsak, nangka, rambutan dan alpukat.

7. Penanaman tahun 2019

Penanaman pada tahun 2019 dilakukan oleh mahasiswa budidaya hutan 2019 (angkatan 2017) di daerah Gunung kidul, DIY dengan jenis tanaman berupa jati dan tanaman buah seperti sirsak, jambu biji, nangka, dan rambutan.

Resak Banten yang Rusak

Gambar 1. Daun Vatica bantamensis (Hassk.) Benth. & Hook.ex Miq

(sumber: pohonlangka.id)

Resak Banten tumbuh secara alami di Taman Nasional Ujung Kulon. Mempunyai nama latin Vatica bantamensis (Hassk.) Benth. & Hook.ex Miq. termasuk keluarga Dipterocarpaceae dengan nama lokal resak banten atau kokoleceran.  Pohon ini dijadikan flora identitas dari Provinsi Banten karena pohon ini merupakan pohon endemik. Resak Banten merupakan salah satu jenis yang ditetapkan statusnya menjadi hampir punah.

Pohon resak banten mampu tumbuh mencapai 30 meter. Daunnya agak tebal dan berkilau, berbentuk bulat telur atau oblong. Bunga berbentuk malai, muncul di terminal cabang. Buahnya memiliki lima sayap yang terdiri dari dua sayap panjang dan tiga sayap pendek. Bijinya agak bulat dengan diameter sekitar 10 mm.

Kokoleceran hidup di pegunungan dan lereng pada ketinggian di atas 400 m. Lokasi dengan tutupan tajuk lebat dan tanah asam merupakan habitat yang baik untuk pohon ini. Spesies ini memiliki luas wilayah sebaran di Taman Nasional Ujung Kulon seluas 8 km2 (Robiansyah, 2018) dengan jumlah sekitar 280 individu dan jumlah pohon dewasa 58 (LIPI, 2017). Habitat Vatica bantamensis terancam akibat kehadiran tanaman langkap (Arenga obtusifolia) yang bersifat invasif. Oleh karena itu, pohon endemik Banten ini termasuk dalam daftar merah IUCN dengan status critically endangered atau kritis.

Lokasi yang berada dalam kawasan konservasi harusnya mampu mempertahankan keberadaan kokoleceran sebagai pohon endemik. Selain itu perlu sosialisasi dengan penyadaran pembangunan sikap dan perilaku konservasi, memperkuat status hukum, dan menaikkan status cagar alam menjadi cagar biosfer agar keberadaan resak tetap lestari (KLHK, 2008). Upaya budidaya dengan metode kultur jaringan, reintroduksi spesies yang lebih masif dan pengendalian atau kontrol terhadap tanaman invasif perlu dilakukan untuk menjaga resak tetap eksis sampai masa yang akan datang (Sudiyanti, 2017).

Gambar 2. Pohon Vatica bantamensis

(sumber: pohonlangka.id)

Daftar Pustaka

KLHK. (2008). Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018. Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam – Departemen Kehutanan RI.

LIPI. (2017). Pohon-pohon Langka Indonesia, Bagaimana Nasibnya? Dipetik Agustus 26, 2019, dari LIPI : http : // ww. biologi. lipi. go. id / index .php / laboratorium zoologi/ biosistematika-mamalia/9-yt-sample-data/category1/622-pohon-pohon-langka-indonesia-bagaimana-nasibnya

Robiansyah, I. (2018). Vatica bantamensis. The IUCN Red List of Threatened Species . Dipetik Agustus 26, 2019, dari http : // dx. doi. org / 10.2305 // IUCN. UK .2018-1. RLTS. T31319A125626167. en.

Sudiyanti, S., Rusbana, T., & Susiyanti, S. (2017). Bud Initiation of Kokoleceran (Vatica bantamensis) on Various Media and Concentration of BAP (Benzyl Amino Purine) in Vitro. Jurnal Agro 4 (1), 1-14.

Penulis          : Salman

Penyunting    : Lina Dwi Lestari

 

50 Orang Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM Melakukan Penanaman Pohon Bersama Masyarakat Di Kelurahan Wadaslintang

 

Hari Minggu (3 Maret 2019), 50 mahasiswa Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan UGM melakukan kegiatan penanaman pohon di kawasan wisata kembang langit, Kelurahan Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Penanaman tersebut dilakukan di wilayah kerja Perum Perhutani KPH Kedu Selatan dengan total luasan area penanaman 1,5 hektar. Kegiatan penanaman ini merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam program Forester in Action #2. Penanaman ini merupakan salah satu bentuk aktualisasi diri mahasiswa dalam mengembangkan semangat pengabdian langsung kepada masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan ini turut serta melibatkan petani hutan/pesanggem Lembaga Masyarakat Desa Hutan Sumber Manis. Total bibit yang ditanam berjumlah 2.500 bibit. Jenis tanaman yang ditanam terdiri dari tanaman pokok Pinus (Pinus merkusii) dan tanaman MPTS berupa pohon Nangka, Sirsak, Alpukat, dan Jambu Biji.

Menurut Yosia Damar S. A. (ketua panitia kegiatan penanaman) kegiatan ini mengusung satu konsep besar, yaitu kegiatan penanaman yang berkelanjutan dengan skema kerja sama yang memosisikan masyarakat sebagai aktor utama dalam kegiatan penanaman. Tanaman MPTS dipilih karena dengan jenis tanaman ini masyarakat dapat langsung menikmati hasilnya setelah panen. Konsep berkelanjutan yang diharapkan adalah untuk dilakukannya monitoring rutin terpadu untuk memastikan keberhasilan kegiatan penanaman dan perawatan tanaman. Dalam agenda monitoring ini, kegiatan perawatan dalam bentuk pemupukan dan penyulaman menjadi salah satu kunci dalam menjamin keberhasilan penanaman. Yosia menambahkan bahwa masyarakat lah yang kemudian akan memegang peran penting dalam menjamin keberhasilan penanaman. Selain itu, dengan menjadikan masyarakat sebagai aktor utama di sini juga menjamin keamanan tanaman pokok Pinus dan areal penanaman. Harapannya, keberhasilan penanaman ini dapat menjadi percontohan bahwa masyarakat mampu mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan melalui penjaminan keamanan tanaman pokok dan pemasukan ekonomi dari hasil panen tanaman MPTS.

Kegiatan Penanaman Forester in Action #2 ini merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan setiap tahunnya oleh mahasiswa Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan UGM. Luaran dari didapatkan dari kegiatan ini secara berkelanjutan akan dipetakan dalam satu Peta Pelaksanaan Penanaman Himpunan Mahasiswa Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM. Program ini menjadi satu bukti bahwa mahasiswa pun selain memiliki kapasitas di bidang akademik juga mampu menjadi fasilitator masyarakat dalam membangun kesejahteraan ekonomi melalui pembangunan kawasan hutan. (WS)

Pembawa Sejahtera dari Dewa

Dewadaru (Mesua ferrea L.) merupakan pohon dari keluarga manggis manggisan yang memiliki ukuran sedang sampai cukup besar yakni tinggi hingga 35m dan diameter mencapai  95cm pada pohon dewasa.  Pohon yang juga dikenal sebagai pohon Nagasari ini memiliki habitat asal di  hutan tropis dataran rendah khususnya di negara Asia seperti India,  Thailand,Srilanka,Malaysia,Filipina, dan tentu saja Indonesia, dikenal juga dengan nama Ceylon Ironwood, Cobra’s Saffron, Indian Rose Chestnut, Mesua. Pohon Nagasari memiliki ciri ciri morfologi sebagai berikut, Daunya memanjang dan mengkilat, dengan daun muda berwarna merah muda kekuningan dan lunglai sebagai ciri khas.

Dewadaru yang memiliki arti anugerah dari dewa ini di Indonesia mempunyai posisi khusus dalam kebudayaan masyarakat. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa pohon tersebut dapat menolak kesialan dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat, bahkan terdapat pohon yang dikeramatkan di Pulau Karimun jawa. Ternyata memang benar bahwa pohon ini dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat karena menurut penelitian ditemukan bahwa pohon nagasari/dewadaru ini memiliki kandungan antioxidan dan antibacterial yang dapat membantu mengeringkan luka(Manjunatha dkk,2013). Bahkan digunakan sebagia obat tradisional oleh beberapa negara sejak jaman dahulu seperti India,Malaysia, dan Thailand (Asif dkk,2017). Bunga yang telah dikeringkan bahkan dapat membantu menyembuhkan radang perut, disentri, batuk berdahak, daunya juga dapat digunakan untuk menagani gigitan ular dan sengatan kalajengking. Selain dalam hal pengobatan biji dari pohon ini memiliki kandungan protein kasar yang dapat dicerna sebesar 18,5% dan 87,3% Nitrogen yang dapat dicerna.Pohon ini juga memiliki asosiasi dengan Endomikoriza yang dapat mengikat nitrogen sehingga menyuburkan tanah.Pohon Nagasari  memiliki siklus pembungaan pada musim kering, bunga biseksusal dari pohon nagasari biasanya mekar yakni antara jam 3-4 dini hari dan akan berakhir pada sore menjelang matahari terbenam. Daun daun muda dari pohon nagasari biasanya akan tumbuh setelah musim pembungaan pada awal awal musim hujan. Buah dari pohon nagasari berjenis kapsul dengan 4 biji didalmnya.

Di indonesia sendiri pohon ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal, masyarakat masih memanfaatkan sebatas hasil kerajinan tangan seperti tongkat, gelang, kalung yang sebagian besar digunakan sebagai ‘jimat”. Memang, dengan nama yang ia sandang sebagai pohon keramat dan kearifan lokal pada masyarakat Indonesia keberadaan pohon ini cukup terjaga di beberapa daerah, namun alangkah baiknya jika postensi yang ada di pohon nagasari di optimalkan lagi mengingat masih kurangnya penelitian dan tindakan nyata dalam mengelola dan memanfaatkan pohon ngasari dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap kearifan lokal yang ada.

 

Penulis : Widya

 

Referensi :

Asif ,Muhammad , Seyedeh Fatemeh Jafari , Zafar Iqbal , Vageesh Revadigar , Chern Ein Oon , Aman Shah Abdul Majid , Amin Malik Shah Abdul Majid. 2017. Ethnobotanical and Phytopharmacological attributes of Mesua ferrea: A mini review. Journal of Applied Pharmaceutical Science Vol. 7 (04)

Dr.Manjunatha B.K , Syed Murthuza , Divakara R, M. Archana, R. J. Sarvani, Steffina Varghese, Kusum Paul . 2013. Antioxidant and Anti-Inflammatory Potency of Mesua Ferrea Linn. Indian Journal of Applied Research. Volume : 3 | Issue : 8

http://bangka.tribunnews.com/2017/06/09/dewadaru-pohon-sarat-mitos-nan-sakti-yang-konon-tak-boleh-dibawa-keluar-karimunjawa?page=all

http://www.tribunnews.com/regional/2017/06/09/tuah-pohon-dewadaru-asal-karimunjawa-dan-mitos-tentang-kesaktiannya?page=all

http://www.worldagroforestry.org/treedb/AFTPDFS/Mesua_ferrea.PDF

Cemara Udang (Casuarina equisetifolia)

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan Harjadi (2017) menjelaskan bahwa cemara udang merupakan satu-satunya tanaman pionir yang mampu tumbuh pada daerah dekat pantai untuk melindungi areal pertanian di kawasan pesisir agar terlindungi dari bahaya abrasi dan hembusan angin laut. Karena sangat berpotensi untuk rehabilitasi lahan dan konservasi tanah pantai berpasir, cemara udang dapat dikategorikan sebagai jenis pohon serbaguna atau Multi Purpose Tree Species (Syamsuwida, 2005).

Pemuliaan pohon cemara udang dengan pemilihan jenis unggul yang lebih tahan terhadap gangguan Hama Penyakit Tanaman (HPT) dengan propagasi/perbanyakan umumnya dengan biji, walaupun stek juga mulai banyak digunakan, diharapkan hasil dari pemuliaan modern tersebut yaitu menghasilkan kualitas kayu yang baik seperti batang monopodial dengan diameter besar, luas dan bentuk tajuk maupun percabangan yang baik untuk pemecah angin, perakaran kuat, dan perkecambahan semai lebih cepat, sehingga hasil lebih menguntungkan (Nurahmah, 2007). Menurut Winarni dan Adriana (2004), cemara udang merupakan salah satu jenis tanaman yang terbukti mampu tumbuh di lahan pantai dengan baik dan cocok untuk dikembangkan dalam rangka rehabilitasi lahan pantai. Pemuliaan untuk memperoleh bibit yang unggul sebagai upaya meningkatkan presentase tumbuh tanam dapat dilakukan dengan hibridiasi/perkawinan silang dan mutasi atau rekayasa genetik agar nantinya cemara udang dewasa lebih kokoh dan tajuk lebih rimbun, salah satu alternatif usahanya yaitu melalui teknik kultur jaringan tanaman.

Penulis : Nur Izza Yulia Sabarati

Editor   : Birowo Aji Wicaksono

Sumber            :

Harjadi, Beny. A.W. Nugroho. dan A. Miardini. 2017. Cemara Laut Mengubah Lahan Marjinal Menjadi Potensial. Mekar Abadi. Surakarta

Nurahmah, Yayang. M.Y. Mile. dan E. Suhaendah. 2007. Teknis Perbanyakan Tanaman Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) Pada Media Pasir. Info Teknis, Vol5 no 1

Syamsuwida, D. 2005. Budidaya Cemara Laut Sebagai Pohon Serbaguna Dalam Pengembangan Hutan Kemasyarakatan. Info Benih, Vol. 10 No.1:1-13.

Winarni, Widaryanti W. dan Adriana. 2004. Propagasi Makro Cemara Udang (Casuarina equisetifolia). Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta

Sumber gambar : biodiversitywarriors.org

Sharing Bareng Prof Suryo

Pada hari Sabtu, 8 Desember 2018 keluarga HIMABA (Himpunan Mahasiswa Budidaya Hutan) berkesempatan berkunjung ke kediaman Prof. Dr. Ir Suryo Hardiwinoto atau akrab dipanggil Prof Suryo. Beliau merupakan salah satu dosen senior di Fakultas Kehutanan UGM, terutama di departemen Silvikultur. Beliau merupakan dosen dari Laboratorium Silvikultur dan Agroforestry, fokus yang beliau pelajari yaitu mengenai Silvika jenis pohon. Tujuan kami berkunjung ke kediaman beliau tentu saja untuk menjalin silaturahmi antara mahasiswa Silvikultur dengan dosen-dosennya terutama dengan dosen senior yang mana sudah mulai jarang bersua dengan mahasiswanya dikampus.

Sesampainya dirumah Prof Suryo sekitar pukul 16.15, kami langsung disambut dengan kehangatan dan keramahan khas Yogyakrta yang sampai saat ini masih bisa dirasakan. Setelah saling berjabat tagan, saling berbagi kabar dengan di temani harumnnya teh hangat selanjutnya secara tidak sadar obrolan pun saling bertautan.  Obrolan-obrolan tersebut mulai mengalir denga sendirinya baik itu bertanya mengenai Tips masuk laboratorium, Profesi di bidang kehutanan, Bekal apa yang perlu di siapkan saat kuliah, dan pertanyaan lainnya saling bersautan di bawah atap rumah yang terasa hangat ini. Dari obrolan-obrolan sederhana inilah harapannya karakter Mahasiswa Kehutanan UGM terutama Silvikulur dapat dibentuk.

Hasil dari berbagi pegalaman dari Prof Suryo terkait Tips masuk laboratorium. Beliau menyarankan untuk kita mencari tahu terlebih dahulu tentang labratorium-laboratorium yang ada di minat Silvikultur berdasarkan modal hampir 100 sks sebelumnya. Karena untuk bisa suka dan ingin untuk mendalami salah satu laboratorium kuncinya diawali dengan mengetahui terlebih dahulu, dari rasa tahu tersebut nantinya muncul kesenangan tersendiri. Beliau juga menyarankan baiknya maksimal semester 6 sudah bisa menentukan mau berseni di laboratorium mana nantinya. Bahasan selanjutanya terkait profesi dibidang kehutanan, berhubung beliau dosen jadi obrolan ini diawali dengan muara dari sector tenaga pendidik yaitu dosen. Beliau sempat bercerita tentang pengalaman kuliahnya semasa S2 dan S3 di Jepang, terkait beasiswa yang beliau terima dan alsannya mengapa ingin menjadi dosen. Dari obrolan ternyata beliau awalnya tidak berkeinginan menjadi seorang dosen melainkan menjadi pegawai Perhutani yang mana pada masa beliau masih menjadi primadona. Tapi berhubung pada saat itu beliau merupakan salah satu lulusan tercepat diangkatannya dan langsung ditawari beasiswa lanjut di Jepang, maka peluang itu tetap beliau ambil. Hal ini di dorong juga dengan background keluarganya yang kebanyakan merupakan tenaga pendidik. Selanjutnya  beliau menekan lagi bahwa profesi setiap orang nantinya belum bisa dipastikan dengan pasti, tetapi beliau menekankan untuk mengambil setiap peluang yang ada dan tetap membuat rencana utnuk kedepannya. Bahasan lain dari obrolan sore itu yaitu terkait bekal yang harus disiapkan oleh seorang mahasiswa, disini beliau menekankan untuk mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam hal organisasi dan kegiatan yang ada di dunia perkuliahan selagi itu positif, tetapi juga tetap jangan melupakan kewajiban menjadi seorag mahasiswa yaitu IPK. Karena nantinya dalam dunia kerja hal-hal tersebut akan saling melengkapi. Masukan terahir dari beliau yang saya ingat yaitu “anda boleh bangga dengan UGM, tapi jangan sampai kebanggan tersebut membuat anda lupa tugas seorang mahasiswa untuk tetap membanggakan nama baik universitasnya dengan memanfaatkan waktu saat kuliah dengan hal-hal yang positif serta bermanfaat”.